Membandingkan Diri Sendiri

Dua malam yang lalu--berarti Rabu malam kemarin--sekitar pukul 8 saya bersama teman saya, Gisca, sedang duduk-duduk di California Fried Chicken (CFC), Gambir. Saya menanti bus Damri yang akan berangkat pukul 9 malam menuju Bandar Lampung, sementara Gisca berbaik hati menemani saya malam itu. Kami asyik mengobrol macam-macam. Kebanyakan sih asyik membahas (lebih tepatnya sih bergosip) tentang seleb tweet dan curhatan saya soal masalah krisis perempat baya. Bukan, bukan soal pernikahan kok. Tapi, soal niat saya kepingin kuliah lagi dan soal kepingin mencari pekerjaan yang cocok.

Malam itu saya terlalu larut dalam asyiknya mengobrol bersama Gisca sampai-sampai saya tidak terlalu menyadari keadaan sekitar. Saya terlalu fokus dengan obrolan tersebut. Mungkin ini karena saya sudah lama tidak bertemu dengan Gisca. Mungkin juga karena belakangan ini saya sangat butuh teman ngobrol yang asyik. Jadinya, saya sampai lupa bahwa saya sedang mengisi baterai tab saya di sana. Alhasil, ketika saya meninggalkan CFC dan mencari bus saya, saya juga meninggalkan Samsung tab 3 saya di sana.

Saya baru ingat tab saya, yang saya beri nama Rafael Nadal, sesaat setelah saya menaiki bus. Seketika saya langsung membuka tas ransel saya dan mencari-cari Rafael Nadal. Tidak ada. Sial. Kemana ini tab saya? Saya panik. Saya mencoba mengingat-ingat sebelum saya naik bus, saya kemana saja. Oh, iya, saya ke CFC ding. Segera saya turun dari bus dan berlari ke CFC. Saya lihat meja yang saya tempati tadi bersama Gisca dan sudah saya perkirakan tab saya sudah tidak ada. Saya tanya ke Mbak dan Mas pegawai CFC barangkali ada yang berbaik hati menitipkan tab saya ke mereka, tapi mereka bilang tidak ada tab yang dititipkan. Oh, ya sudah kalau begitu. Berarti tab saya resmi hilang.

Tidak apa-apa sebenarnya tab saya hilang. Anggap saja berjodohnya saya dengan Rafael Nadal hanya sampai di situ. Mudah-mudahan nanti saya diberi rejeki untuk bisa beli pengganti Rafael Nadal. Amin. Tidak lama setelah saya berdoa begitu, saya kembali teringat jaket keponakan saya. Rasa-rasanya tadi jaketnya saya sudah pegang deh. Kok sekarang jaketnya sudah tidak ada lagi? Ya Tuhan, dalam semalam saya kehilangan dua barang: tab dan jaket! :| *tepok jidat*

Apa yang sedang terjadi dengan saya? Kenapa saya bisa demikian parahnya lupa? Saya menarik napas panjang. Ah, masih syukur hanya tab dan jaket yang hilang. Untung hati saya tidak ikutan hilang. Eaaaaa... Malah curhat. :r Eh tapi, beneran. Masih bersyukur sifat pelupa saya itu hanya mengakibatkan saya kehilangan tab dan jaket. Ketimbang teman saya yang pelupanya parah banget. Dia pernah kehilangan dompet, duit, ponsel, dan entah apa lagi. Berkali-kali.

Penggemar: Kim, untuk apa kamu membandingkan diri kamu dengan teman kamu yang pelupa juga? Kalau barang hilang mah hilang saja deh. 

Ehm... Anu... Itu namanya untuk membuat diri merasa lebih baik. Membandingkan diri saya kehilangan barang karena lupa dengan teman saya yang pelupanya lebih parah ketimbang saya itu namanya downward social comparison. Bisa dibilang membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang tidak lebih baik dari kita itu merupakan salah satu cara untuk mengevaluasi diri kita. "Ah, suara saya lebih bagus dari si Wati kok", "Ih, saya mah lebih pintar dari si Tuti. Saya ranking 10 terus dari SD ketimbang Tuti yang ranking 11 melulu", "Mobil gue ada 5. Daripada elu yang cuma naik motor bebek?" atau yang lainnya yang intinya adalah "Pokoknya gue lebih baik ketimbang elu". Hayo, siapa yang tidak pernah begitu? Ngaku saja deh... :P

