Keluarga

Pasti kita sering mendengar cerita orang-orang yang sukses dengan karir, berhasil mendapatkan materi berlimpah, namun sayangnya tidak selaras dalam kehidupan pribadinya. Hubungan interpersonalnya tidak begitu baik, teman tidak punya, istri minta cerai, dan anak-anaknya membangkang. Pada akhirnya hidup mereka menjadi hampa, meski bergelimangan materi. Tentu saja kita semua tidak ingin hidup kita nantinya berakhir sama dengan cerita tersebut. Saya yakin kita semua--saya dan teman-teman semua--tentu ingin punya kehidupan yang seimbang antara keluarga (dan teman-teman) dan karir.

Saya ingin berbagi cerita. Tepatnya, saya ingin jujur ke teman-teman. Begini, dulu saya tidak pernah menganggap keluarga adalah suatu hal yang penting dalam hidup saya. Bagi saya yang dulu, keluarga hanya membatasi saya dengan peraturan-peraturan bodoh yang diciptakan oleh keluarga saya. Saya jadi merasa saya tidak bisa berkembang. Saya terkungkung dalam cangkang. Belum lagi dengan dinamika dalam kehidupan keluarga saya. Saya merasa Tuhan telah salah memilih keluarga untuk saya. Percaya atau tidak, saya memusuhi keluarga saya dalam diam. Saya juga selalu melihat rumput tetangga jauh lebih hijau ketimbang rumput di rumah sendiri.

Sekarang pandangan saya sudah berubah. Sejak ayah sakit perlahan-lahan saya mulai menyadari arti penting sebuah keluarga. Saya yang dulu memberi jarak yang cukup lebar dengan keluarga mulai memangkas jarak itu. Saya mendekatkan diri ke keluarga. Saya belajar untuk berbagi cerita dengan ayah, ibu, dan kakak-kakak saya. Saya selalu ikut tiap kali ayah saya mengajak jalan-jalan. Singkat cerita, saya menginvestasikan waktu dan tenaga untuk keluarga. Saya ingin mendekatkan diri dengan keluarga saya. Karena saya akhirnya menyadari dua hal. Pertama, sejauh-jauhnya saya pergi, pada akhirnya saya akan pulang ke rumah. Ke keluarga. Kedua, saya tidak pernah tahu kapan saya akan mati dan saya tidak ingin saya mati dalam kesendirian. Yah, setidaknya saya masih ada keluarga yang menangisi kematian saya.

Sebelum bekerja, saya sempat menganggur satu tahun lebih. Dan saya sangat merasakan perbedaan antara saya yang menganggur dan bekerja. Dulu waktu saya hampir 24 jam penuh saya habiskan di rumah. Saya punya waktu banyak untuk keluarga saya, seperti menemani ayah saya menonton televisi, menemani ibu saya jalan, menjemput keponakan saya, bermain dengan Salwa, ngerumpi dengan kakak saya, ah banyak. Meski memang harus diakui saya sempat didera kebosanan karena rutinitas saya yang bisa dibilang monoton, namun saya merasa setidaknya saya punya banyak waktu dan kesempatan untuk quality time dengan keluarga saya. 

Setelah bekerja, waktu untuk keluarga saya tentunya jauh berkurang. Saya baru bisa mengobrol dan menemani orangtua saya setelah saya pulang bekerja. Itupun tidak lama, hanya sekitar 2 - 3 jam setiap malamnya. Sementara akhir pekan kadang saya masih ditelpon untuk datang ke kantor. Awal-awal bekerja saya sempat mengumpat-umpat. Saya kesal tidak bisa punya waktu untuk menemani orangtua saya atau untuk bermain dengan Salwa. Saya sadar bahwa waktu saya terlalu banyak habis di kantor. Dan saya merasa saya ketinggalan banyak hal.

