Jalan ke Surga


Apa tujuan manusia dalam hidup? Apa tujuan kita dalam hidup? 

Tujuan saya dan tujuan teman-teman mungkin berbeda-beda. Saya punya tujuan saya ingin punya kerjaan yang bagus, hidup mapan, bisa membahagiakan orangtua, bisa menyenangkan keponakan-keponakan saya, karena dengan melihat mereka bahagia saya pun jadi bahagia. Bahagia. 

Tidak peduli seberapa rinci tujuan kita masing-masing, semuanya bermuara pada satu kata: Bahagia. Jadi, bisa dibilang tujuan akhir manusia adalah bahagia. Setidaknya itu menurut Aristoteles.

Kalau teman-teman tidak setuju dengan pendapat Aristoteles, ya monggo. Kalau kalian lebih melihat hidup ini dengan tujuan akhir kalian adalah surga, nirwana, atau menjadi kekasih Tuhan, ya silakan. Tapi, coba diperhatikan lagi. Masuk surga, nirwana, atau menjadi kekasih Tuhan membuat kalian bahagia tidak? Siapa yang tidak bahagia masuk surga?

Banyak jalan menuju Roma, begitu juga menuju surga. Banyak jalan ke sana. Ada yang jalan lurus langsung ke surga, ada jalan yang berliku-liku, mampir ke neraka dulu, baru kemudian masuk surga. Itu kata guru agama saya dulu. Sayangnya, kita tidak bisa tahu jalan mana yang bisa langsung mengantarkan kita ke surga tanpa harus transit ke neraka.

Ada yang bilang jihad di jalan Tuhan bisa langsung membawa kita ke surga. Jadi, ikhlas menjadikan diri sebagai “pengantin” dengan memasang bom di dada kemudian meledakkan diri di tempat umum dan melukai, bahkan membunuh, orang-orang tidak berdosa diyakini membuat dirinya bisa bertemu dengan Tuhan di surga. Atau, mengusiri orang-orang beraliran tertentu yang sedang beribadah karena mereka dianggap menyimpang dari ajaran agama yang sesungguhnya, mungkin juga dianggap jihad. Atau, menjadi bagian dari pemeluk agama mayoritas dan bertindak diskriminasi terhadap mereka yang beragama minoritas, dianggap jihad juga. Lah iya, mereka yang minoritas itu kan berbeda keyakinan dari si mayoritas. Jadi, dianggap kafir. Mereka yang minoritas itu perlu dibimbing ke jalan yang “benar”. Kalau ngeyel, darahnya halal kok. Kan ini jihad. Berjuang atas nama Tuhan. Menegakkan agama Tuhan. Demi mendapatkan kasih Tuhan. Demi menuju surga yang abadi.

Aristoteles bilang ke saya kira-kira begini, “Oke lah, Kim. Tujuan terakhir elo mungkin surga. Tapi, untuk ke surga itu mbok ya caranya yang benar. Perbuatan-perbuatan yang elo lakukan itulah, bukan surga yang elo kejar, kalau mau elo menikmati hidup.” Ng... Mungkin maksudnya “proses lebih penting ketimbang hasil”? 

Jalan ke surga kan bukan dengan cara membunuh mereka yang dianggap kafir, memusuhi mereka yang berbeda keyakinan dengan kita, atau cara bodoh lainnya. Mengurus orangtua yang lagi sakit bisa membawa kita ke surga. Membesarkan anak sendiri menjadi anak sholeh pun bisa membawa kita ke surga. Kalau kita meninggal, siapa lagi yang mendoakan kita kalau bukan anak kita? Kalau tidak punya anak, mengurus anak-anak yatim dan tidak mampu, memberi mereka pendidikan, memberi mereka makan, membuat mereka bahagia juga bisa membawa kita ke surga. Banyak cara menuju surga yang lebih bermoral ketimbang cara-cara tolol dan picik. Silakan renungkan sendiri cara-cara tolol dan picik itu yang seperti apa.

Franz Magnis-Suseno menulis begini di bukunya Menjadi Manusia:

Manusia hanya manusia apabila ia merefleksikan eksistensinya, apabila ia menghadapi kuasa yang ada--baik kuasa politik, maupun agama, ideologi, ilmu pengetahuan, dan lain-lain--secara dewasa, rasional, kritis, dalam perspektif penegakkan keadilan dan pemanusiaan kondisi masyarakat. (hal. 28)

Dalam hal ini, kalau mau ke surga, gunakanlah otak (akal dan pikiran) yang sudah Tuhan kasih ke kita. Maksudnya, berpikir deh matang-matang kalau buat perencanaan jalan mana yang mau ditempuh buat ke surga. Jangan cuma menerima begitu saja dari yang dikatakan orang-orang, baik itu orangtua, guru agama, guru ngaji, pemerintah, siapa saja. Bersikap dewasa, rasional, dan kritis. Oke? Kasihan itu otaknya kalau tidak dipakai.

