Kepatuhan yang Membabi Buta

Stanley Milgram, lahir di tahun 1933 dari keluarga Yahudi, adalah salah satu psikolog sosial terkenal. Ada satu penelitiannya yang sangat terkenal. Penelitiannya itu dibahas di mana-mana dan menjadi salah satu materi yang wajib diajarkan di buku teks Introduction to Psychology bagi mahasiswa Psikologi. Orangtuanya pindah ke Amerika Serikat dari Romania dan Hungaria ketika terjadi Perang Dunia I. Perang Dunia II terjadi dan Holocaust meninggalkan efek yang sangat mendalam pada Milgram. Beberapa keluarga besarnya menjadi korban Holocaust dan mereka yang selamat tinggal bersama keluarga Milgram di Bronx.


gambar dari sini


Karena peristiwa Holocaust begitu personal buat Milgram, dia sejak kecil sudah tertarik dengan isu-isu sosial. Ketika dia remaja pun dia semacam punya ketakutannya tersendiri seperti apakah Holocaust bisa terjadi lagi? Mungkinkah Holocaust terjadi di Amerika? Apakah Milgram dan keluarganya akan berakhir di kamp konsentrasi?

Philip Zimbardo, yang ternyata adalah teman satu SMA di James Monroe High School, dalam salah satu interviewnya bilang meski orang-orang menenangkan Milgram bahwa itu tidak mungkin terjadi di Amerika dan orang-orang di sana tidak seperti Nazi, Milgram masih tidak yakin, "Dari mana kamu tahu? Kok kamu bisa seyakin itu? Bukannya sama saja ya mereka di tahun 1939 akan mengatakan hal yang sama seperti yang kamu katakan sekarang?"

Zimbardo menambahkan:

And essentially, his basic message was, has been, how do you know what you would do? How can you predict with certainty what you would do in a new situation unless you are in the situation? Because when you're outside of the situation looking in, it's easy to make proscriptive judgments. I'm not that kind of person, we're not the kind of people who would do this, and so essentially, Milgram's research really put ordinary people in a new situation.

Thus, muncul lah ide penelitian Milgram tentang kepatuhan (Milgram's obedience experiment) yang terkenal itu.

Sebenarnya, Milgram bisa merancang penelitian sekeren itu karena juga mendapat inspirasi dari Solomon Asch (remember Asch's research on conformity, anyone?). Milgram dulu asisten penelitinya Asch. Scott Plous, profesor Psikologi di Wesleyan University dan psikolog sosial juga, bilang di salah satu video materi di Coursera:

Anyway, an interesting historical footnote is that Stanley Milgram was not only a research assistant for Solomon Asch, but in fact, he conducted his doctoral dissertation on the topic of conformity using a version of the Asch technique. So, Asch's research on conformity in the 1950s laid the groundwork for Milgram's research on obedience in the early 1960s. Throughout his adult life, Milgram considered Asch his main scientific influence, and he saw Asch's research as a kind of intellectual jewel that could be endlessly rotated to yield interesting results. 

Milgram memulai studinya di Juli 1961, satu tahun setelah pengadilan terhadap Adolf Eichmann dilakukan. Milgram merancang eksperimennya itu untuk menjawab pertanyaan apakah mungkin Eichmann dan anak buahnya melakukan Holocaust itu hanya untuk menuruti perintah dari atasan? Apakah bisa kalau kita menyebut mereka sebagai anak buah atau kaki tangan, bukannya sebagai pelaku utama?

Milgram penasaran ingin menjawab pertanyaan ini karena sepertinya sudah menjadi jawaban template bahwa tentara-tentara Jerman itu hanya menjalankan perintah, bukan atas dasar kemauan mereka sendiri. Jadi, jika dilanjutkan pertanyaannya, apakah kita, manusia biasa, akan menuruti kemauan atau perintah apapun dari figur otoritas?

Untuk menjalankan penelitiannya, Milgram memasang iklan di koran membutuhkan partisipan pria untuk ambil bagian dalam penelitian terkait proses belajar. Para partisipan mengira penelitian ini mengukur memori para partisipan. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya yang diukur nanti adalah seberapa patuh mereka pada sosok peneliti yang mengawasi mereka.