Sebaliknya, jika kita membandingkan diri kita dengan orang lain yang lebih baik dari kita itu namanya upward social comparison. Misalnya, saya membandingkan dengan teman saya yang lain yang ingatannya luar biasa tajam. Atau, "Dia kok bisa pintar banget ya? Lah, gue?" Nah, yang terakhir ini sering kali saya begitu. Kok orang-orang bisa sedemikian pintarnya sih? Sementara saya, ya... begini-begini saja. Aku jadi sedih... :( *halah*

Kemudian timbul pertanyaan: Kenapa sih kita membandingkan diri kita dengan orang lain? Untuk apa coba? Nanti kan kita jadi iri dengan kebahagiaan orang lain. Hati kita bisa penuh dengan kedengkian. Betul tidak? Leon Festinger (1954), psikolog sosial berkebangsaan Amerika Serikat, yang pertama kali mengemukakan social comparison theory bilang begini:

People compare themselves to others because, for many domains and attributes, there is no objective yardstick with which to evaluate the self, so other people are therefore highly informative. (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006)

Kalau terjemahan bebasnya begini: ketika kita ingin mengevaluasi diri kita sendiri dalam berbagai hal, dimana hal-hal tersebut tidak jelas objektif pengukurannya (apa saja yang menjadi patokan) maka membandingkan diri dengan orang lain sangat membantu, karena orang lain itu adalah sumber yang sangat informatif. Maksudnya begini, misalnya saya mengaku-ngaku suara saya ini merdu sekali kalau menyanyi. Bagaimana saya bisa bilang suara saya bagus? Apa yang menjadi ukuran suara bagus? Apa definisi suara bagus? Bingung kan? Nah, kalau saya bilang suara saya lebih bagus dibandingkan suara Mariah Carey bisa jadi lebih jelas kan? Walaupun sebenarnya itu tidak mungkin... 

Kembali ke pertanyaan untuk apa kita membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Tentu saja untuk membuat diri kita merasa lebih baik, yang nantinya akan meningkatkan keberhargaan diri (self-esteem) kita. Misalnya, kita bersyukur hari ini kita masih bisa makan, masih diberi rejeki yang cukup. Sekarang coba bayangkan saudara-saudara kita di luar sana yang mau makan saja harus mengais-ngais tong sampah. Nah, downward social comparison seperti ini membuat kita merasa lebih baik. 

Social comparison bisa juga untuk memacu diri kita agar menjadi lebih baik lagi daripada diri kita yang sekarang. Misalnya, saya sih sadar betul saya ini bukan orang pintar. Kepintaran saya ini rata-rata banget deh. Jangan ditanya rata-rata untuk ukuran negara mana. :P Dibandingkan teman-teman saya yang pintar-pintar itu, yang kebangetan pintarnya, saya ini hanyalah butiran debu. Nah, untuk mengubah diri dari yang tadinya butiran debu setidaknya menjadi batu kerikil dulu deh, ya saya harus lebih banyak belajar toh. Saya harus sering-sering kumpul sama teman-teman saya yang pintar itu, harus banyak-banyak baca buku, harus banyak-banyak bertanya. Kalau mereka bisa jadi pintar, kenapa saya tidak bisa? Jadi, upward social comparison seperti ini lah yang bisa memacu diri kita untuk menjadi lebih baik.

Tapi, ada tapi-nya nih... Seandainya kita tidak berhati-hati menggunakan social comparison, kita bisa dibawa jatuh bareng-bareng sama social comparison. Misalnya, untuk downward social comparison. Kita merasa lebih baik dari orang lain, lantas kita lupa bersyukur bahkan kita menjadi sombong. Kemudian, kita mengejek orang lain yang kurang beruntung daripada kita. Seperti contoh di atas yang sudah saya berikan, "Mobil gue ada 5. Daripada elu yang cuma naik motor bebek?"

Sementara, untuk upward social comparison, ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain yang lebih baik dari kita, bukannya kita termotivasi untuk menjadi lebih baik, kita malah menjadi iri dan dengki dengan orang tersebut. "Ah, dia pintar tapi kan..." silakan diisi sendiri titik-titiknya. :P 

Jadi, intinya adalah membandingkan diri kita dengan orang lain itu bukan sesuatu hal yang buruk kok, asalkan kita bijak dalam menggunakannya. :)

*gambar diambil dari sini.

Daftar Pustaka:

Baron, R.A., Byrne, D., & Branscombe, N. R. (2006). Social Psychology (11th ed.). Boston: Pearson Education, Inc.

