Jihad Sebagai Sebuah Pembenaran

Linimasa Twitter saya sedang penuh dengan berita The Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS). Atau yang sekarang cukup disebut dengan The Islamic State (IS) karena mereka ingin mendirikan kekhalifan Islam tidak hanya di Irak sana, melainkan juga di seluruh dunia. Karena itu saya jadi tertarik untuk membaca jurnal yang membahas tentang kekerasan atas nama agama. Mampirlah saya ke blog Mas Nathanael. Di sana Mas Nathanael memajang link jurnal ilmiahnya dan bisa diunduh gratis. Terima kasih, Mas Nathanael. ^_^

Saya pun mengunduh jurnal Mas Nathanael yang berjudul Jihad as justification: National survey evidence of belief in violent jihad as mediating factor for sacred violence among muslims in Indonesia. Jurnalnya bisa diunduh di sini. Jurnal ini ditulis di tahun 2013 dan ditulis bareng Bang Hamdi Muluk (sok akrab banget deh gue) dan Dhyah Madya Ruth. Jurnalnya masih gres nih. Semakin keren untuk kita bahas bareng-bareng di sini. :D

Di jurnal ini para peneliti ingin membuktikan hipotesis mereka bahwa violent jihad sebagai justifikasi untuk melakukan sacred violence. Saya masih belum menemukan terjemahan yang pas untuk violent jihad dan sacred violence nih. Jadi, kita akan tetap menggunakan term ini ya.

Nah, biar tidak melenceng kemana-mana, para peneliti mendefinisikan sacred violence sebagai berikut:

We define sacred violence as violence that is principally a criminal action but is claimed to be based on religious ideals and is dedicated to defend what is considered sacred or to punish any violation of what is perceived as divine law

Apa yang membedakan sacred violence dan kejahatan teroris atau hate crime? Menurut para peneliti yang menjadi perbedaan ada 2, yaitu 1) sacred violence pada dasarnya adalah tindakan kriminal, sementara terorisme sudah mendapat kesepakatan bersama bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime); 2) jika dilihat dari tujuannya sacred violence bertujuan untuk membela hal-hal yang dianggap suci oleh agama dan untuk menghukum bagi pelanggar yang melanggar hukum Tuhan, sementara tujuan hate crime tidak begitu jelas kecuali mereka memilih target berdasarkan keanggotaan target dari sebuah kelompok. Tujuan terorisme biasanya karena alasan politis.

Ada beberapa faktor yang bisa memengaruhi sacred violence ini. Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Fundamentalism
Inti dari fundamentalisme ini adalah para fundamentalis melihat kitab suci mereka sebagai: a) suci dan tanpa cela (divine or inerrant); b) self-interpretative; c) istimewa (privileged); d) authoritative; e) dan tidak berubah (unchanging). Silberman (2005, dalam Muluk, Sumaktoyo, & Ruth, 2013) bilang ada lima kemungkinan yang membuat fundamentalisme ini mengarah ke kekerasan. Pertama, nilai-nilai tertentu dari agama yang bisa mengarah menjadi prasangka. Kedua, orang yang dianggap sebagai pemilik otoritas dalam agama (pemuka agama, pemimpin, dan lain-lain) yang menjustifikasi atau membenarkan perbuatan tidak terpuji atas nama agama. Ketiga, de-sanctification. Para fundamentalis meminta untuk dihormati, tidak diragukan kesuciannya, tidak dipertanyakan dan tidak dikritisi, sementara mereka sendiri tidak menghormati keyakinan orang lain. Keempat, cognitive simplicity. Maksudnya adalah menyederhanakan ajaran, tidak mau ribet, atau tidak mau capek berpikir bisa memengaruhi seseorang untuk melihat segala sesuatu dari perspektif yang berbeda. Mereka akan mengalami kesulitan untuk melihat dari sudut pandang berbeda. Kelima, proselytization.

2. Religiosity
Yang dimaksud dengan religiosity di sini adalah ritual yang bersifat religius. Mempraktekkan ritual dalam beragama membuktikan kecintaan dan keyakinan kita pada Tuhan.

3. Perception of unfair treatment
Moghaddam (2006, dalam Muluk, Sumaktoyo, & Ruth, 2013) berpendapat orang-orang yang melakukan sacred violence biasanya karena mereka menganggap mereka tidak diperlakukan dengan baik oleh sistem. Misalnya, wanita muslim yang dilarang berjilbab, masjid tidak boleh mengumandangkan azan, dan banyak contoh lainnya.

4. Support for Islamic Law
Para pendukung hukum syariah Islam ini terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama orang-orang yang memiliki ideologi bahwa hukum syariah Islam wajib bagi seluruh pemeluk agama Islam. Kategori kedua orang-orang yang melihat syariah Islam sebagai jawaban untuk menjawab segala permasalahan yang ada sekarang, misalnya ketimpangan ekonomi atau kondisi umat Islam yang tidak memiliki kedigdayaan.

5. Belief in Violent Jihad
Jika keyakinan pada jihad itu melulu soal berperang (fisik) di jalan Allah maka bisa membuat orang-orang melakukan sacred violence. Meski sebenarnya jihad itu tidak hanya perang (softer jihad), tetapi juga bisa belajar menimba ilmu, bagi orang-orang yang yakin jihad itu ya perang di jalan Allah.

