Kehilangan

Suatu hari di bulan Januari 2011 berlokasi di Plaza Senayan, ayah saya bilang begini, "Pokoknya kalau tahun ini kamu tidak lulus, kamu pulang ke Lampung saja. Kamu berhenti kuliah. Lebih baik kamu jadi petani." Diultimatum semacam itu mau tak mau membuat saya menyelesaikan skripsi. Awalnya yang saya kira skripsi itu susah minta ampun, ternyata kalau dikerjakan sungguh-sungguh dalam 3-4 bulan setelahnya saya dengan sombong bilang ke diri sendiri, "Udah nih? Segini doang bikin skripsi? Serius? Demi apa?" *plak*

Setelah saya sidang skripsi, ayah saya langsung menelpon saya. Beliau menanyakan kabar sidang saya. Dengan bangga saya memberitahu beliau saya lulus. "Alhamdulillah," ucap beliau. Saya tahu beliau bangga sama saya. Anak bungsunya, yang dulu bandel sampai kabur segala dari rumah demi kuliah di Depok, akhirnya lulus juga. Beliau menyempatkan diri untuk menghadiri wisuda saya di Balairung, Depok. Sementara keesokannya beliau harus ke Singapura untuk kemo.

Saya ingat ayah saya pernah cerita beliau hampir ribut dengan suster di rumah sakit tempat saya dirawat. Sewaktu saya kecil saya memang langganan rumah sakit. Perkaranya dulu, kata ayah saya, sudah sore tapi saya belum dimandikan oleh suster. Ayah saya menemui suster. Beliau hampir membungkuk badannya menanyakan kapan saya akan dimandikan. Suster itu menjawab dengan nada suara sombong, "Ya, nanti." Ayah saya yang asli Lampung itu tidak terima. Digebraknya meja sambil berteriak memarahi suster tersebut. Hahaha...

Perhatian ayah saya tidak hanya di situ. Sudah sebesar inipun kalau saya sakit, ayah saya masih mengurus saya. Berkali-kali masuk ke UGD karena dada saya sesak, beliau yang menemani. Ke dokter gigi untuk cabut gigi bungsu pun beliau juga menemani. Bahkan, setelah saya kecelakaan jatuh dari motor empat bulan lalu, sekitar pukul 2 atau 3 dini hari saya menangis karena kepala saya luar biasa sakit, ayah saya bangun, menyalakan mesin mobil, kemudian ke rumah sakit menebus obat pain killer untuk saya.

Kami berdua hobi nonton tenis bareng. Kalau Mas Rafael Nadal main, pasti saya tidur di kamar orangtua saya untuk numpang nonton. Soalnya di rumah yang pasang tivi kabel hanya di kamar orangtua saya. :D Oh iya, nonton sepakbola dan bulu tangkis juga. Kalau kami sudah nonton bareng, ayah saya tidak mau kalah dengan komentator di televisi. Sepanjang pertandingan pasti beliau berkomentar. Saya hanya bisa bilang dalam hati, "Pa, diem dong. Mau nonton nih. Aku gak konsen nontonnya karena dengerin Papa ngomong juga." Hahahaha... Maafin ya, Pa. :)

Ayah saya itu meski sakit, tapi seperti orang sehat saja. Beliau kalau jalan masih cepat dan kuat berapa kali putaran. Sementara saya yang sehat begini kalau sudah menemani beliau jalan, seringkali tertinggal jauh. Semangat hidupnya luar biasa sekali. Semangat untuk sehatnya juga luar biasa. Beliau tidak pernah mau menyerah dengan penyakitnya. Beliau selalu bilang ke saya setiap ada penyakit pasti ada obatnya. Kalau masih ada obatnya, ya berobat. Jangan pasrah.

"Nak, sebenarnya Papa ini sudah capek. Kalau Papa harus meninggal besok, ya Papa sudah siap. Cuma kan kita ini orang beragama. Harus tetap ikhtiar. Kalau masih ada obat, ya kita berobat," ujar ayah saya di suatu pagi di bulan November kemarin. Saya hanya bisa terdiam sambil mengagumi dalam hati. Luar biasa kuat ayah saya melawan kanker yang sudah menggerogoti tubuhnya selama empat tahun. Dalam beberapa bulan terakhir kondisinya mulai menurun, beliau sudah sering mengeluh sakit di dadanya, sesak, bahkan sudah tidak kuat lagi jalan jauh.

