[Book] Pulang

Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (cetakan I, Desember 2012)
Tebal: viii + 464 halaman
ISBN: 978-979-91-0515-8
Harga: Rp 70.000,-

Saya tahu ada novel Pulang setelah saya membuka-buka Twitter dan membaca kicauan seseorang yang saya follow memuji novel ini. Saya jadi penasaran. Karena orang yang memberi pujian ini bukan orang biasa. Tidak mungkin orang tersebut berbohong. Kalaupun dia berbohong, saya tidak merasa dibohongi. Karena toh memang pada kenyataannya novel ini memang bagus. Dan saya tidak merasa rugi telah mengeluarkan Rp 70.000,- dari dompet saya untuk mendapatkan Pulang.

Pulang berkisah tentang eksil politik bernama Dimas Suryo yang terpaksa hidup di Paris. Awalnya Dimas dan rekan-rekannya, Tjai, Risjaf, dan Mas Nug mendapat tugas dari kantor mereka untuk ke luar negeri. Suasana politik dalam negeri di tahun 1965 yang saat itu tidak kondusif membuat mereka tidak dapat pulang ke tanah air. Apalagi setelah mereka tahu bahwa mereka dicari-cari Pemerintah. Mereka dianggap simpatisan, memiliki kedekatan, dan anggota dari partai terlarang di Indonesia. Padahal Dimas itu orang netral. Pandangan politiknya tidak ke kiri maupun ke kanan. Tjai adalah seorang Cina yang tidak peduli dengan politik. Risjaf setali tiga uang dengan kedua rekannya. Di antara mereka berempat, hanya Mas Nug sendiri yang bisa dibilang bersimpati dengan PKI. Kesalahan utama mereka berempat adalah karena mereka bekerja di Kantor Berita Nusantara.

Di Paris, Dimas menikah dengan wanita Prancis bernama Vivienne Deveraux dan dikaruniai satu orang putri bernama Lintang. Lintang yang sebelumnya tidak pernah mengenal tanah kelahiran ayahnya, demi tuntutan tugas akhir terpaksa membuatnya harus berkenalan dengan Indonesia. Ia akan merekam pengalaman keluarga korban tragedi 30 September 1965. Di Indonesia Lintang ditemani Segara Alam, putera pasangan Hananto Prawiro dan Surti Anandari, mantan kekasih Dimas. Bersama-sama mereka menjadi saksi peristiwa dalam sejarah Indonesia: kerusuhan Mei 1998 dan jatuhnya Presiden Republik Indonesia setelah 32 tahun menjabat.

Pulang adalah tentang rindu akan tanah air. Ia juga tentang keinginan paling terdalam bagi Dimas, yaitu pulang ke tanah kelahirannya, Indonesia. Ketika Dimas ditanya oleh Lintang, "Ayah, katakanlah, apakah Ayah masih seorang pengelana? Seorang flâneur yang masih selalu mencari, berjalan terus, dan tak ingin berlabuh?" (hal. 281) Dimas pun menjawab:

"Aku ingin pulang ke rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet. (hal. 282)

Puluhan tahun hidup di tanah orang dan tidak dapat menjejakkan kaki ke Indonesia, Dimas hanya mampu menebus rindu akan kampung halamannya melalui sekilo cengkih yang disimpannya di dalam stoples besar pertama dan beberapa genggam bubuk kunyit di stoples kedua, yang dia hirup baunya. Dimas yang ternyata sangat mengagumi Ekalaya, rupanya bukan tanpa alasan mengagumi tokoh ksatria dari kisah Mahabharata tersebut. Dimas merefleksikan dirinya sebagai Ekalaya. Lintang menjelaskan ini kepada kita:

Baru belakangan aku bisa memahami ada sesuatu dalam diri Ekalaya yang membuat Ayah mencoba bertahan. Ekalaya ditolak berguru oleh Dorna dan dia tetap 'berguru' dengan caranya sendiri. Hingga Dorna mengkhianati Ekalaya, sang ksatria tetap menyembah dan menyerahkan potongan jarinya. Ekalaya tahu, meski ditolak sebagai murid Dorna, dia tidak ditolak oleh dunia panahan. Sesungguhnya dialah pemanah terbaik sejagat raya, meski dalam Mahabharata Dorna tetap mengangkat Arjuna ke panggung sejarah hanya karena dia pilih kasih.  
... Menjelang usiaku yang ke-12, segala penolakan visa dan upacara mencium bau cengkih dan memainkan wayang kulit Ekalaya berulang, aku menyimpulkan: Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tapi dia akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka. (hal. 198 - 199)

Pahit. Getir. Kelam. Sedih. Marah. Itulah berbagai emosi yang saya rasakan selama membaca Pulang. Kekejaman Orde Baru terhadap anggota PKI, simpatisannya, keluarga mereka, bahkan mereka yang dianggap berkaitan dengan PKI meski tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan mereka dengan PKI, harus mereka tanggung sampai keturunan mereka juga merasakan dampaknya. Belum lagi terjadi malpraktik sejarah (sebuah terminologi yang diciptakan Alam) yang dilakukan Pemerintah kita (kita?) dan jujur saja, sampai saya lulus SMA saya merasa PKI itu jahat, kejam, dan menakutkan. Saya yakin, bukan saya saja yang (sempat) berpendapat seperti itu terhadap PKI, pasti banyak penduduk Indonesia yang juga berpendapat sama dengan saya dulu. Indoktrinasi yang baik sekali dari Pemerintah, bukan? Baiklah, saya mulai melantur.

Anyway, Leila S. Chudori bagus sekali meramu kisah ini. Meski ditulis dengan beberapa sudut pandang dan time frame yang loncat-loncat, kisah ditulis dengan mengalir lancar. Dia mampu membawa saya larut tenggelam dalam kerinduan Dimas, dalam kecemburuan Vivienne, dan dalam kisah cinta segitiga Lintang. Saya merasa saya menjadi bagian dalam Pulang. Entah sebagai siapa. Mungkin saya sebagai seseorang yang cemburu dengan Lintang karena mendapat cinta sangat dalam dari Alam dan Narayana. Mungkin juga saya iri dengan Dimas karena dia yang sangat mencintai dan merindukan Indonesia, tidak seperti saya yang... ah, sudahlah. Tidak perlu dibahas.

Dari skala 1 - 5, saya beri nilai 5 untuk Pulang

2 comments

  1. LSC memang keren. kakak udah pernah baca kumcernya yang Malam Terakhir? Bener-bener teori Freud terasa banget di situ! Pengen beli Pulang ini juga tapi lagi ga ada doku. ihiks.

    ReplyDelete
  2. @ Ayu Puspita Sari
    Belum baca yang kumcer. Jadi penasaran. Nanti deh belinya kalau begitu. Kapan-kapan. =))

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.