Itu juga berarti apa yang saya tulis ini jangan ditelan bulat-bulat. Belum tentu saya benar. Kalau kalian lebih percaya dengan apa yang pacar kalian bilang, ya terserah. Tapi, kan, belum tentu juga dia benar. Halah, mbulet

Karena, begini... Pada akhirnya kalian lah yang bertanggung jawab atas diri kalian sendiri. Nanti di akherat (kalau ada), tidak ada itu yang namanya kalian minta perlindungan ke guru ngaji, guru agama, orangtua, kakek, nenek, suami, istri, presiden, atau ke siapa saja.

Iya, kan?

*tulisan ini dibuat karena terinspirasi setelah membaca buku dari Franz Magnis-Suseno berjudul Menjadi Manusia.

11 comments

  1. Pasti bukunya tebel. Sampe-sampe percakapan itu dibuat aku terpesona. Tulisannya dewasa :)

    ReplyDelete
  2. masalahnya kim, adalah sudah kau jelaskan di awal tulisan di atas
    bahwa " Banyak jalan ke sana"

    nah, soal apa dan bagaimana, keyakinan orang beda-beda
    lagian toh kita memang tak bisa memaksakan orang berppikir sebagaimana apa yang kita pikirkan toh  *kita?*

    pokoknya demikianlah adanya :D

    ReplyDelete
  3. Tulisan yang tajam dan terarah nih.. bagaimana kalau tidak ada surga akankan kita tetap berbuat baik dan mati untuk masuk surga itu...? Apakah mereka akan berhenti menjadi  "pengantin" jika ternyata tidak ada surga nantinya...

    ReplyDelete
  4. kunjungan pertama ke sini kimi

    ya di agama saya juga ada yang namanya tabayyun intinya tidak menelan bulat2 apa yang orang omongkan ke kita, harus dicari tahu dulu kebenarannya


    semoga kita bisa berjalan ke Surga dengan cara yang benar seperti kata Aristoteles bilang.. semoga kita juga tidak termasuk ke dalam golongan orang yang suka menghakimi orang lain tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan semoga kita termasuk ke dalam orang2 yang suka menasihati tanpa melukai

    salam kenal :)

    ReplyDelete
  5. Banyak orang rajin menjalankan ritual agama karena teriming-iming masuk surga. Banyak orang sengaja berbuat baik supaya kelak dapat tiket ke surga. Padahal, jangan-jangan, surga itu cuma mitos.

    Seharusnya kita berbuat baik kepada sesama karena memang begitulah seharusnya orang yang berotak dan bernurani—pembeda kita dengan binatang, atau setan.

    Mengamalkan kebajikan seharusnya "jangan disengaja" untuk suatu tujuan; biarkan mengalir begitu saja, dan lupakan bahwa kau pernah berbuat baik kepada seseorang.

    Seru "nabi" Jalaluddin Rumi: Ingin kubakar surga dan kupadamkan api neraka. Seandainya tidak pernah diajarkan tentang surga dan neraka, apakah umat masih rajin berdoa dan beramal?Surga itu ada di sini, di planet bumi di mana kita sedang hidup. Maka, mari kita ciptakan perdamaian selama jiwa masih menyatu dengan raga. Itulah surga yang sebenarnya. Jangan tunggu ketika raga dimakan cacing di liang kubur, ... tidak ada surga di situ!Hei, Kimi, apa kabarmu?

    ReplyDelete
  6. Bukunya tipis kok. Hanya 55 halaman. :')

    ReplyDelete
  7. Yah. Pokoknya begitulah. *halah, sama aja ini mah*

    ReplyDelete
  8. I don't know. I will never know what's on their mind. 

    ReplyDelete
  9. Salam kenal juga. Dan, ya, semoga kita bisa ke surga dengan cara yang benar ya, yang diridhoi oleh Tuhan. Amin. :)

    ReplyDelete
  10. Om Jarar Siahaan! YA AMPUUUN!!! Apa kabar, Om? Sudah lama banget tak "bersua". Ganti blog ya, Om? Pantesan tulisan Om ndak pernah nongol lagi di google readerku... Aku belum masukin alamat blog Om yang baru. :(

    ReplyDelete
  11. Engkau kaget. Bagus! :)
    Cek surelmu, ya. Mungkin nyasar di kotak Spam.

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.