Panik di Tanggal 27 Maret 2012

Sekarang saya mau berbagi cerita dengan teman-teman semua. Cerita tentang ayah saya. 

Jadi begini ceritanya...

Tanggal 27 Maret lalu, kami pergi ke Singapura. Ayah saya ada jadwal kemo tanggal 28 Maret. Biasanya kami memang pergi ke sana satu hari sebelum jadwal kemo. 

Dari rumah ayah saya sudah mengeluh demam. Suhu badannya tinggi. Sewaktu dibawa ke dokter langganan di Bandar Lampung, ayah saya diberi Sumagesic. Kata dokter ayah saya demam biasa. Sesampainya di salah satu hotel di Singapura, tiba-tiba saja ayah saya menggigil hebat. Kalau dipegang badannya panas, tapi ayah saya malah menggigil. Saya dan kakak saya melakukan apa yang bisa kami lakukan untuk membantu ayah kami. Membuatkan teh panas, memijatnya, memberikan minyak angin, tapi tidak ada perubahan yang berarti. Ayah saya tetap menggigil.

Saya menelpon klinik Dr Tan Yew Oo, tempat ayah saya menerima kemonya. Asisten Dr Tan, Miss Mala, ternyata sudah memesan kamar di rumah sakit. Saya langsung mengajak ayah saya ke rumah sakit, tapi beliau menolak. Katanya besok saja, sekalian kemo. Toh, beliau bilang kondisinya sudah membaik. Dan memang dia tidak seberapa menggigil, tapi tetap badannya masih terasa panas.

Apakah dari sini keadaannya sudah mulai membaik? Belum. Ternyata malah lebih parah.

Tak lama dari ayah saya bilang kondisinya dirasanya membaik, beliau mau ke kamar mandi. Dari sini saya mulai merasa panik dan takut. Ayah saya seperti orang linglung. Jalannya pelan, bicaranya mulai kacau, dan bahkan tidak tahu letak kamar mandi di mana. Kakak saya pun menuntun ayah saya masuk kamar mandi. Di kamar mandi entah ayah saya bicara apa. Tidak jelas. Saya dan kakak hanya bisa menjawab, "Iya, Pa. Iya..."

Keluar dari kamar mandi, saya semakin panik dan takut. Saya melihat perubahan yang luar biasa dari ayah saya. Beliau jalan tertatih-tatih dan... bahunya seperti menempel di dagu. Bisa dibayangkan, kan? Beliau jadi bongkok. Juga bisa dibayangkan, kan? Keluar dari kamar mandi, ayah saya langsung duduk di kasurnya. Menyandarkan badannya ke tembok. Kami memang memesan tempat tidur yang twin bed dan ayah saya memilih kasur yang menempel di tembok.

Saat itu ayah saya sudah tidak bisa lagi diajak bicara. Beliau seperti hilang kesadaran. Saya dan kakak mencoba mengajak ayah saya berkomunikasi. Reaksi beliau hanya diam atau tertawa. Saat itu kami tahu bahwa kami harus segera ke rumah sakit. Saya segera menelpon resepsionis hotel untuk minta bantuan. Anehnya, sebelumnya saya tidak menangis meski melihat ayah saya sudah seperti itu keadaannya, tapi ketika menelpon resepsionis air mata saya langsung jatuh. Saya cuma bisa bilang tolong segera kirim orang ke kamar, ayah saya sakit, dan kami mau ke rumah sakit sekarang. 

Pikiran saya sudah macam-macam. Jangan-jangan kanker ayah saya sudah menyerang otak. Jangan-jangan ayah saya sudah dementia. Yes, thoughts like that.

Saya tidak bisa berpikir dengan jernih bagaimana membawa ayah saya turun dari lift. Saya sudah membayangkan ayah saya harus digotong pakai tandu segala. Padahal, ada yang namanya kursi roda. Tapi, tidak terpikir sama sekali oleh saya. Jelas saya tidak kuat membopong ayah saya keluar dari kamar, turun ke lobi hotel, dan masuk taksi. Apalagi ayah saya saat itu bandel sekali. Dalam artian, apapun yang kami minta untuk beliau lakukan, seperti memintanya untuk berdiri, jalan, duduk, tidak mendapat respon sama sekali dari beliau. Beliau hanya diam. Seolah-olah tidak mendengar kami. Seolah-olah kami tidak ada di sana. Ayah saya sibuk dengan dunianya sendiri. 

