Random #3

Kadang saya iri kalau melihat blog-blog sebelah yang isinya jelas, temanya jelas. Si empunya blog sudah tahu dia ingin menulis apa di blognya. Jadinya, blognya terarah, visi dan misinya jelas. Halaaaaah... kok jadi ngomongin visi misi ya? Berat banget. :O

Tidak seperti blog ini yang tidak jelas isinya tentang apa. Gado-gado. Kadang terlalu personal, kadang ngeriviu film dan buku, kadang ocehan tidak jelas. Kadang bingung sendiri juga mau menulis apa di sini. Padahal niat baik saya sih saya ingin menulis terus di blog ini, kalau bisa setiap hari. Kalau beberapa hari atau minggu atau bulan tidak menulis di sini rasanya seperti ada yang kurang. Tapi, yang jadi kendala itu pas ada niat mau menulis sayangnya saya tidak tahu mau menulis apa. Seperti sekarang ini. Saya lagi bingung mau update apaan di mari. :O

Tiba-tiba saya kepikiran kenapa tidak saya tuliskan saja pengalaman saya di hari Sabtu kemarin dan cerita saya hari ini? Saya tidak bisa janji ceritanya bakalan seru sih. Tapi yaaa tidak ada salahnya berbagi cerita, kan?

Cerita 1

Cerita pertama kejadiannya hari Sabtu tanggal 18 Pebruari 2012 kemarin. Hari itu saya, Ses Renny, dan Papa pulang ke Bandar Lampung. Kami naik pesawat Garuda pukul 08.30 dari Bandara Soekarno-Hatta. Berhubung jam di tangan baru menunjukkan pukul 07.10 kami bertiga memutuskan untuk duduk-duduk saja dulu di lounge, tepatnya di lounge B*I. Karena Papa punya kartu kredit bank tersebut jadi beliau tidak bayar. Sementara saya dan Ses Renny kalau mau menumpang di lounge tersebut harus bayar karena kami kan tidak punya kartu kredit B*I.

Berikut percakapan antara Papa saya dan Mbak-mbak yang bertugas:

Papa Ganteng (PG) : Jadi berapa, Mbak, bayarnya untuk dua orang?
Mbak-mbak Cantik (MC) : Rp 150ribu, Pak.
PG mengeluarkan uang dua lembar Rp 100ribu dan MC mengembalikan satu lembar Rp 50ribu. 
PG sambil memasukkan uang kembalian ke dalam dompet : Voucher-nya mana, Mbak?
MC langsung terlihat gupek. Grasak-grusuk gak jelas. MC menyerahkan dua lembar voucher lounge dan uang Rp 30ribu. Tertera angka di voucher tersebut sebesar Rp 60ribu. Jadi, untuk dua orang seharusnya Rp 120ribu, bukan Rp 150ribu.

Berarti kalau Papa saya tidak menanyakan voucher kami, uang Rp 150ribu itu masuk ke kantong Mbak-mbak itu dong ya? Anehnya tiap kali kami ke lounge tersebut kalau kami tidak minta voucher lounge-nya, niscaya kami tidak akan diberi vouchernya. Kejadian ini sudah dua kali terjadi pada kami.

Cerita 2

Cerita kedua baru saja kejadiannya pagi tadi. Pagi tadi saya menemani keponakan saya, Jihan, ke dokter mata karena matanya sebelah kiri bengkak. Di Bandar Lampung sudah ada rumah sakit khusus mata, jadi kami pergi ke sana.

Sewaktu bayar obat di apoteknya yang juga di rumah sakit mata tersebut, saya disuruh bayar Rp 545ribu. Tidak ada struk pembayaran. Jadi saya tidak tahu obat-obat ini masing-masing harganya berapa. Sebagai konsumen di apotek itu harusnya saya berhak tahu dong ya rincian harga obat yang saya beli? Awalnya saya suruh Jihan untuk minta rincian harga, tapi oleh Jihan saya cuma dikasih kwitansi pembayaran. Dengan sopan saya samperin lah Mas-mas di kasir apotek.

Kimi Cakep (KC) : Mas, saya mau minta rincian harga obatnya. Nggak bisa ya?
Mas-mas Jutek (MJ) : Gak bisa, Mbak. Kalau mau paling bisanya sama kopi resepnya.
KC : Harusnya kan ada rinciannya, Mas. Ada struknya. Di struknya itu tertulis rincian masing-masing obat harganya berapa. Ini kan hak saya.
MJ : Iya, Mbak. Tapi, kami tidak ada. Masa' semua yang beli obat di sini kami kasih rinciannya begitu.
KC : Lah, Mas, saya beli obat di apotek mana aja ada struknya dan ada rinciannya.
MJ : Tapi, kami tidak ada.

