dosen tamu di kelas Psikologi Media

Kuliah Psikologi Media hari ini diisi oleh dosen tamu. Namanya Erwin Ramedhan. Beliau adalah seorang dosen (mengajar di Universitas Atmajaya dan President University. Kalau tidak salah!), pengamat (atau praktisi ya? Saya lupa…) media, dan juga seorang wartawan senior yang sudah malang melintang baik di luar negeri maupun di dalam negeri.

Banyak sekali yang saya dapat dari kuliah beliau tadi. Materi beliau yang disampaikan menggambarkan sekali bahwa beliau adalah orang yang berkompeten di bidangnya *Ya iyalah… Wartawan senior gitu loohh…*. Cara beliau menjelaskan juga asyik. Pokoknya seru abis kuliah tadi! Saya benar-benar memperhatikan. Jarang-jarang kan saya memperhatikan dosen. Saya mah seringnya tidur di dalam kelas. Kekekekeke,,,

Tulisan ini tidak akan memaparkan materi apa saja yang beliau sampaikan tadi di dalam kelas. Yah, buat apa juga lah ya saya menulis itu? Ndak penting itu mah. Bisa-bisa kalian keburu mengantuk sewaktu membacanya. Tapi, ada beberapa hal dari yang beliau sampaikan tadi dalam kuliah yang menarik perhatian saya. Hal tersebut adalah jawaban-jawaban beliau dari pertanyaan yang kami ajukan. Pertanyaan-pertanyaan itu:

1. Ketika media memberikan “gelar” pakar kepada seseorang, apakah itu karena salah satu media cetak/elektronik yang sebelumnya bilang kalau si Bapak X adalah pakar anu dan untuk seterusnya yang lain mengekor? Atau bagaimana, Pak? *ini pertanyaan saya. Jadi meskipun pertanyaannya tidak mutu tetap harus saya tuliskan disini. Hehe…*

2. Tadi Bapak mengatakan bahwa news media kita tidak ada visi masyarakat di masa depan. Saya kurang paham. Bisa dijelaskan lagi gak, Pak?

3. Apa sih pengalaman kerja yang paling menyenangkan selama Bapak menjadi wartawan di Indonesia?

4. Dari kuliah Bapak tadi seolah ingin mengatakan bahwa media di Indonesia itu buruk. Apa saran Bapak untuk meningkatkan kualitas media di Indonesia?

Dan jawaban dari Pak Erwin:

1. Seharusnya justru media yang menjadi pakar. Ia harus lebih menguasai suatu hal (materi, etc. yang sejenisnya lah. Saya bingung kata yang tepat apa? Hehe.) daripada si pakar itu sendiri. Salah satu jurnalis di Perancis, dia konsisten menulis tentang ekonomi. Selama lebih dari 25 tahun menjadi wartawan ekonomi tentu dia sangat menguasai ekonomi. Bahkan, si jurnalis ini sering dijadikan sebagai tempat konsultasi oleh pakar ekonomi disana. Tentunya juga untuk menjadi seorang jurnalis atau wartawan harus studi literatur, banyak membaca, setidaknya dia menguasai materi yang dia tulis. Tidak hanya sekedar menulis berita menurut si pakar anu atau si ahli itu. Masalahnya sekarang kebanyakan wartawan di Indonesia tidak suka membaca. Mereka hanya suka menulis saja.

2. Maksudnya itu tulisan kamu harus memiliki semacam visi apa yang kamu harapkan untuk masyarakat di masa depan. Contohnya begini. Kalian pasti tahu dong air mineral merek A**a D**o*e? Berapa harganya yang 1,5 liter? Dua ribu rupiah kalau tidak salah. Kalian tahu berapa yang mereka bayarkan ke Pemerintah? Dua rupiah. Iya, hanya dua rupiah per liternya. Begitulah tipikal perusahaan asing. Mereka mengeruk kekayaan alam kita dan membayar murah untuk itu. Kemudian, mereka bilang mata airnya dari gunung, begitu kan? Sebenarnya mereka mengambil airnya dari air tanah di K… (aduh, saya lupa nama daerahnya apa! Pokoknya salah satu daerah di Jawa) yang dalam sepuluh hingga lima belas tahun yang akan datang air itu akan habis. Tidak usah jauh-jauh ke Timur Tengah kalau ingin ke gurun pasir. Nah, itu yang saya mau perjuangkan. Saya tidak mau warga K tidak memiliki air lagi karena air mereka telah disedot habis. Itu harapan saya untuk warga K di masa depan.

3. Pengalaman yang paling menyenangkan ya? Ehm… Sewaktu saya sedang tugas di Kalimantan. Sudah 35 tahun saya tinggal di luar negeri tentu ada rasa rindu tanah air dalam diri saya. Saya menyusuri sungai-sungai di Kalimantan… Pokoknya menyenangkan. Jadi waktu itu saya berjuang supaya Indonesia memiliki pesawat bom air. Saya tidak ingin Indonesia mengalami kebakaran hutan. Saya bekerja sama dengan Kanada… Kesana kemari… dan perjuangan saya hampir berhasil. Indonesia nyaris membeli pesawat tersebut di waktu jaman pemerintahan Habibie, tapi gagal. Alasannya karena keluarga C***a*a ingin me-mark up harga hingga berlipat-lipat. Kanada hanya meminta 48juta dolar, sedangkan C***a*a memaksa ingin membeli seharga 200juta dolar. Kanada pun menolak keinginan dari keluarga tersebut.

4. Sebenarnya saya ingin menyatakan degradasi mutu media tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Barat seperti AS. Dulu koran-koran tidak bisa dibeli oleh Pemerintah. Contohnya New York Times sangat kritis terhadap pemerintah AS seperti di masa Richard Nixon. Sekarang New York Times sangat menghamba Bush. Jadi, kalau ditanyakan apa hal utama yang harus diperbaiki media di Indonesia maka jawaban saya adalah media kita harus belajar tentang etika dan pendidikan moral.

Sering-sering aja yang mengajar dosen dari luar dan seasyik Pak Erwin. Dijamin saya pasti semangat kuliahnya!

17 April 2008

No comments

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.