Mengedukasi Tanpa Menghakimi

Selalu ada keramaian di Twitter hampir setiap harinya. Satu twit bisa membuat orang marah-marah dan memancing perdebatan. Seperti hari ini. Ada satu akun yang mengunggah video TikTok dari Dokter Amira. 




Reaksi warganet terbelah. Ada yang menganggap video Dokter Amira tersebut merupakan sebuah konten edukasi yang menarik. Sementara yang lain menganggap dari penyampaian Dokter Amira sangat menghakimi dan seharusnya Dokter Amira tidak menceritakan ke publik apa yang pasiennya alami. Dokter Amira telah melanggar kode etik. Lalu, ada yang membela Dokter Amira dengan bilang Dokter Amira tidak menyebut identitas asli si pasien, di mana salahnya Dokter Amira?

Saya tadinya tidak mau ikut-ikutan, tetapi karena di linimasa saya banyak yang membahas lama-lama saya jadi terpancing juga. Saya mencoba untuk tidak reaktif dengan langsung membuat twit. Saya memilih untuk membahasnya terlebih dahulu dengan Meutia. Saya tidak mau menulis twit di Twitter karena takut terjebak dalam debat kusir. Dan saya juga takut diamuk massa. Hahaha. 

Dari obrolan itu, saya mendapat kesimpulan bahwa kami sepakat kalau video Dokter Amira tersebut memang menghakimi si pasien. Tujuannya mungkin baik untuk edukasi bahaya kehamilan ektopik, tetapi ada banyak cara yang bisa disampaikan tanpa harus menyinggung atau membuka informasi pasien. Memang Dokter Amira tidak menyebut nama, kota, kampus, atau informasi lain dari pasien, tetapi tidak perlu lah membeberkan informasi yang tidak ada kaitannya dengan informasi medis yang dibutuhkan untuk edukasi. Saya tidak akan menyampaikan ulang di sini karena saya tidak mau seperti Dokter Amira. Kalau kalian penasaran, silakan untuk nonton videonya langsung di tautan Twitter yang sudah saya lekatkan (embed) di atas. 

Padahal bisa lho Dokter Amira membuat konten edukasi tanpa harus membuka informasi pasien dan tanpa menghakimi. Misalnya, "Saya baru dapat pasien KET. Kondisinya gawat, usianya masih muda. Buat yang belum tahu, KET itu adalah ... (jelaskan). Apa saja faktor-faktor penyebab KET? (jelaskan). Lalu, bagaimana cara kita bisa mencegahnya? (jelaskan)." 

Kalau target audiensnya adalah remaja perempuan, bisa ditambahkan dengan, "Buat yang masih muda-muda, kalau bisa nih ya... Jangan seks bebas ya. Seksnya nanti saja kalau sudah menikah. Tapiiii, kalau memang tidak bisa, jangan lakukan seks pada usia masih belasan tahun. Dan yang penting juga, safe sex." 

Tambahin lagi deh, "Saya berharap ini tidak terjadi pada kalian, tetapi seandainya sudah terjadi, masih muda dan sedang hamil, tolong periksakan kandungan kalian ke dokter ya karena bisa cepat ketahuan kalau-kalau kehamilannya KET." 

Tambahin lagi, "Saya tahu dan bisa memahami kalau kalian takut dan malu. Kalian bisa kirim DM ke saya, kasih tahu kalian tinggal di daerah mana. Kalau saya bisa dan sempat, saya akan bantu carikan rekomendasi dokter buat kalian."

Melihat video Dokter Amira tersebut saya sungguh merasa kasihan terhadap pasiennya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Pasiennya sudah hampir kehilangan nyawa, masih dijadikan bahan konten oleh dokternya, dan dihakimi di media sosial.

Saya sepakat dengan apa yang Meutia twitkan:




Tidak heran kalau masih banyak dari kita yang takut buat ke dokter (atau ke tenaga kesehatan lain) karena takut dihakimi begini dan dijadikan konten di media sosial tanpa seizin pasien. Jadi, jangan heran juga kalau masih banyak yang memilih untuk pengobatan atau tindakan ilegal yang justru lebih berbahaya dan bisa mengancam nyawa. Karena mereka takut semakin terstigmatisasi. Padahal seharusnya layanan kesehatan bisa diakses siapa saja dan bebas dari stigma. 

8 comments

  1. Well said, Kimi. Banyak cara untuk memberikan edukasi tanpa menambah embel-embel moral yang sangat bias terhadap suatu issue. Sekarang kita fokusnya mau apa? Edukasinya atau ceramah moralnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget. Kalau mau ceramah moral, mending jadi ustadz atau kiai aja ya.

      Delete
  2. Bener banget, Kak. Sekarang banyak orang bikin konten dg dalih "Edukasi" padahal di dalamnya mencemooh kadang menyinggung, dll
    Kurang bijak dalam bermedia sosial. Tapi kalau disalahkan tidak pada mau.

    Noted ini beritanya, aku baru tau ya ampun. Otw nonton videonya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siap-siap kesal ya kalau nanti sudah nonton videonya.

      Delete
  3. setuju sama alternatif narasinya. akan lebih mengena edukasinya kalo cukup kasih tahu oh ada loh penyakit ini. awal mulanya begini, risikonya ini, dan bagaimana untuk mencegahnya. tapi kalopun kamu berisiko sebaiknya lakukan a b c untuk mitigasi. dah gitu aja sebenernya lebih enak ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, iya kaaan... Kalau si ibu dokter narasinya begitu kan pasti lebih ngena. Kalau judging begitu, takutnya orang2 malah lebih fokus ke ceramahnya ketimbang edukasinya.

      Delete
  4. Saya punya akun twitter, tapi jarang jamah. Soalnya saya kurang nyaman dengan medsos satu ini. Apa2 jadi pro kntra. Saling hujat, dan saling2 lainnya yang bersifat negatif. Terima kasih telah berbagi informasi, Mas Jagawana.

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.