Kembali Ke Jaman Dulu?

Manusia adalah khilafah. Kita adalah makhluk sempurna di muka bumi ini. Begitu agama saya mengajarkan. Semakin saya dewasa semakin saya bertanya-tanya apa sesungguhnya yang membuat kita sempurna? Dari semua makhluk hidup di Bumi ini mengapa hanya kita yang dapat berbicara, menulis, memasak, menjahit, membangun gedung-gedung bertingkat, berpikir abstrak, menyelesaikan soal-soal matematika kompleks, dan sebagainya? Jawabannya akhirnya saya temukan, yaitu ternyata kita memiliki otak yang kemampuannya sangat luar biasa.

Saya menemukan video TED yang membahas tentang otak kita yang spesial ini. Video yang menarik. Ibu Suzana Herculano-Houzel mempresentasikan materinya dengan bahasa yang mudah dipahami. Cara menyampaikannya pun juga menarik dan tidak kaku. Berikut videonya. 





Jadi, apa yang membuat otak manusia begitu hebat? What is so special about the human brain

Asumsi kita selama ini karena kita memiliki otak yang besar. Otak yang besar berarti kemampuan kognitifnya juga tinggi. Tapi, tunggu dulu. Otak kita bukan yang terbesar di antara makhluk hidup. Mari kita simak penjelasan Ibu Suzana:

If all brains were made the same way and you were to compare animals with brains of different sizes, larger brains should always have more neurons than smaller brains, and the larger the brain, the more cognitively able its owner should be. So the largest brain around should also be the most cognitively able. And here comes the bad news: Our brain, not the largest one around. It seems quite vexing. Our brain weighs between 1.2 and 1.5 kilos, but elephant brains weigh between four and five kilos, and whale brains can weigh up to nine kilos, which is why scientists used to resort to saying that our brain must be special to explain our cognitive abilities. It must be really extraordinary, an exception to the rule. Theirs may be bigger, but ours is better. 

Otak manusia memang besar, jika kita membandingkannya dengan hewan primata lainnya dan bukan membandingkannya dengan sembarang hewan. Sebagai contoh perbandingan, otak kita tiga kali lebih besar dibandingkan otak gorila, tapi otak kita jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan gajah atau ikan paus.

 
gambar dari sini


Tidak hanya besar, otak kita juga mahal. Otak kita yang beratnya hanya sekitar 2% dari massa tubuh ternyata mengonsumsi energi sekitar 25% untuk bekerja. Dan kita memiliki 86 miliar neuron, 16 miliarnya ada di cerebral cortex

We found that we have, on average, 86 billion neurons, 16 billion of which are in the cerebral cortex, and if you consider that the cerebral cortex is the seat of functions like awareness and logical and abstract reasoning, and that 16 billion is the most neurons that any cortex has, I think this is the simplest explanation for our remarkable cognitive abilities.

Karena jumlah neuron yang banyak itulah yang membuat otak kita membutuhkan energi yang besar.

... So the reason why the human brain costs so much energy is simply because it has a huge number of neurons ...

Hewan primata besar, seperti gorila dan orangutan, tidak memiliki otak lebih besar dari kita. Kenapa? Ternyata ada harga yang harus dibayar. Karena neuron itu mahal.

Kita sudah bahas sebelumnya otak memerlukan energi yang besar. Pilihannya antara punya badan besar atau jumlah neuron yang banyak. Gorila dan orangutan memiliki 30 miliar neuron. Bandingkan dengan manusia yang memiliki 86 miliar neuron. Mereka hanya mampu memberi makan otak mereka yang memiliki 30 miliar neuron meski mereka makan selama 8 jam setiap harinya.


gambar dari sini


Dari mana kita bisa memperoleh energi sebesar itu? Tentu saja dari makanan. Apa yang membedakan kita dengan hewan primata lainnya adalah kita memasak, sementara mereka tidak. Dengan memasak kita telah menghemat waktu dan mendapatkan energi yang lebih banyak ketimbang dengan makanan yang tidak dimasak.

To cook is to use fire to pre-digest foods outside of your body. Cooked foods are softer, so they're easier to chew and to turn completely into mush in your mouth, so that allows them to be completely digested and absorbed in your gut, which makes them yield much more energy in much less time. 

Inilah, menurut Ibu Suzana, yang membuat kita bisa seperti sekarang. 

So I think this explains why the human brain grew to become so large so fast in evolution, all of the while remaining just a primate brain.

Yang menarik ketika Ibu Suzana bilang begini:

With this large brain now affordable by cooking, we went rapidly from raw foods to culture, agriculture, civilization, grocery stores, electricity, refrigerators, all of those things that nowadays allow us to get all the energy we need for the whole day in a single sitting at your favorite fast food joint. So what once was a solution now became the problem, and ironically, we look for the solution in raw food.

