[Book] Titik Nol

Tahun 2013 saya punya resolusi yang satu diantaranya adalah tidak akan beli buku sepanjang tahun ini. Alasannya sih untuk menghemat pengeluaran. Jadi, saya bisa menabung lebih banyak. Niatnya sih seperti itu, tapi ya apa daya... Resolusi tinggalah sebuah resolusi.

Bagaimana tidak, saya tidak kuasa untuk menolak rayuan sampul buku Titik Nol karangan Agustinus Wibowo. Iya, Agustinus Wibowo yang penulis favorit saya itu lho! Saya sudah punya buku-bukunya yang berjudul Selimut Debu dan Garis Batas. Jadi, tidak mungkin saya tidak membeli buku terbarunya. Apalagi setelah membaca tulisan Mbak Mauritia di sini, maka semakin menjadi-jadilah dorongan untuk beli Titik Nol.

Bagaimana dengan resolusi? Ah, persetan resolusi! Yang penting itu Titik Nol sudah harus ada di tangan saya segera! Tidak peduli uang di dompet semakin menipis, tidak peduli angka-angka di buku tabungan semakin berkurang  yang membuat saya harus memicingkan mata saya untuk meyakinkan mata saya tidak menipu saya, dan tidak peduli juga omelan ibu saya yang selalu mengeluh, "Kamu itu beli buku terus ya...", pokoknya hari Sabtu tanggal 6 April 2013 yang lalu saya pergi ke Gramedia di kota saya.




Titik Nol seperti menari-nari menyambut kedatangan saya. Seolah-olah dia tahu saya akan datang untuk membawanya pulang ke rumah. Dan ketika saya memegangnya dan membalik untuk melihat harganya, saya menarik napas. Gila, harga buku semakin lama semakin mahal. Harganya Rp 98.000,-! Demi Tuhan semesta alam raya, harganya betul-betul mencekik leher saya. Untunglah saya punya kartu Flazz BCA yang edisi Gramedia (atau apapun itulah namanya) dan untung juga Titik Nol terbitan Gramedia Pustaka Utama jadi saya dapat diskon 10%. Lumayan kan diskon 10% itu. ;)

Setelah melakukan pembayaran di kasir, dengan hati sumringah saya menenteng Titik Nol. Saya akan segera membacanya begitu saya sampai di rumah. Meski sebenarnya saya tidak sabar untuk membacanya saat itu juga. "Nanti ya, Titik Nol. Sabar ya. Nanti juga kamu akan aku baca kok," saya membatin.

Sesampai di rumah, saya langsung membuka plastik yang membungkus Titik Nol. Saya mulai membuka halaman pertama. Dan saya pun mulai khusyuk membaca dimulai dari membaca kata pengantar dari Lam Li, sahabat Gus Weng (panggilan akrab Agustinus Wibowo). Dilanjut dengan bab Penantian. Di sinilah saya mulai menahan tangis. Tentu saja halaman-halaman berikutnya tetap membuat saya sekuat tenaga untuk menahan tangis.

Apa pasal yang membuat saya menahan tangis? Karena ini:

Kanker, untuk keempat kalinya datang dalam setahun ini, kini telah menggerogoti tubuhnya, menyebar dari ovarium hingga ke usus besar, dari dinding perut sampai ke limpa, memadatkan usus halus, menembus kulit menjadi gumpalan-gumpalan bernanah, menghantam ginjal, beredar bersama darah, menyusuri nadi, bersiap memangsa seluruh tubuh. (hal. 4)

Saya menutup buku sebentar untuk menarik napas sebelum lanjut membaca. Setelah menarik napas, saya kembali lanjut membaca kalimat berikutnya.

Penyakit itu telah menghajar wajahnya, yang dulu selalu cantik dalam rona riasan bedak dan gincu, optimis mengikuti mode dan gaya rambut terbaru. Dia kini sudah menjadi perempuan tua yang kuyu, cekung, letih. Berdoalah agar Waktu boleh berwelas asih, janganlah kiranya terburu-buru mengizinkan penyakit ganas itu menghancurkan otaknya. Karena itu berarti kami akan kehilangannya, untuk selamanya. (hal. 5)

Ini adalah sebuah ungkapan hati, sebuah perasaan, yang saya sangat kenal baik. Saya paham. Sangat paham. If you know what I mean.