Prosedurnya mereka akan dipasangkan dengan orang lain, kemudian mereka akan diundi untuk menentukan siapa yang akan menjadi guru (teacher) dan siapa yang akan menjadi murid (learner). Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya undian ini sudah fix, yaitu para partisipan akan selalu menjadi guru dan Mr. Wallace akan selalu menjadi murid. Mr. Wallace ini adalah confederate yang sudah bekerja sama dengan peneliti.

Sebelum penelitian dimulai, Mr. Wallace memberitahu bahwa dia memiliki kondisi jantung yang agak bermasalah. Peneliti yang berada di situ menenangkan bahwa penelitian ini akan aman dan tidak berbahaya untuk Mr. Wallace. Kemudian, Mr. Wallace masuk ke ruang sebelah, yang berbeda dengan ruangan para guru. Di sana dia dipasangkan kabel (atau sejenisnya lah itu) yang tersambung dengan alat setrum yang ada di ruangan para partisipan alias para guru. Jadi, para guru ini akan menyebutkan pasangan kata yang harus diingat oleh Mr. Wallace. Misalnya, biru - wanita, topi - pria, dan lain sebagainya. Jika si guru menyebut satu kata, "biru", dan Mr. Wallace bisa menjawab dengan benar, maka dia tidak akan disetrum. Namun, jika salah, maka Mr. Wallace akan disetrum. Tegangan paling rendah adalah 15 volts dan akan terus meningkat setiap kali Mr. Wallace tidak dapat menjawab dengan benar.


gambar dari sini


Sebelum melakukan eksperimennya, Milgram bertanya kepada empat puluh psikiater. Kira-kira berapa persen dari penduduk Amerika yang sampai mau memencet tombol terakhir (450 volts)? Mereka menjawab hanya 1% karena itu sudah perilaku sadis. Karena, menurut mereka, hanya 1% dari penduduk Amerika yang sadistic. Hasilnya bagaimana? Apakah sesuai dengan prediksi para psikiater ini? Sabar. Mari kita lanjut pembahasannya.

Pada studi pertama partisipan berjumlah empat puluh pria dengan rentang usia 20 - 50 tahun. Pekerjaan mereka bervariasi, ada yang tukang cukur rambut, pegawai kantoran, dan bos. Dari segi pendidikan pun bervariasi, dari yang tidak lulus sekolah dasar sampai mereka yang memiliki gelar doktoral. Hasilnya? Ada juga partisipan yang mau kasih setrum lebih dari 150 volts ke Mr. Wallace, meski Mr. Wallace sebelumnya sudah minta berhenti karena sudah tidak kuat dan jantungnya terasa nyeri. Bahkan, ketika sudah tidak ada suara protes dari Mr. Wallace sekalipun, partisipan tetap terus kasih setruman karena dianggap Mr. Wallace tidak bisa menjawab pertanyaan dan harus dihukum dengan disetrum.

Semua partisipan sebenarnya ragu untuk melanjutkan begitu pertama kali mendengar teriakan dari Mr. Wallace, tetapi karena ada authority figure (dalam hal ini adalah peneliti yang memakai jubah putih) terus mendorong guru untuk melanjutkan tugasnya. Di dalam setiap protesnya mereka bertanya-tanya bagaimana kondisi si murid? Apakah dia baik-baik saja? Nanti kalau dia kenapa-kenapa siapa yang akan bertanggung jawab? Si peneliti menjawab, "Dia baik-baik saja. Setrumannya itu tidak berbahaya kok. Kamu jangan khawatir. Nanti saya yang bertanggung jawab. Sekarang lanjutkan tesnya, Teacher." Akhirnya, mereka pun tetap melakukan apa yang diperintahkan.

