Masih Brengsek

Saya punya teman kuliah, yang mari kita sebut saja namanya dengan Ksatria *efek sehabis nonton Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh*. Suatu hari Ksatria sedang galau. Melalui Whatsapp Ksatria meluapkan kegalauannya kepada saya. Dia bilang kenapa kisah percintaannya menyedihkan sekali. Dia kan ingin bahagia bersama kekasih yang syukur-syukur bisa jadi istri. Pekerjaan sudah ada, gaji lumayan lah (masih bisa kalau untuk traktir makan di Namaaz Dining setahun sekali), sedikit-sedikit punya tabungan, dan sudah mencicil rumah.

Ksatria: Tapi, yang gue nggak punya itu cewek, Kim. Gue kesepian.

Ahelah, Bro, curhat masalah percintaan kok ke gue? Elu pikir kisah cinta gue sendiri bagaimana, hah? Hah? HAH? Tapi, setelah saya renungkan kembali mungkin ada hikmahnya kenapa Ksatria curhat ke saya. Hikmahnya adalah kami bisa menggalau bersama. Saya bisa gantian curhat ke dia. Ibarat bermain bulutangkis, Ksatria yang pertama kali memberikan servis, lalu saya balas permainannya. Saya ladeni pukulan-pukulannya, lalu tiba-tiba saya smes. "Eh, gantian ya gue yang curhat," ucap saya tiba-tiba. Halah, sungguh perumpamaan yang aneh.

Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu Ksatria kirim Whatsapp ke saya. Dia memberi kabar gembira.

Ksatria: Kim, gue sekarang lagi dekat sama empat cewek. Mungkin ini jawaban dari doa gue.

Alhamdulillah. Sekarang tinggal Ksatria saja fokus ke yang mana. Saya bilang kalau masih bingung mau serius sama yang mana, minta petunjuk Allah. Sholat istikharah. Dan dia menjawab, "Iya, nih, Kim. Kayaknya gue harus sholat istikharah deh. Eh tapi kemarin-kemarin itu gue lagi bandel. Gue jadi sibuk ngegame. Cewek-cewek itu kemarin sempat gue cuekin. Gue lebih memilih main game. Gue jadi lupa waktu. Kok gue jadi balik jadi remaja lagi ya?" Ah, dasar manusia.

Mendengar jawaban Ksatria saya langsung merenung. Empat cewek yang sedang dekat dengan Ksatria ini oke-oke lho. Ada yang dokter, psikolog, karyawati salah satu bank, dan satunya lagi masih kuliah tingkat akhir sih. Ksatria, dan kita semua, kepingin punya pasangan yang kualitasnya oke, syukur Alhamdulillah kalau bisa sempurna. Kalau tidak dapat yang sempurna, yah mendekati sempurna lah. Wajah harus oke, penampilan menarik, kepribadian halus dan lembut, sabar, penyayang, bertanggung jawab, setia, dan seterusnya. Tambahkanlah sendiri dengan kriteria kalian masing-masing.

Saya bilang ke Ksatria, "Eh, Cuy, lo kalau pengen punya cewek yang oke, ya elu-nya juga harus memperbaiki diri. Elu-nya juga harus oke. Biar fair." Karena terkadang begini... Manusia itu egois. Kita kepingin pintar, tapi tidak mau belajar. Kita kepingin punya banyak duit, tapi tidak mau capek kerja dan lebih memilih jalan pintas dengan korupsi. Lalu, kita kepingin jodoh yang sempurna, tapi kitanya saja masih brengsek. Eh, jangan salah sangka dulu. Ksatria, teman saya ini, orang baik. Mungkin dia sedang khilaf saja kemarin itu dengan game-nya...

Intinya yang ingin saya sampaikan demikian lah. Kita kepingin sesuatu, tapi kita tidak berkaca ke diri sendiri. Balik ke soal jodoh tadi. Kita kepingin jodoh yang sempurna--cantik atau ganteng, pintar, baik hati, setia, penyayang, you name it, tapi kita sendiri belum memperbaiki diri. Kira-kira adil gak? Kalau kata saya sih tidak adil.

Penggemar: Tapi, Kim, katanya cari jodoh yang bisa menutupi kekurangan kita dengan kelebihannya. Menurutmu bagaimana?

