Renungan Pesawat

Setelah minggu lalu saya ke Jakarta karena mendapat undangan mengikuti workshop Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional, kemarin malam saya kembali ke Jakarta. Kali ini saya memutuskan untuk naik pesawat. Saya sedang bosan dan lelah kalau harus menempuh perjalanan darat menuju Jakarta. Lama perjalanan bisa mencapai sepuluh jam. Sementara kalau naik pesawat sekitar 40 menit sudah bisa sampai di Jakarta kok. Yah, terkadang memang bisa ngaret sih. Tergantung Bandara Soekarno-Hatta sedang padat atau tidak.

Saya beli tiket pesawat Lion Air yang berangkat pukul 18.30 dari Bandara Radin Inten II Lampung. Menurut jadwal tiba di Soetta sekitar pukul 19.20. Tapi, malam itu pesawat terlambat sekitar 30 menit. Masih bisa dimaklumi kalau terlambat 30 menit. Cuaca malam itu cerah dan tidak hujan. Jadi seharusnya penerbangan nanti akan lancar dan aman-aman saja. 

Sambil menunggu boarding, saya mengobrol dengan teman saya melalui aplikasi BBM. Kami berbicara banyak hal, terutama sekali tentang apa yang sedang terjadi dengan saya belakangan ini. Saya mengacuhkan keadaan sekitar. Meski bandara saat itu ramai dan sesak, saya tidak terlalu peduli. Sesekali saya menyapu pandangan dan melihat ada 1-2 orang yang saya kenal. Saya sedang malas menegur dan beramah tamah dengan mereka. Saya pun melanjutkan obrolan dengan teman saya.

Mendekati pukul 7 malam terdengar suara pengumuman penumpang Lion Air dipersilakan naik ke pesawat. Saya segera bangun dari kursi dan menggendong tas ransel untuk kemudian mengambil antrian agar bisa naik ke pesawat. Tiket saya serahkan ke petugas dan dia menyobeknya. Saya melangkahkan kaki menuju pesawat yang siap memberangkatkan kami ke Jakarta. Saya melihat langit yang sudah gelap. "Mudah-mudahan tidak hujan dan perjalanan lancar," doa saya.

Setiap kali saya naik pesawat, sebelum pesawat lepas landas, saya selalu berusaha untuk memejamkan mata. Saya selalu berusaha untuk tidur sebelum pesawat take off. Karena sejujurnya saya ngeri ketika pesawat lepas landas. Ini serius. Sayangnya kemarin saya tidak memejamkan mata. Saya sedang tidak bisa memejamkan mata. Surprisingly, kemarin saya malah menikmati proses pesawat lepas landas. Tidak ada perasaan takut seperti biasanya. Mungkinkah ini karena kekuatan doa yang saya panjatkan sebelumnya? Atau kah karena masalah belakangan ini yang terjadi bisa membuat saya lupa akan ketakutan saya?

Selama di penerbangan akhirnya saya mencoba untuk memejamkan mata, tapi saya tidak tidur. Mata saya memang terpejam, tetapi pikiran saya berkelana. Berbagai peristiwa selama satu tahun terakhir berkelebat dalam ingatan. Kecelakaan motor yang menimpa saya, kehilangan ayah saya, kakak tertua sakit dua bulan di Jakarta dan akhirnya meninggal 11 Juli 2014 kemarin, kakak nomor empat juga sedang sakit, dan yang mengganggu juga adalah saya harus bertemu dengan orang-orang brengsek. Seperti yang sudah saya tulis di sini, bajingan does exist dan kita mempunyai kesempatan bertemu dengan bajingan yang akan memanfaatkan dan menyakiti kita. 

Menyebalkan memang, tapi apa mau dikata? Marah? Pasti. Bahkan saya sempat terpikir untuk ikut-ikutan jadi brengsek juga. Sepertinya jadi orang brengsek itu menyenangkan. Tapi, ya setelah dipikir lagi untuk apa coba? Itu bukan saya banget deh. Biarkan saja orang lain yang brengsek asalkan saya jangan ikut-ikutan jadi brengsek. Iya kan?

Tak lama kemudian pesawat mendarat. Bruk, bruk, bruk... Mendaratnya sungguh tidak smooth. Saya kaget dan langsung membuka mata. Spontan saya menengok ke samping. Biasanya saya melihat ayah saya di samping saya. Sayangnya ayah saya sudah tidak bisa ikut lagi naik pesawat. Saya jadi teringat kebiasaan beliau. Kalau sudah mendarat, hal yang dilakukan ayah saya adalah mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. "Alhamdulillah, mendarat dengan selamat," mungkin begitu yang dipikirkan beliau. Dan saya membawa kebiasaan itu sampai sekarang. Setiap kali pesawat mendarat, saya mengusap wajah saya dan mengucap syukur saya tiba dengan selamat. Alhamdulillah.

20 comments

  1. Kimi, aku belum pernah naik pesawat terbang :'(

    ReplyDelete
  2. patut diteladani nih kebiasaannya

    ReplyDelete
  3. perjalanan naik pesawatnya satu tujuan,
    perjalanan pikirannya sudah ke berbagai tempat, kenangan dan kejadian ya Kim.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar banget, Mbak. Sejujurnya, terkadang seperti itu melelahkan sih... *kemudian curhat*

      Delete
  4. Hmm.. aku justru paling suka saat mau take-off loh mbak. Tapi agak takut-takut saat landing. Karena katanya landing lebih berbahaya daripada take-off

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, kita beda ya kalau begitu. Ya tapi gak apa2 juga sih. :D

      Delete
  5. Gaya bahasanya blog ini sekarang lebih nyastra, hee

    "Mata saya memang terpejam, tetapi pikiran saya berkelana. Berbagai peristiwa selama satu tahun terakhir berkelebat dalam ingatan."

    >horee ga pake disqus lagi<

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, Mas Huda! Kemana aja nih jarang keliatan? Sering2 update dong blognya.

      Delete
  6. Tulisan lo itu bagus yah, Kim. Tone-nya enak gitu. Kalo gue naik pesawat, pikiran gue sih gak ke mana2, soalnya tidur hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaah... tulisan gue dibilang bagus. Thank you, El! :)

      Delete
  7. mau ikutan dong naik pesawat ,, saya ga pernah ,, ayah ibu saya pernah dulu waktu naik haji ,,wkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nanti kalau ada rejeki silakan beli tiket pesawatnya sendiri ya, Mas/Mbak... :)

      Delete
  8. Aku nyess baca paragraf terakhir :|

    ReplyDelete
  9. naik pesawat buat saya adalah opsi terakhir :D

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.