Ketika kami membawanya ke RS Dharmais, Jakarta, tahulah kami bahwa kankernya sudah ke tulang iga. Belakangan kami juga diberitahu limpa sudah kena dan di usus kankernya muncul lagi. Kami sekeluarga sudah siap akan kemungkinan terburuk. Namun, sesiap apapun kami pada akhirnya kami tetap akan merasa kehilangan yang sangat ketika ayah saya benar-benar pergi.

And after four years fighting cancer, finally my father won the battle. 3 Desember 2013, pukul 11 malam, ayah saya menghembuskan napas terakhir. Saya ada di samping beliau di saat-saat terakhirnya. Kami semua, anak-anak beliau, ibu saya, kakak dan adik-adik beliau, juga keponakan-keponakannya menemani beliau sampai beliau benar-benar pergi.

Saya telah kehilangan orang yang sangat saya cintai dalam hidup saya. And I don't know how to cope with that. This is what it feels like losing someone that we love. Pain. Hurt. Empty. Often I think I just wanna give up. But, I already made a promise to my dad that I will take care of my mom. Therefore, I have to live.

Dan saya mencoba kembali menulis di blog. Menuangkan kembali apa yang saya rasakan lewat tulisan. Dan saya menulis ini. Awalnya saya kira saya sudah cukup kuat untuk menyalakan laptop dan menulis. Rupanya, dari kata pertama yang saya ketikan, air mata saya sudah tumpah. Bersama air mata, ada penyesalan yang terus bergumul di dalam pikiran. Seandainya saya punya waktu lebih banyak bersama ayah saya, saya akan membahagiakannya, memeluknya, menciumnya, membuatnya bangga.. 

The death of my father changed my life. It changes the way I view life, the way I live my life, everything. One thing for sure my life will never be the same again without my father. 

14 comments

  1. ahhh..papah memang ngangenin yaa...marah dan baiknya itu lho... dan yg pasti ngga ada lg tempat curhat...yg bisa mengerti posisi kita dimana.. papahhh..kami selalu merindukan kamu..."kapan kawinnya ayu... heheehee"

    ReplyDelete
  2. Kimi yang kuat yah? Skripsi aja bisa, yang lain-lain pasti juga bisa. Papa juga kan selalu percaya kalau kamu bisa.


    *peluk kenceng*

    ReplyDelete
  3. GracyandiDanielHendriantoDecember 17, 2013 at 9:48 AM

    Sabar dan yang kuat ya, kimi.
    Kimi itu kuat kok... :D

    ReplyDelete
  4. Mbak, turut berduka cita :(

    Semoga beliau mendapat tempat terindah di sisi-Nya, dan semoga amal ibadah semasa hidup diterima oleh-Nya, amin.....

    ReplyDelete
  5. Papa memang ngangenin banget... :((

    ReplyDelete
  6. Terima kasih banyak, Kitin. Pengen peluk beneraaaan... :((

    ReplyDelete
  7. Terima kasih, Mas Daniel. InsyaAllah kuat, tapi masih suka pengen nangis. :(

    ReplyDelete
  8. Terima kasih, Albar. InsyaAllah gue gak berhenti membuat beliau bangga. :)

    ReplyDelete
  9. Terima kasih doanya, Ditter. :)

    ReplyDelete
  10. Turut berduka cita Kimi..
    tetap semangat ya

    ReplyDelete
  11. turut berduka cita ya, kimi. be strong! :'( bacanya jadi ikutan nangis. :'(

    ReplyDelete
  12. Nayarini EstiningsihMarch 20, 2014 at 2:39 PM

    Kimmmm, tadi dah ngetik panjang kok ga keposting. Maaf baru tahu, turut berduka cita yg sedalam-dalamnya, hiks. He left you on my birthday. And for that I will always remember it, and remember you. Big hug from us, stay strong...♡.♡

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.