Thin Slice Judgment. Apa itu?

Katanya kesan pertama itu penting. Maka berbondong-bondonglah orang merapikan penampilan mereka. Pakaian harus rapi, wajah harus segar (bagi wanita berarti juga harus dirias), tubuh harus wangi. Ini adalah beberapa usaha kita untuk membuat orang lain terkesan. Tapi, ada juga yang bilang jangan cuma menilai dari permukaan. Ada yang marah karena dinilai dari gaya berpakaiannya yang tidak rapi dan terkesan cuek. Ada yang berkeberatan dinilai orang lain yang tidak kenal baik dengannya. "Don't judge me! You don't know a thing about me!" Begitu lah kira-kira katanya.

Padahal akui saja kita menilai dan dinilai orang lain setiap saat dan dimanapun kita berada. Dari sikap dan perilaku kita sehari-hari menjadi sumber penilaian bagi orang lain. Apalagi dengan semakin marak penggunaan internet dan media sosial, apa yang kita tulis di berbagai media sosial tentu akan menjadi penilaian. Jadi, jangan protes kalau tahu-tahu orang asing menilai kalian begini, begini, dan begini. Lah, setiap hari kalian berkicau juga update status dan blog kan?

Lantas, apa menilai orang lain itu salah? Jelas tidak. Kita menilai orang lain juga termasuk proses dalam berinteraksi sosial kok. Kita ingin tahu orang lain itu seperti apa; apakah dia bisa dipercaya, apakah dia baik, apa yang sedang dia pikirkan, seperti apa kepribadiannya, dan lainnya.

Untuk mengenal orang lain itu bisa memerlukan waktu yang lama. Bertahun-tahun bersahabat pun bisa jadi belum tentu mengenal sahabatnya dengan baik. Tapi, pernah tidak kalian punya intuisi dalam menilai seseorang? Misalnya, kalian bertemu orang baru di jalan kemudian kalian semacam punya perasaan, "Nih orang kayaknya baik deh." atau, "Orang ini menyeramkan."? Nah, yang begini ini namanya thin slice judgment.

Apa itu thin slice?

Thin slice judgments are thought to be based on tacit, implicit knowledge that makes verbal explanations and reasoning unnecesary (Polanyi, 2006, dalam Ambady, 2010)

Term thin slice pertama kali dicetuskan oleh Nalini Ambady dan Robert Rosenthal. Ambady dalam jurnalnya The Perils of Pondering (2010) bilang intuisi atau thin slice ini penting untuk mengoptimalkan fungsi sosial dan interpersonal kita. Thin slice ini terjadinya harus lancar, cepat, tidak sadar, dan otomatis. Proses terjadinya thin slice ini pun tidak lama, maksimal hanya 5 menit.

Seberapa akurat sih thin slice ini? Bagaimana kita bisa memastikan thin slice yang sudah dilakukan itu akurat? Ambady, Krabbenhoft, dan Hogan (2006) mengatakan ada dua cara untuk mengukur keakuratan thin slice, yaitu akurasi konsensus dan akurasi yang diukur dari hasil yang spesifik. Untuk akurasi konsensus, misalnya nih ada sekelompok orang dalam sebuah ruangan. Mereka diberi tayangan video Syahrini. Lalu, kita tanyakan kepada mereka bagaimana penilaian mereka tentang Syahrini. Mari kita beranggapan mereka belum pernah melihat Syahrini sebelumnya. Kalau ternyata mereka sepakat bilang Syahrini itu ramah dan lucu, inilah yang dinamakan konsensus.




Lalu, pertanyaan berikutnya mekanisme apa sih yang mendasari thin slice? Jawabannya adalah automaticity. Dalam proses persepsi seseorang terdiri dari dua tahap, yakni tahap otomatis dan tahap yang terkontrol. Pada proses tahap pertama ini membutuhkan sumber daya kognitif yang sedikit, artinya sambil bengong pun kita bisa menilai seseorang. Pada tahap ini juga bisa muncul di saat kita sedang mengerjakan tugas yang lain (sambil makan misalnya). Tidak usah khawatir dengan yang namanya banyaknya informasi yang datang bertubi-tubi atau terdistraksi dengan hal-hal lain. Karena yah namanya juga tahap otomatis yang cuma butuh proses kerja kognitif sedikit saja. Sebaliknya, pada tahap kedua dibutuhkan proses kerja kognitif yang lebih berat. Pada tahap kedua ini kita jadi lebih serius, lebih sadar, lebih terkontrol, dan lebih keras usaha kita. 