Titik Nol tidak hanya bercerita tentang perjalanan Gus Weng ke Nepal, Tibet, India, Pakistan, Afganistan, melainkan juga kisahnya selama dia menemani ibunda tercinta yang sedang sakit kanker. Selama menemani mamanya, Gus Weng juga membacakan beliau kisah-kisah perjalanannya yang dicatatnya dalam sebuah buku kumal yang diberi nama Safarnama. Safarnama berasal dari bahasa Persia. Safar berarti perjalanan, sementara nama berarti tulisan, surat, kitab. (hal. 5)

Gus Weng juga menyampaikan ketakutannya akan dampak negatif dari komersialisasi turisme. Uang menjadi dewa, turisme yang menawarkan eksotisme adalah mesin produktif pencetak uang, keluh Gus Weng di halaman 100. Upacara keagamaan yang seharusnya khidmat dan khusyuk malah dijadikan objek tontonan untuk para turis. Tentunya setelah membayar dalam jumlah tertentu. Biksu-biksu di Tibet pandai menentukan tarif jika turis ingin mengambil gambar mereka. Ironi.

"Eksploitasi turisme eksotis itu bagaikan gadis cantik yang menjual diri. Prostitusi!" kata Jörg. "Lihat saja, si gadis itu dapat uang dari orang-orang yang menikmati kemolekan tubuhnya. Dia menikmati kekayaan itu. Dari uang itu, dia bisa beli baju bagus dan kosmetik, dirinya pun makin cantik."
"Ya, kataku, "Tapi bisa saja suatu hari dia sadar, betapa banyak kerusakan yang dialaminya selama ini."
Ya, Jörg mengangguk, itu memang satu kemungkinan. Tapi mungkin juga, dia tak bisa berhenti, karena godaan uang itu terlalu kuat dan dia tak bisa bertahan hidup tanpa uang itu. Sampai akhirnya eksploitasi itu membuat dia tak lagi cantik, lalu ditinggalkan dan dilupakan semua orang. (hal. 183)

Duh, mengerikan memang. :|

Kisah demi kisah berlanjut seiring saya membaca halaman demi halaman. Tema dari cerita-ceritanya seputar nasionalisme, diskriminasi, dan toleransi beragama yang kian menipis. Inilah yang saya suka dari Gus Weng, tulisannya tidak hanya apik, cerita-ceritanya dikemas secara menarik, membuat saya (dan mungkin siapa saja) terhipnotis membacanya, tetapi juga memberikan pandangan-pandangannya. Tulisannya informatif sekaligus kritis.

Gus Weng tidak hanya menulis keindahan suatu tempat atau mendeskripsikan suatu daerah. Dia juga bercerita tentang penduduknya, budayanya, dan uniknya dia bercerita dengan cara dia menempatkan diri sebagai bagian dari penduduk tersebut. Sehingga membuat ceritanya lebih terasa hidup karena diceritakan dari orang pertama yang mengalami peristiwa secara langsung. Buku setebal 552 halaman itupun mampu saya tamatkan dalam tiga hari. Ini sebuah pencapaian luar biasa mengingat semenjak bekerja kecepatan membaca saya menurun drastis. :$

Akhirul kalam, dari skala 1 - 5, saya beri nilai 5 untuk Titik Nol.

7 comments

  1. tulisanmu kali ini meracuniku asli kiim !
    besok tengok togamas ah

    ReplyDelete
  2. kayaknya bukunya layak di koleksi nih..... kalau beli buku sih tidak bermasalah ya...jujur kalau beli buku saya sih rela rela aja

    ReplyDelete
  3. dan barusan beli beneran - -"
    dan pengen beli dua bukunya terdahulu
    kamu harus tanggungjawab kim :|

    ReplyDelete
  4. @ warm
    Ayo, Om! Kumpulin buku-bukunya! Bagus kooook...

    ReplyDelete
  5. @ Applausr
    Bukunya sudah dibeli, Mas? :D

    ReplyDelete
  6. iya pengen beli dua bukunya yg terdahulu, tp di toko buku sdh ga ada, ntar nyari onlen aja :)

    ReplyDelete
  7. Mentaripoker meluncurkan kembali promo 100% deposit! Ayo buruan ikuti kembali promo 100% ini.
    Berikut syarat dan ketentuan nya:
    1. TIDAK BISA DI WITHDRAW KAN SEBELUM MENCAPAI TO (TURNOVER).
    2. TO Harus mencapai 10x lipat dari nilai DEPOSIT
    3. Jika melakukan Transfer Chip langsung ID akan di Banned
    4. Jika anda mendapatkan JACKPOT maka tidak akan di hitung ke dalam nilai TURNOVER anda.
    5. Tidak termasuk dengan promo-promo lainnya.
    6. Maximal deposit adalah 1Jt dan untuk Min deposit nya adalah 100rb.
    7. Cara claim bisa langsung anda menghubungi Team LiveChat kami.
    PROMO DAPAT BERAKHIR SEWAKTU WAKTU TANPA PEMBERITAHUAN
    http://mentaripkr.blogspot.com/2015/05/rahasia-kepuasan-seks-di-balik-orgasme.html
    https://www.youtube.com/channel/UCRQScYvYU5eQaAsokSAnnJA
    http://www.mentaripoker.com/mentaripk/index.php

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.