Ijinkan saya mengutip dari novel Sabtu Bersama Bapak ya. Berikut adalah pendapat Cakra perihal mencari jodoh ini:

"Kalo saya..." Cakra terdiam lama. "Kalo saya, saya gak akan mencari perempuan yang melengkapi saya." ... "Kata Bapak saya... dan dia dapat ini dari orang lain. Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan, Yu."
"..."
"Karena untuk menjadi kuat, adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain."
"..."
"Tiga dikurang tiga berapa, Yu?"
"Nol."
"Nah. Misalnya, saya gak kuat agamanya. Lantas saya cari pacar yang kuat agamanya. Pernikahan kami akan habis waktunya dengan si kuat melengkapi yang lemah."
"..."
"Padahal setiap orang sebenarnya wajib menguatkan agama. Terlepas dari siapa pun jodohnya."
"Tiga dikali tiga berapa, Yu?" (hal. 216 - 217)

Masih dari novel yang sama, Adhitya Mulya mengutip Oprah Winfrey, "Find someone complimentary, not supplementary." Intermezzo sebentar. Saya sudah menulis riviu Sabtu Bersama Bapak di sini lho. Silakan mampir dulu... :b

Lanjut lagi... 

Nah, dari situ saya menyimpulkan seperti ini: bagaimana mungkin kita mengharapkan pasangan yang baik, tapi kita sendiri masih bajingan? Apa kita menaruh harapan semoga pasangan kita kelak bisa menuntun kita menjadi manusia yang lebih baik dan menghapus kelemahan-kelemahan kita? Padahal, kalau mau jujur, orang lain tidak bertanggung jawab dengan diri kita. Kita pun tidak bertanggung jawab dengan orang lain. Kita tidak bisa mengubah orang lain, sama halnya orang lain tidak bisa mengubah kita. Itu bukan tugas kita dan bukan tugas mereka, melainkan tugas individu masing-masing. Kita yang bertanggung jawab akan diri kita sendiri. 

Yah, sebenarnya tulisan ini juga untuk mengingatkan diri saya sendiri. Karena bisa jadi sebenarnya saya ini masih brengsek... 

23 comments

  1. Untuk menjadi pria dewasa, seorang bocah laki-laki harus mengalami fase brengseknya. Berjuang mempelajari dunia hitamnya, berjuang menghadapi ujian dunia suramnya. Jadilah ia pria dewasa yang lulus dari kebrengsekannya sendiri, sukur-sukur bisa cumlaude.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya berpikir manusia--laki-laki dan perempuan--itu sesekali perlu nakal atau pernah nakal, biar belajar dari pengalaman. Asalkan ya seperti yang Mas Ilham bilang bisa lulus dari kebrengsekannya sendiri, bukannya keterusan menjadi brengsek. :)

      Delete
  2. Seperti sebuah ungkapan lama pria baik untuk wanita baik2 pula begitu juga sebaliknya.. eh.. gak tau juga deng..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau soal itu, saya juga kurang tahu ding. Hihihi... Yang penting kitanya saja yang terus memperbaiki diri. :)

      Delete
  3. Replies
    1. Cerita-cerita dong, Mbak, kebrengsekan jaman dulu. Hihihihi... *langsung dikeplak*

      Delete
  4. Lelaki akan menjadi baik setelah bertemu dengan pasangannya. Itu sih kisah dari bokap nyokap gua haha.

    ReplyDelete
  5. Deuh, jlebb amat yak... Hehe... *Jadi merenung. Dan tambah penasaran sama buku Sabtu Bersama Bapak-nya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau penasaran, bolehlah segera dibeli bukunya. Bagus kok. :)

      Delete
  6. Emm... bener banget..
    Kdg kita terlalu pemilih, tapi sbnrnya belum layak untuk dipilih..
    Kalo kata orang bijak, disuruh memantaskan diri dl biar pantas disandingkan dg yg pantas. Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, ini! Kata-katanya pas banget. Thanks yaaa...

      Delete
  7. Jadi inget apa yang ditulis dalam buku The Secret tentang jodoh, konsep memantaskan diri :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya belum baca The Secret. Mungkin suatu saat nanti bisa saya baca bukunya biar saya jadi bisa lebih memahami konsep memantaskan diri ini. :D

      Delete
  8. Hahah.. Kenapa Ksatria ngga sama Mbak Kimi aja? Eh :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena saya sudah sama Rafael Nadal. Cukup sekian dan terima kasih. :P

      Delete
    2. Aku sampek gugling siapa Rafael Nadal cobak, Mbak.. -_-

      Delete
  9. Hmm... bener juga ya, Kim.... Ngga adil itu... *merenung **menerawang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan kebanyakan merenung, Dit... Nanti kamu kesambet setan. Eh, itu melamun ya? *krik*

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.