Milgram bikin enam belas studi dengan seribu partisipan. Tidak cuma pria yang jadi partisipan, tetapi juga wanita. Kondisi eksperimen pun dibikin beragam. Ada kondisi di mana guru dan murid di ruangan terpisah dan murid baru akan memukul dinding sebagai tanda protes ketika sudah disetrum di angka 300 volts. Ada juga kondisi di mana guru dan murid berada dalam satu ruangan dengan jarak berbeda-beda, bahkan ada satu kondisi di mana guru memegang sendiri menahan lengan muridnya di atas piringan meja untuk disetrum. Kondisi lainnya adalah keberadaan si peneliti. Apakah tingkat kepatuhan para guru ini berpengaruh dengan ada atau tidaknya sosok otoritas ini? Ternyata berpengaruh. Jika peneliti tidak ada di ruangan, para guru cenderung tidak mematuhi perintah peneliti tersebut.

Bagaimana dengan pertanyaan sebelumnya apakah prediksi para psikiater itu benar? Ternyata, hasil studi Milgram menunjukkan lebih dari 65% partisipan memberikan setruman (yang mereka kira) fatal (450 volts) ke orang asing yang tidak mereka kenal sebelumnya. Semua partisipan lanjut sampai di angka 300 volts.

Kesimpulannya, eksperimen Milgram ini memberitahu kita bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mematuhi perintah yang diberikan oleh figur otoritas kepada mereka. Ini tidak ada kaitannya dengan perilaku sadis, seperti yang diungkapkan oleh para psikiater. Juga bahwa kecenderungan perilaku manusia tersebut lebih dipengaruhi oleh situasi ketimbang kepribadian mereka sendiri. Artinya, manusia baik pun jika berada di situasi yang tidak tepat dan mendapat perintah dari atasan, mereka tidak punya kuasa untuk melawan. Contoh nyatanya adalah tentara Nazi yang mematuhi perintah Hitler tanpa banyak pertanyaan. Atau, lebih dari 900 orang mati bunuh diri atau dibunuh oleh keluarga sendiri pada tahun 1978 di hutan Guyana. Mereka adalah pengikut dari cult yang dipimpin oleh Reverend Jim Jones. Berita lengkapnya bisa teman-teman baca di sini.

Jadi, jika ditanya, "Memang kamu mau menyakiti orang lain kalau disuruh?" tidak usah terlampau percaya diri dengan menjawab kalian akan bisa menolak perintah tersebut. Karena ya jika kita diletakkan pada situasi tersebut, belum tentu kita bisa menolaknya. Seperti yang Milgram bilang, "How do you know? How can you be so sure?" Kalau boleh ditambahkan, "How can you be so sure when you are not in that situation?"

Kenapa itu bisa terjadi? Well, sejak kecil kita diajarkan untuk selalu patuh pada figur otoritas, seperti orangtua, guru, pemuka agama, pemimpin, dokter, dan lain-lain. Tidak ada yang salah dengan mematuhi otoritas, yang salah adalah ketika kita patuh secara membabi buta tanpa bersikap kritis. Istilah kerennya blind obedience. Oleh karena itulah, teman-teman semuanya, jangan sampai kita kehilangan daya kritis kita ya. Jangan asal nurut dan asal percaya sama orang yang kita anggap punya kuasa.

Ngomong-ngomong, seperti yang sudah disebut di awal tulisan penelitian ini cukup kontroversial. Dia dianggap kontroversial karena dianggap tidak etis sudah menyebabkan partisipan berada di situasi yang tidak nyaman (diharuskan untuk menyetrum si "murid") sehingga membuatnya merasa bersalah. Meski tidak ada orang yang disakiti secara fisik, tetapi secara psikis para partisipan ini merasa terganggu.

Oke, cukup sekian tulisan panjang lebar kali ini. Minggu depan saya akan membahas penelitian kontroversial lainnya. Masih ada kaitannya dengan eksperimen Milgram kok. 😁

**Disclaimer: Tulisan ini sewaktu-waktu bisa mengalami perubahan disesuaikan dengan bacaan atau tontonan yang bisa saja bertambah di masa yang akan datang.

2 comments

  1. Tulisan yang menarik dan menambah wawasan saya mengenai psikologi.

    Nama Zimbardo mengingatkan saya tentang 'Stanford Prison Experiment.' Eksperimen ini pun sepertinya sama gilanya dengan 'Obedience Experiment.'

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.