Dari kelima faktor tersebut yang akan diukur untuk dilihat pengaruhnya pada sacred violence. Hipotesis peneliti adalah percaya pada violent jihad memiliki hubungan yang sangat penting dengan sacred violence, sementara keempat faktor lainnya memiliki sedikit pengaruh atau tidak terlalu berpengaruh. Untuk itu dilakukan dua studi. Studi pertama, penelitian kualitatif dengan mewawancarai anggota FPI dan Jamaah Ansharut Tauhid untuk mengetahui bagaimana radikalisme bisa membenarkan kekerasan atas nama agama dapat dilakukan. Dari hasil wawancara tersebut disimpulkan kelima faktor di atas mempengaruhi orang-orang untuk melakukan sacred violence. Misalnya, ada narasumber yang mengatakan,"Jika kita menerjemahkan Al-Qur'an dengan benar, maka tidak ada itu yang namanya jihad melawan kemiskinan . . . (atau) jihad melawan kebodohan. Itu bukan jihad namanya." Ini terjemahan bebas dari saya ya. Pernyataan ini mendukung argumen peneliti bahwa keyakinan pada violent jihad bisa memengaruhi orang untuk melakukan sacred violence.

Berikutnya yang paling sering dibahas para narasumber perihal penjajahan Belanda dan Piagam Jakarta. Mereka percaya Indonesia pada awalnya adalah negara Islam, buktinya kerajaan-kerajaan Islam sudah menerapkan hukum Islam. Tetapi sejak kedatangan Belanda, sistem tersebut hilang. Kemudian, penghapusan sembilan kata pada Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) adalah sebuah pengkhianatan dan masalah besar. Hal ini mendukung faktor persepsi tidak diperlakukan secara adil dan mendukung untuk diterapkannya syariah Islam.

Studi kedua, peneliti melakukan survey dengan partisipan sebanyak 1320 penduduk Indonesia, tapi data yang diolah sebanyak 1144 partisipan yang beragama muslim. Variabel yang digunakan adalah kelima faktor di atas dan intratextual fundamentalism (kapan-kapan kita bahas jurnal yang membahas ini ya), ditambah juga dengan tingkat pendidikan dan besar penghasilan setiap bulannya. Hasil penelitian mendukung hipotesis peneliti bahwa keyakinan pada violent jihad memiliki hubungan yang signifikan dengan sacred violence.

Kesimpulannya adalah: pertama, orang-orang yang percaya dengan violent jihad berarti mereka juga percaya jihad itu adalah perintah Allah dan berarti harus dilakukan oleh semua muslim. Kedua, jihad bisa dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan, misalnya menjadi negara syariah. Lalu, para peneliti juga mengusulkan dua hal kepada para pembuat kebijakan. Pertama, memahami jihad itu wajib hukumnya. Kan ada juga tuh orang-orang yang memahami bahwa jihad itu tidak melulu soal perang fisik, tapi melawan kebodohan dan kemiskinan itu termasuk jihad juga (para peneliti menyebutnya 'softer' understanding of jihad). Nah, pandangan jihad seperti inilah yang harus lebih didorong untuk diajarkan oleh para pemuka agama. Kedua, pemerintah harus lebih memerhatikan ketidakpuasan yang dialami oleh sebagian muslim. Ketidakpuasan ini bisa dengan mudah dimanipulasi oleh para radikal atau fundamentalis untuk kemudian merekrut mereka dan mendoktrin mereka.

Demikianlah jurnal yang dibahas kali ini. Semoga kita semua tercerahkan dan berhati-hati dengan yang namanya kekerasan atas nama apapun dan dalam bentuk apapun. Semoga kita tidak terlibat dan menjadi korban karenanya.

Ngomong-ngomong, saya tidak menaruh gambar apapun untuk tulisan kali ini. Karena setelah googling gambar dengan kata kunci "jihad" kok ya seram semua gambarnya... :|

Referensi:

Muluk, H., Sumaktoyo, N. G., & Ruth, D. M. (2013). Jihad as justification: National survey evidence of belief in violent jihad as mediating factor for sacred violence among muslims in indonesia. Asian Journal of Social Psychology, 16, 101-111.

7 comments

  1. whoaaa, nemu ini pengin baca tp lagi di kantor dan banyak deadline, huh!! nanti sampe rumah ah langsung buka blog Kimi hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Deadline-nya sudah selesai belum, Mbak? Hihihihi...

      Delete
    2. phewww! minggu kemarin memang bener-bener keterlaluan kerjaan di kantor haha... udah baca Kim... speechless aja deh komennya. tapi aku suka postingannya based on scientific research, karena topic ini kalo dibahas tanpa dasar yg ilmiah memang ujung2nya debat kusir hehe....two thumbs up!

      Delete
    3. Terima kasih, Mbak Nay. Aku jadi malu... Tapi, senang! :$

      Delete
  2. Keren, Kim.

    OMG, ternyata faktor kelima ya yang paling berpengaruh. Kalau udah keliatan gitu, nyari solusinya jadi relatif lebih mudah, ya....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, jadi lebih mudah. Para peneliti juga sudah memberikan usul apa yang harus dilakukan Pemerintah supaya belief in violent jihad jangan semakin marak.

      Delete
  3. Sekarang faktor ketiga sama keempat juga makin marak~

    ”Kedua, pemerintah harus lebih memerhatikan ketidakpuasan yang dialami oleh sebagian muslim.“

    Emang di Indonesia tuh paling enak jadi Muslim, ngga puas dikit aja, bisa langsung demo sambil bawa simbol-simbol agama~

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.