Sampai di sini saya mau semprot Mas-mas itu dengan bilang makanya diadakan dong. Masa apotek tidak punya struk dan rincian pembayaran. Tapi, saya cuma bilang begini:

KC : Ya sudah. Ditulis di kertas aja gak bisa, Mas? Ayah saya kalau soal beginian cerewet banget. Dia mau tahu rinciannya. Biar jelas dan biar saya gak dioceh-ocehin beliau karena saya gak ngasih rincian harganya.
MJ : Oke. Sekarang saya mau nulis dimana?
KC : Masnya gak punya kertas? Mau saya beliin kertas?

Oke, kalimat terakhir "Mau saya beliin kertas?" itu hanya di benak saya saja. Tadinya mau saya bilang begitu, tapi Mas-masnya sudah berhasil menemukan kertas dan nulis deh rincian harga obatnya di kertas itu. Mas-masnya tetap jutek dan senyum sinis gitu deh. Biar tidak semakin jutek, saya minta maaf berkali-kali kalau merepotkan dia. Tapi, teteeeeep deh Mas-mas itu tetap jutek. Ya sudah, saya sih masa bodoh. Mau dia jutek, mau dia mengumpat-ngumpat di belakang saya, selama saya dapat apa yang jadi hak saya, ya saya cuek aja.

Ya begitulah dua cerita saya di tulisan kali ini. Semoga bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua. #ngok *dikeplak beramai-ramai* 

12 comments

  1. justru itu akan menjadi blog yang berisikan banyak informasi agan, yang penting postingannya hasil keringat sendiri.
    salam kenal agan ini kunjungan pertama saya di blog anda

    ReplyDelete
  2. huahaha..  dijutekin mas-mas apotik kenapa ngga bales jutekin sambil melotot aja mbak? *ditabok*

    ReplyDelete
  3. Ah, saya mah orangnya gak bisa jutek. Saya kan orangnya lemah lembut... :">

    ReplyDelete
  4. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini. :)

    ReplyDelete
  5. wah, kalau di apotek sini, beli obat kurang dari 20ribu saja ada detail record -nya, halaaah :D

    ReplyDelete
  6. Cerita pertama jelas itu mau ngentit korupsi. Bahasa Jawanya mau mbathi pegawainya. Cerita kedua kalau beli barang tidak diberikan strok pembelian ada potensi sama, mau korupsi juga itu. Karena bisa saja uang hasil penjualannya tidak masuk cash register tapi masuk kantong pribadi.   :)

    ReplyDelete
  7. pertama :
    [Kadang saya iri kalau melihat blog-blog sebelah yang isinya jelas,
    temanya jelas. Si empunya blog sudah tahu dia ingin menulis apa di
    blognya] <-- itu jelas buka blog saya, definitely.

    kedua :
    [uang Rp 150ribu itu masuk ke kantong Mbak-mbak itu dong ya?]
    mungkin yang masuk kantong mbak2 itu cuma err 150-120=30 ribu. dan singkatan PG itu, ya bolehlah :D

    ketiga :
    itu apotik yang aneh, sungguh aneh, ga modal smape ga bisa nyetak rincian harga obat, dan singkatan KC itu.. entahlah.. *ditendang*

    ReplyDelete
  8. Kalau kata Papaku, sobekan dari voucher lounge itu untuk bisa tahu ada berapa orang yang numpang duduk2 di sana. Karena kami gak dikasih voucher, berarti kami gak masuk hitungan dong? Berarti duitnya ya semuanya masuk kantong si Mbak tersebut.

    ReplyDelete
  9. Nah, itu dia yang bikin sebal. Kok dari yang begini2 saja mau dikorupsi sih? XD

    ReplyDelete
  10. Naaaaaah! Gak usah di apotek tempat Mas Jarwadi, di apotek dekat rumahku juga mau beli obat jumlah berapapun tetap ada struknya. Emang katrok itu apotek yang di rumah sakit mata itu.

    ReplyDelete
  11. oalah, gitu toh,
    maklum, seumur2 blm pernah masuk lounge gitu :(

    ReplyDelete
  12. hmm.. untung blogku itu dari awal udah bener nama blognya... immanuel's notes... catatan kan isinya bisa gado2... hahaha...

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.