Pengalaman ini membuat saya merenung. Seandainya nanti saya sudah punya keluarga sendiri, saya tidak ingin ngoyo dalam bekerja. Saya tidak ingin memaksakan diri untuk mengejar materi jika saya harus kehilangan waktu-waktu berharga dengan keluarga saya. Materi banyak bisa terkumpul, tapi anak merasa asing dengan saya, ya untuk apa juga? Kamu setuju kan, Calon Pasangan Hidupku? *eh*

Penggemar: Okelah, Kim. Kalau begitu kapan kamu membangun keluargamu sendiri?

Nantilah. Nanti yang entah kapan tapinya. :P

Nah, sementara menanti "nanti-yang-entah-kapan" itu datang, saya menikmati saja waktu-waktu saya sekarang dengan keluarga saya. <3

10 comments

  1. setuju sama Kimi yang bagian: "tidak ingin memaksakan diri untuk mengejar materi jika saya harus kehilangan waktu-waktu berharga dengan keluarga saya. Materi banyak bisa terkumpul, tapi anak merasa asing dengan saya, ya untuk apa juga?"


    kamu juga setuju kan, calon suamiku? *loh, malah numpang curhat di blog Kimi*


    semangat ya cari pasangannya!!! :)

    ReplyDelete
  2. Wah, sama Kim. Dulu pas zaman SMP dan SMA, saya juga merasa menyesal gitu dilahirkan di tengah keluarga saya. Ternyata pikiran itu salah besar, hahaha.... Kayaknya sebagian besar remaja pernah ngalamin kayak gitu ya, hehe.....

    ReplyDelete
  3. keluarga itu seperti anggota satu tim yang sering kita lupakan nilai dan jasa2nya. kita lebih suka mengeksplor diri bersama teman2 dan hobi kita sendiri. padahal kalo kita jatuh, keluarga duluan yang menampung kita. mudah2an saya dan kita semua bisa sukses sekaligus menyayangi keluarga.

    ReplyDelete
  4. @ Ilham
    Betul. Kita seringkali melupakan peran keluarga kita. Dan seperti yang kamu bilang, ketika kita jauh, keluarga adalah yang pertama kali akan menampung kita. :)

    ReplyDelete
  5. @ Ditter
    Hahaha... Namanya ego anak remaja. Merasa dirinya paling benar sendiri. :))

    ReplyDelete
  6. @ fatmapur
    Gak apa-apa kok kamu curhat di blogku. Aku malah senang. :')

    ReplyDelete
  7. Saya masih punya banyak dendam pada keluarga. Menurut saya kedua ortu bertanggungjawab membuat hidup saya sekarang jadi susah. Tapi saya sudah tidak menjaga jarak lagi dengan mereka. Melihat ke depan saja dengan optimis dan kalem. :)

    ReplyDelete
  8. Kita tidak akan pernah tahu apa yang kita miliki, sampai kehilangannya.... :)

    ReplyDelete
  9. Every family is tragic, itu pernah saya baca, tapi lupa dimana. Hal yang paling bijak untuk bisa dilakukan adalah mengambil semua yang bagus2 dari keluarga yg sekarang untuk dibawa ke keluarga kamu nantinya dan membelajari yang buruk2 supaya ke depannya tidak diulangi alias nggak membalas dendam ke anak spt mengulangi apa yang orang tua lakukan ke kita dulu.
    =)

    ReplyDelete
  10. Ternyata bukan aku aja yang pernah berpikir seperti itu. 'kenapa sih orang tuaku kayak gini? kenapa nggak kayak ortu mereka yang lebih membebaskan anaknya'. Tapi seiring waktu berjalan, aku jadi sadar bahwa nggak ada yang namanya salah tempat, salah rumah, salah dapat orang tua. Ini udah takdir, dan ya harus dijalani dengan sebaik-baiknya :)
    Karena mau gimanapun, tempat pulang ya rumah. Yang bersedia menerima kita dalam keadaan apapun ya keluarga. Temen bisa aja dibohongin pake pencitraan segala macem, nah keluarga mau dibohongin kayak gimana? Wong udah hafal tindak tanduk kita, kebiasaan-kebiasaan kita.


    Itu menurutku, sih. Maaf jadi numpang curhat.

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.