Know Thyself

Kenali dirimu sendiri, begitu wejangan dari Socrates. Socrates percaya tujuan utama dari filsafat adalah untuk meningkatkan kebahagiaan melalui analisa dan memahami diri sendiri. Beliau pun bilang, "The unexamined life is not worth living." 

Søren Kierkegaard sendiri bilang di bukunya yang berjudul The Sickness Unto Death analisis diri adalah suatu cara pemahaman akan "despair". Keputusasaan, kehilangan harapan, atau apapunlah terjemahan dari despair menurut Kierkegaard bukan berasal dari depresi, melainkan dari keterasingan diri. Ketidaktahuan kita akan diri kita sendiri ataupun kesalahpahaman bagaimana kita mengenali diri kita sendiri dan ketidak-ngeh-an kita akan potensi diri kita bisa membuat kita terjebak dalam keputusasaan. 

Kierkegaard meyakini keputusasaan yang sesungguhnya adalah ketika self-awareness kita semakin tumbuh dan keputusasaan itu berakar dari kesadaran kita akan self. Kita sudah mengenali diri kita dengan baik, sehingga ketika terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita maka kita akan kecewa. Kita putus asa. Mari jadikan saya sebagai contoh. Misalkan saya ingin menjadi dokter, tapi saya tidak lulus ujian masuk fakultas kedokteran. Tentu saja saya akan kecewa. Saya putus asa karena saya telah gagal. Saya telah kehilangan kesempatan untuk menjadi dokter. Tetapi, Kierkegaard bilang sebenarnya saya putus asa bukan karena saya gagal dalam ujian, melainkan saya despair terhadap diri saya sendiri. 

The self that failed to achieve a goal has become intolerable. The man wanted to become a different self (doctor), but he is now stuck with a failed self and in despair. (The Psychology Book, hal. 27)*

Sekarang, saya ingin bertanya ke kalian, apakah kalian pernah putus asa seperti contoh di atas? Saya pernah. Dua kali. Putus asa yang pertama dulu di saat saya kuliah di tempat yang tidak saya inginkan. Selama setahun saya kuliah di Bandar Lampung, sementara saya maunya kuliah di luar kota. Jelas saya merasa putus asa. Batin saya tersiksa. *tsaaah* Sementara yang kedua, itu yang sedang saya rasakan sekarang.

Masih ingatkah teman-teman akan tulisan saya yang ini saya bilang bahwa saya belum menemukan passion saya? Di tulisan tersebut saya bilang saya ingin menemukan passion saya dan melakukan apa yang menjadi passion saya sebelum saya mati. Dengan kata lain itu berarti saya belum mengenal diri saya seutuhnya. Saya belum tahu saya maunya apa, saya minatnya apa, dan apa mimpi saya sebenarnya. 

Ternyata saya salah. Tanpa saya sadari sebenarnya saya telah menemukan passion saya. Sejak enam tahun terakhir saya tidak pernah berpisah dari "dirinya". Dan sejak setahun terakhir malah saya semakin fokus dengan "dirinya". Setahun terakhir inilah saya semakin banyak membaca dan lebih mengenal "dirinya". Saya semakin banyak belajar. Minat saya juga ternyata semakin bercabang kemana-mana. Tetapi, pada intinya saya senang membaca, saya senang belajar, dan saya senang berbagi.

Selama setahun terakhir ini, sejak saya lulus, yang dulu saya bosan dan sering memaki-maki kenapa saya menganggur, rupanya masa-masa menganggur itu membawa hikmah tersendiri. Rutinitas selama saya menganggur itulah yang ternyata membantu saya dalam proses pencarian passion. Di saat-saat itulah saya banyak membaca, menulis di blog, rajin blogwalking, dan selalu menemukan sesuatu yang baru dari blogwalking itu. Dan sekarang saya merindukan rutinitas saya sewaktu saya masih jadi pengangguran. Saya rindu punya banyak waktu untuk membaca dan menulis.

Tetapi, saya tidak boleh menyesal dengan keputusan saya untuk bekerja. Karena opsi yang tersedia untuk kemarin-kemarin dan saat ini ya hanya itu. Bekerja. Saya harus bekerja, setidaknya untuk menghidupi diri sendiri. Setidaknya untuk bisa mandiri. Setidaknya untuk membanggakan orangtua. Saya harus belajar untuk menikmati pekerjaan saya, meskipun terasa sulit untuk mencintainya karena pekerjaan saya yang sekarang bukan passion saya. Meskipun ada unsur keterpaksaan dalam menjalaninya. 

Ucapan orang-orang seperti, "Follow your dreams. Do what you love. Find your passions." ada benarnya. Saya rasakan itu sekarang. Ketika kita bekerja sesuai dengan minat kita pasti kita akan bahagia dan ikhlas dalam bekerja. Sekarang saya ingin mengatakan hal yang sama kepada kalian:

Know yourself. Find your passions. Follow your dreams. Do what you love. 

Niscaya kalian akan selalu bahagia. Semoga. :)

*Collin, C. et al., (2012). The Psychology Book. London: Dorling Kindersley Limited. 

5 comments

  1. sebenarnya, passion itu sendiri bukan akhir dari sesuatu... seringnya malah awal dari banyak tantangan lain dalam proses setelah penemuannya. kadang kalau kepentok jatuhnya malah lebih sakit, because, well, we have /that/ passion! 

    katakanlah passion dan idealisme seseorang jadi dokter, misalnya. di tengah jalan ketemu idealisme yang bentrok dengan kenyataan, atau pengembangan karir yang kepentok, atau pasien yang aneh-aneh, misalnya. kalau nggak hati-hati, kan kecewanya bisa dobel tuh. yang seperti ini juga bukan nggak banyak IMO. been around that block as well.

    tapi kalau sudah nyangkut passion dan idealisme sih, seperti kata Michelle Branch: 'I'd rather be in love!'  :grin:

    ReplyDelete
  2. iya betul, berbahagialah orang yang sudah menemukan passionnya... kalau tidak keep looking.... dont be afraid to dream... 

    ReplyDelete
  3.  tapi sakitnya nggak sesakit dari orang yang belum ketemu passionnya.... karna dia akan tertantang kalau dia memang tercipta untuk passionnya... :)

    ReplyDelete
  4. Maksudnya dengan "Bliss" apa ya?

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.