Nenek moyang kita dulu menemukan masak-memasak dan karena inilah kita bisa berevolusi hingga di titik ini. Tapi, sekarang sudah banyak kita menemukan orang-orang yang pola makannya kembali ke masa manusia purba yang hobi berburu dan mengumpulkan apa saja yang bisa dimakan. Tentu istilah food combining dan paleo diet sudah tidak asing lagi di telinga kita. Mungkin ini adalah suatu hal yang baik untuk kita. Mengingat gaya hidup dan pola makan kita di jaman sekarang memang sudah berantakan dan ampun-ampunan kacaunya. Tidak heran banyak penyakit mengancam kita. Makanya kita sekarang mencari solusi untuk kembali ke "masa lalu".

Hal ini senada dengan buku yang sudah saya baca. Judulnya Sex at Dawn. Si penulis, Christopher Ryan, pernah presentasi di forum TED juga dan pernah saya bahas di sini. Kalau sebelumnya kita sudah membahas manusia purba berevolusi menjadi manusia modern karena mereka memasak sehingga memengaruhi berat otak mereka, maka di buku ini Ryan membahas tentang seks.

Menurut Ryan, dan Cacilda Jethá (co-author Sex at Dawn), manusia itu sejatinya adalah sexual omnivores, bukan sexual monogamy. Artinya, kita ini fitrahnya punya lebih dari satu pasangan. Karena manusia purba dulu juga begitu. Di mana saja, asal suka sama suka, kepingin, terus melakukan hubungan intim deh. Dulu kan manusia purba ke mana-mana dalam kelompok, mereka saling melindungi, dan itu yang membuat mereka selamat hingga bisa berevolusi. Dalam kelompok itulah tidak ada eksklusivitas. Semuanya milik bersama. Masa itu juga mana mengenal siapa pasangannya siapa.


gambar dari pinterest


Mereka memberi contoh beberapa budaya yang masih menganut kebebasan dalam seks. Mohon maaf saya lupa mencatat budaya mana saja yang dimaksud. Saya ingat salah satu argumennya di mana budaya ini--yang bebas dalam seks--tidak mempermasalahkan siapa ayah biologis dari seorang anak yang lahir. Malah mereka, dalam satu kampung tersebut, membesarkan anak tersebut bersama-sama.
 
Ryan dan Jethá terang-terangan mengajukan argumen promiscuous sex itu sudah paling tepat untuk manusia. Menurut mereka manfaatnya sudah jelas kok. Justru dengan hanya setia pada satu pasangan itu melawan fitrah manusia. Sebagai manusia, kita ini memang gampang tertarik dengan manusia lain. Kehidupan dewasa ini sudah tidak cocok lagi dengan konsep pernikahan yang mengharuskan manusia setia hanya pada satu pasangan. Saya kutip kembali argumennya di dalam video TED tersebut:

"... And so what I'm arguing against it's the shame that associated with desires. It's the idea that if you love your husband or wife but you still attracted to other people, there's something wrong with you, there's something wrong with your marriage, something wrong with your partner. I think a lot of families are fractured by unrealistic expectations that are based upon this false vision of human sexuality."

Mereka juga mengkritik keras munculnya pertanian. Karena, menurut mereka, sejak pertanian ada maka manusia purba yang awalnya promiscuous sex lambat-laun bergeser menjadi sexual monogamy. Sejak pertanian inilah sistem sosial terus berkembang. Kita jadi mengenal agama, hukum, dan budaya yang memaksa masyarakatnya hanya boleh memiliki satu pasangan. Intinya kita jadi mengenal cinta, cemburu, dan pernikahan.
Jikalau Ibu Suzana bilang sekarang kita mengikuti pola makan seperti manusia purba dulu yang hanya makan makanan mentah, maka dalam urusan seks juga kita sekarang kembali juga ke masa manusia purba dulu, yaitu promiscuous sex. Sudah menjadi rahasia umum kalau sekarang kita semakin lumrah mendengar semakin banyak penganut polyamori, swingers club, poligami (poliandri dan poligini. Pengecualian untuk ini karena poligami memang sudah ada sejak dulu), dan lainnya. 

Gaya hidup seperti ini bukan saya banget. Saya belum dapat menerima kalau-kalau nanti pasangan saya datang memberitahu saya bahwa dia tertarik dengan wanita lain dan ingin menjalin hubungan dengan wanita tersebut. Demikian sebaliknya pasti nanti pasangan saya sulit untuk menerima kalau saya juga ingin menjalin hubungan dengan pria lain. Karena saya, selaku manusia modern, mengenal dan memahami perasaan cinta, cemburu, dan takut kehilangan.

1 comment

  1. Sama kayak chapter2 awalnya harari ya. Tapi klo ga salah sal dibilang bahwa feeling insecure ditinggal pasangan (hence monogami) jg natural.

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.