Beberapa hasil penelitian mendukung pernyataan tahap otomatis itu ya memang relevan dengan thin slice. Penelitian yang mana saja nih? Kalau kalian woles, silakan baca jurnal yang menjadi referensi tulisan ini ya. Hihihi... Anyway, lanjut lagi. Sementara tahap terkontrol justru mengganggu efektivitas penilaian thin slice. Penjelasan yang masuk akal sih ketika kita menggunakan tahap terkontrol untuk thin slice, otak kita akan menerima dan memproses banyak informasi jadinya malah suka tidak akurat.

Thin slice paling cocok dipakainya pas kapan? Biasanya kita menggunakan thin slice di saat kita sedang wawancara kerja, berjualan, bahkan speed dating. Tahu kan speed dating seperti yang di film-film? Buat lebih jelasnya bisa ditonton video berikut ini:




Buat yang lagi jomblo, boleh dipraktekin tuh speed dating. Hemat waktu dan efisien. Tidak usah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk proses pendekatan yang ujung-ujungnya berakhir pada ketidakcocokan. Terus, bergerilya lagi mencari manusia jomblo yang lain yang dirasa cocok untuk di-pdkt-in. Lama.

Akhirul kalam, kalau ada yang bilang, first impression atau kesan pertama itu tidak penting berarti dia telah melakukan kebohongan publik! Halah. Dan kalau kalian tidak mau sembarangan dinilai di internet, maka hati-hati ya dalam posting apapun di media sosial. Agak jaim begitu deh jadinya. :P

Referensi:

Ambady, N., Krabbenhoft, M. A., & Hogan, D. (2006). The 30sec-scale: Using thin-slice judgments to evaluate sales effectiveness. Journal of Consumer Psychology, 16 (1), 4-13. 

Ambady, N. (2010). The perils of pondering: Intuition and thin slice judgments. Psychological Inquiry, 21, 271-278. 

7 comments

  1. kalau kesan pertama untuk emak-emak dari anak muda ini, kira2 seperti apa ya? *sambil pasang muka ramah, sewaktu2 mata bisa melotot*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, jadi atuuuut... *ngumpet di balik pohon*

      Delete
    2. sama, atut juga... tak ngumpet di dalam selimut ae..hehe

      Delete
  2. kesan pertama itu penting, makanya ada cinta pada kesan pertama. :))

    eh, banyakin tulisan kek begini ya mbak, buat nambah-nambah ilmu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Biar bagaimanapun, aku tetap tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. :P

      Delete
  3. british donkkk Kim, britishhh jgn american hihi, judgement (with e) ajah, kalo judgment di british cuma dipakai untuk legal-context soalnya, hehe. salah fokus *dilempar pempek sama kimi* ...

    nganuuu... menurutku sih, kesan pertama itu penting, tapi di saat-saat tertentu saja, misalnya wawancara kerja, visit ke klien, nge-date pertama, haha...

    ya biar meninggalkan kesan yg baik aja sih.

    selainnya itu ada saat di mana kita ga gitu peduli apa penilaian orang terhadap kita karena memang ga relevan. misal, kita pengin tampil cuek bebek ga mandi jorok dekil rambut berantakan, trus jalan-jalan di tengah-tengah kota paris menikmati kebebasan hidup, ya ga papa. lagian yg ngeliat kita jg ga bakal protes, ga kenal juga toh. paling mereka menyingkir kalo kita bau badan haha...

    karena orang-orang yg mungkin berinteraksi dg kita berpenampilan demikian, ga relevan dg hidup kita, ya ga masalah. tp kalo relevan seperti wawancara kerja tadi, mengupayakan untuk memperoleh thin slice judg(e)ment yg baik itu menjadi relevan dan sangat penting.

    demikian :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, Mbak Nay bisa saja. Acuanku kan pakai jurnal Amerika, jadinya ya mengikuti bahasa Inggrisnya Amriki.

      By the way, intinya yang ingin kusampaikan adalah kita akan selalu dinilai oleh orang lain kapan dan dimana saja. Sekarang, balik ke kitanya kapan menganggap penilaian orang lain itu penting dan tidak penting. :)

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.