19 comments

  1. Nanti kalau dapat gantinya Rafael, pasang prey atau google Android manager. Biar kelihatan lokasinya sekarang di mana.

    Membandingkan dengan orang selalu berhasil bikin saya minder, sepertinya saya perlu bergaul dengan orang2 yg lebih parah :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha... Boleh itu, Mas. Boleh banget. Asal nanti jangan kelewat jumawa aja. :))

      Delete
  2. duh, smoga cepet dapet gantinya ya, kim :)

    ReplyDelete
  3. Nice post!

    Tapi ikut berduka atas kehilangannya, ya. Semoga bisa dapat pengganti yg lebih baik, amin....

    Kamu yg bisa bikin tulisan bagus kayak gini aja bilang bahwa kamu nggak pinter. Gimana dgn tingkat kepintaranku, ya.

    Duh, aku jadi sedih... :(

    ReplyDelete
  4. Versi tl; dr tulisan ini, dari awal sampai akhir: "pembenaran". (LOL)

    Eh tapi serius, tulisan ini + sebelumnya bagus. I like this trend. :)

    (membandingkan sama posting sebelumnya)
    (yup, yup)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anggap saja ini adalah tulisan pembenaran dan penghiburan karena kehilangan tab yang-mahal-harganya-dan-entah-kapan-bisa-beli-lagi. :O

      Btw, thanks tulisanku sudah dibilang bagus. Aku senang! Yeay! *halah, apa sih*

      Delete
  5. Aku juga suka membandingkan gitu mbak. Sukanya yang downward. Makanya aku kurang nyaman kalo bergaul dengan orang-orang yang "lebih" daripada aku. Mungkin ini nggak bagus ya mbak Ranger?

    Btw, itu 2 istilah untuk social comparison emang udah ada ya mbak? Atau mbak Ranger yang buat sendiri?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu teori social comparison, Mas. Kalau Mas Arif ngeklik tautan social comparison theory yang saya berikan di atas seharusnya sudah cukup jelas. :)

      Delete
  6. Hihi, aku juga pelupa, tapi syukulah nggak pernah kehilangan. Biasanya ada yang mengingatkan atau ada yang menimpan buatku. Kalau membandingkan biasanya aku gak jauh2, aku membandingkan sama diri sendiri dulu. Misalnya begini, hari ini aku pergi terlambat 5 menit. Untuk memotifasi aku akan ingatkan kalau kemarin aku bisa kok tepat waktu. Begitu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau contoh yang Mbak berikan, itu sepertinya bukan termasuk teori social comparison ya. Tapi lebih ke internal dalam diri Mbak. :)

      Delete
  7. Semoga segera dapat gantinya ya :)

    Hmm ... kapan ya aku membandingkan diriku dengan yang lain ...lupa :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Mbak El. Btw, tidak usah dipaksakan begitu untuk mengingat-ingat. Malah nanti gak jadi asik lagi. :D

      Delete
  8. semoga tidak terjadi lagi & segera mendapat ganti yg lebih bagus, dan susah ya nemu orang jujur yg mengamankan benda hasil kelupaan seperti ini..
    teknik-teknik menenangkan diri yang cukup ampuh sih sebenarnya itu, dan terimakasih, dari postingan ini saya jadi tahu nama kerennya... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Semoga nanti bisa dapat ganti yang lebih bagus.

      Delete
  9. wadoh, turut berduka cita atas hilangnya si rafael dan si jaket, hiks... mudah2an yang menemukannya tapi ga ada niatan untuk menitipkan ke counter, atau mungkin si penemu sudah menitipkan ke counter tp yg nyimpen ga ngaku (lhoh kok malah nuduh yg bukan-bukan? hihi) aku sumpahin ga bakal diajak foto bareng sama rafael deh! *ga nyambung*

    soal membanding-bandingkankan, ya itu manusiawi menurutku, kayaknya secara langsung tidak langsung, sadar ga sadar tiap hari kita melakukannya. selama masih dalam taraf wajar dan selalu mengambil sisi positif dari upward maupun downward social comparison untuk memacu kita menjadi probadi yang lebih baik lagi, why not?! tsahhhh....bahasanya tingkat tinggi LOL...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Kurasa social comparison tidak dapat kita hindari. Seperti yang Mbak bilang selama masih dalam taraf wajar ya seharusnya tidak menjadi masalah.

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.