Masuk taksi pun kami mengalami kesulitan. Ayah saya masih belum bisa diajak komunikasi. Beliau tetap "bandel". Butuh tiga orang untuk membuatnya masuk taksi. Baru kami bisa ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, ayah saya masih "bandel". Beliau tidak mau turun dari taksi. Padahal sudah disiapkan kursi roda untuk membawanya langsung ke kamar. Mungkin ada sekitar 10-20 menit ayah saya berhasil dibujuk untuk naik kursi roda. Fiuh, sungguh perjuangan...

Sesampai di kamar, obat-obatan dan infus sudah siap semua. Ayah saya langsung diinfus. Masuk kamar di rumah sakit, ayah saya sudah bisa diajak berkomunikasi. Kami ajak beliau ngobrol, beliau sudah menjawab. Saya sudah mulai tenang. Sudah bisa tertawa. Sudah bisa becanda dengan ayah saya. Saya bilang, "Pa, Papa ingat gak nama Papa siapa? Ingat gak kenapa kita ke sini?" Sungguh anak yang kurang ajar saya ini. :O

Dokter favorit ayah saya, Dr Tay Khoon Hean, datang ke kamar. Beliau ngobrol dengan ayah saya, bahkan ayah saya tertawa dengan Dr Tay. Ya tanya-tanya juga semacam: "Pakcik ada makan tak?", "Kenapa tak mau makan?", dan lainnya.

Melihat kondisi ayah saya semakin baik, saya disuruh kakak saya pulang ke hotel. Kakak saya yang jaga ayah saya di rumah sakit. Saya pun pulang ke hotel dengan sedikit tenang. Ayah saya sudah di tangan yang profesional kok. Pasti mereka bisa menjaga dan mengobati ayah saya. Tapi, tetap saja saya tidak bisa tidur dengan tenang di malam itu. Saya sering terbangun dan langsung mengecek ponsel saya takut ada panggilan tak terjawab dari kakak. Takut terjadi apa-apa dengan ayah saya. Untunglah, sampai pagi tidak ada telpon dari kakak. Berarti ayah saya aman-aman saja. Alhamdulillah.

Pagi-pagi saya sudah ke rumah sakit dan pertama yang diucapkan kakak saya ketika melihat saya adalah, "Kim, Papa tadi nanya kenapa Papa ada di rumah sakit. Kapan Papa masuk rumah sakitnya?" Saya bengong. Lah, kan tadi malam ngobrol dan tertawa dengan Dr Tay? Masa' tidak ingat? Tidak hanya soal itu, kami pulang ke rumah pun ayah saya tidak ingat kalau beliau sudah di CT scan dada dan perutnya. Beliau malah tanya kapan beliau di-scan? Duh, padahal ya waktu beliau di-scan itu beliau mengobrol dengan saya dan kakak. :|

Penggemar: Jadi, Kim, ayahmu sakitnya apa?

Ternyata dari hasil tes darahnya ada infeksi di tubuh ayah saya (meski hasil scan tidak menunjukkan ada bakteri di liver dan di paru-parunya). Saya jadi tahu infeksi bisa separah itu. WOW. Dan yang bikin saya lebih WOW lagi adalah dokter di Bandar Lampung cuma memberi ayah saya Sumagesic karena kata dokter itu ayah saya demam biasa. :|

Saya langsung bilang begini ke ayah saya, "Berarti, Pa, kalau yang akan datang Papa sudah demam lagi, badan panas dan gak turun-turun panasnya, Papa langsung tes darah aja. Mungkin itu infeksi lagi."

Begitulah cerita saya kali ini. Pesan yang ingin saya sampaikan dari cerita ini adalah kalau sakit, cari dokter yang bagus. Dan cari second opinion.

7 comments

  1. semoga beliau membaik, dan terus membaik ya kim
    *dari penggemar*
    *halagh*

    ReplyDelete
  2. Kejadian yang sama pernah saya alami. Dan memang second opinion bukan lagi perlu akan tetapi kini sebuah keharusan, karena beberapa orang dokter mungkin tidak mau berfikir ribey untuk menganalisa penyakit pasien.

    Any way, semoga Bapak cepet sembuh dech...

    ReplyDelete
  3. Terima kasih, Mas Lukman.. :D

    ReplyDelete
  4. kimiiii, hiks... aku jd inget waktu mendiang bokapku masuk RS juga... semoga bokap cepat sembuh yaaaaa

    ReplyDelete
  5. Terima kasih, Mbak, doanya... :)

    ReplyDelete
  6. Kimiiiii.. aku baru mulai blogwalking lagi dan rasanya baru ngeh blog mu yang ini... 

    Hiks... pelukpelukkimi... Yang kuat ya sayang :) I know u are... Semoga papa cepat pulih, total... Amien :)

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.