Memaknai Kematian

Day 29.

Kalau kemarin saya mengingat-ingat kapan pertama kali Tuhan dikenalkan ke saya, sekarang saya iseng ingin mencoba mengingat kapan pertama kali konsep kematian diajarkan ke saya. Kalian ingat kapan pertama kali kalian tiba-tiba mikir kalian takut mati?

Saya mencoba membuka laci memori di dalam otak saya. Mencari-cari memori apa saja yang berkaitan dengan hal ini. Kapan yah saya tahu untuk pertama kalinya kematian itu apa? Sayangnya, saya nggak nemu. Tetapi, ada satu memori yang saya ingat banget. Sepertinya sih saya sudah SD. Saya lupa kelas berapa. Saat itu saya tidur-tiduran. Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba saya merinding sendiri. Tahu-tahu saya mikir saya takut mati. Aneh banget ya?


Ngomong-ngomong, cukup sering saya menulis tentang kematian di blog ini. Di tahun 2011 saya pernah menulis surat untuk Tuhan. Ceritanya saya curhat kalau saya takut mati. Masih di tahun 2011 saya kembali menulis soal kematian. Saya bahkan mengutip ucapan Sokrates:

Maut itu ibarat tidur nyenyak yang abadi tanpa terganggu sekalipun oleh mimpi.

Kutipan itu gunanya sebagai penenang agar saya tidak terlalu takut sama yang namanya kematian.

Lalu, di tahun 2014 tulisan saya yang ini membahas video TED yang berjudul The 4 Stories We Tell Ourselves About Death. Intinya dalam video tersebut Bapak Stephen Cave bilang kita tidak usah takut mati. Tugas kita sekarang bagaimana membuat cerita yang bagus dalam hidup kita. Kalau mau tahu lebih lengkap ceritanya bagaimana, silakan klik link tersebut. Iya, sekalian ini ngiklan. 🙊

Tadi pagi saya menonton video di channel Crash Course membahas berbagai perspektif kematian.




Saya tidak akan membahas isi video tersebut karena tulisan ini nanti akan terlalu panjang jadinya. Intinya kematian itu bukan suatu hal yang harus ditakuti. Malah, in some sense, kematian itu cool. Saran saya untuk lebih lengkapnya tontonlah video tersebut. Bagus kok. Insya Allah akan menambah cara pandang baru terhadap kematian.

Setelah menonton video di atas, sekarang pertanyaannya adalah kenapa saya takut mati? Apakah ini terkait dengan ajaran agama yang saya terima bahwa ada surga dan neraka? Ataukah saya hanya takut saya berhenti eksis di dunia ini? Atau, saya takut tidak lagi bisa menikmati hal-hal enak yang ada di dunia?

Padahal seharusnya saya tidak perlu takut mati. Kematian itu pasti. Kematian itu akan datang pada semua yang bernyawa. Mau sejauh apapun saya lari dan menghindar, tidak mungkin saya bisa lari dan menghindar dari kematian.

Disadari atau tidak kita menghibur diri kita dengan menyangkal. Kita menyangkal kematian akan datang menjemput kita. Kematian akan menjemput orang lain, tapi tidak akan menjemput kita dan orang-orang yang kita kasihi.

Pernah ada di suatu masa saya berpikir ayah saya tidak akan mati. Nyatanya, jelas-jelas saya salah. Ayah saya toh akhirnya meninggal juga setelah empat tahun berjuang melawan kanker. Beliau meninggal tanggal 3 Desember 2013. I was so devastated. I was crushed to the bones.

Kepedihan masih berlanjut. Tahun 2014 dan 2015 berturut-turut saya kehilangan dua orang kakak laki-laki saya. Ketika kakak saya yang nomor 4 meninggal di tahun 2015, saya bahkan sudah tidak bisa merasakan pedih lagi. I felt numb.

Video di atas tidak hanya membahas ketakutan kita akan kematian, tetapi juga membahas ketakutan kita akan kematian orang-orang yang kita cintai. Zhuangzi, filsuf dari Cina, bilang seharusnya kita tidak perlu takut akan kematian orang-orang yang kita cintai. Dia bertanya:

Why would you fear the inevitable?

Kenapa kita harus takut pada sesuatu hal yang tidak dapat kita hindari? Kematian merupakan bagian dari siklus kehidupan. Kalau kita merayakan pencapaian dalam hidup, seperti kelahiran, ulang tahun, kelulusan, kenapa tidak dengan kematian? Kenapa justru kita menangisinya? Lebih lanjut, Zhuangzi bilang:

Instead, you should celebrate the death of loved one just as you celebrated every other life change that they experienced. You should think their death as a going away party for a grand journey. 

Saya jadi teringat postingan Mas Dewanto yang menarik di sini. Menarik sekali dari caranya memaknai ucapan "Selamat Menempuh Hidup Baru". Menurutnya, ucapan tersebut bukan monopoli pernikahan saja, tetapi juga bisa kita ucapkan pada saat kematian.

Kembali ke Zhuangzi. Menurutnya, dengan kita meratapi kepergian mereka justru kita telah berlaku egois. Dalam pandangannya:


When it's time for the people you love to move on, the last thing you should do is hold them closer.

Ketika orang-orang yang kita cintai sudah saatnya untuk pergi, jangan tahan kepergian mereka. Ikhlaskan. Doakan mereka yang baik-baik. Semoga mereka berbahagia di tempat barunya.

8 comments

  1. Saya tiba2 sedih membaca tulisan ini. Entah kenapa. Tapi di sisi lain, saya justru merasa apa ya tercerahkan, atau mendapat perasaan yg agak enteng.

    Kehilangan, masalahnya adalah muncul saat ada menjadi tiada. Dan ya intinya kembali di titik ikhlas. Saya harus lebih banyak belajar ttg satu kata yang simpel tapi pada kenyataannya tidaklah sesederhana itu.

    Eniwei, lagi2 terimkasih atas tulisan bagus ini ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini gampang untuk ditulis, tapi susah dipraktekkan. Karena aku bukan filsuf seperti Socrates atau Zhuangzi yang bisa memandang enteng kematian. Tapi, tulisan ini dibuat juga sebagai pengingat dan sarana pembelajaran buatku.

      Delete
  2. Yang membunuhku adalah Rahmat yang tak tertandingi.
    Mevlana Rumi

    ReplyDelete
  3. Kematian adalah nasehat yang paling baik (lupa yg ngomong gini siapa) tapi begitulah aku menyikapi kematian.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Atau, "Cukuplah mati sebagai pengingatmu." Tapi, memang betul. Dengan menjadikan kematian sebagai penasihat yang paling baik, tentu kita juga jadi tidak semena-mena dengan hidup.

      Delete
  4. Mba Kim, kalau bicara tentang kematian, saya jadi ingat yang ini mba, seperti apa yang pernah di tulis oleh ustad DR Arifin Baderi :

    Sebuah Renungan Terhadap Kematian

    https://almanhaj.or.id/2549-sebuah-renungan-terhadap-kematian.html

    Atau :
    Derita Sesudah Mati

    https://almanhaj.or.id/2572-derita-sesudah-mati.html

    Cukup ampuh untuk melunakkan hati yang keras..

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.