Tentang Kebebasan dan Jati Diri

Pernah teman saya menawarkan saya untuk minum kopi yang sayangnya harus saya tolak. Teman saya yang lain agak heran begitu tahu saya tidak minum kopi. Dia berkomentar, "Kamu pemikir macam apa tidak suka minum kopi?" Well, pertama-tama, label "pemikir" itu terlalu berat untuk disematkan ke saya. Kedua, memangnya pemikir itu diidentikkan dengan suka minum kopi ya? Ketiga, saya tidak suka kopi karena kopi menyebabkan maag saya kambuh.

Sampai saat ini setidaknya saya berhasil menolak kopi, rokok, dan alkohol. Saya bangga dengan diri saya sendiri. Bisa saja kalian berpikir saya lebay banget deh begitu doang bisa bangga. Saya melihatnya seperti ini: saya berani mengambil keputusan sendiri dan berani menolak tawaran orang lain. Saya berani untuk memutuskan saya tidak minum kopi dan alkohol. Saya juga memutuskan untuk tidak merokok. Sebagai orang yang bagai air di daun talas, punya prinsip dan memegang teguh prinsip itu adalah hal yang bagus. Meski dalam hal ini prinsip saya hanya tidak menyentuh kopi, rokok, dan alkohol.

Saya dibesarkan di lingkungan keluarga yang bisa dibilang agama dan kulturnya lumayan kuat. Sejak kecil saya dididik untuk selalu patuh kepada orangtua, hormati kakak-kakak, rajin sholat, dan seterusnya. Saya tidak diajarkan untuk kritis dan berani mengutarakan pendapat. Bahkan, seingat saya, sepertinya saya tidak punya pendapat sendiri. Apa yang orangtua saya katakan, ya saya turuti. Apa yang orangtua saya minta, ya saya jalani. Sampai akhirnya saya berhasil sampai di satu titik mempertanyakan semuanya. 

Saya mempertanyakan apa yang selama ini diajarkan kepada saya sejak saya kecil. Beberapa di antaranya tidak sesuai dengan hati nurani saya. Mungkin juga karena saya terbiasa sejak kecil untuk selalu nurut, diam, dan tidak ingin mengecewakan keluarga sehingga saya sekarang hanya bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. To adjust. To adapt. 

Entah kebetulan atau tidak, tadi sore saya membaca ulang Pantai Kupu-kupu, novel yang ditulis oleh Elia Bintang. Saya tiba di satu halaman di mana Nina sedang dibacakan kartunya oleh Sister Sita. Sister Sita, si peramal, membacakan dari kartu yang sudah dikocok Nina seperti ini:

"Seumur hidupmu kamu ada dalam tekanan. Kamu tak bahagia, tapi kamu tak suka konfrontasi. Tak bagus pula dalam hal itu. Kamu coba menyiasati perasaanmu. Kamu coba beradaptasi. Tapi lama-lama kamu lelah. Jiwamu terus-menerus terimpit. Seseorang memang tak mungkin selamanya menunduk, tak mungkin selamanya tidak jadi diri sendiri. Akibatnya, di hatimu ada kemarahan yang diam, yang seiring waktu akan bicara, atau kini barangkali sudah bicara. Selama ini kamu dipaksa pakai topeng. Kamu mesti jadi A di depan orang-orang, padahal kamu B. Kamu jadi banyak bikin hal-hal rahasia. Itu memberimu sejenis pembebasan, atau rasa terbebaskan, walau hanya sejenak. Di dunia ini, malam ini, tak ada yang lebih kamu inginkan daripada kebebasan. Itulah kenapa kamu cari tujuan hidupmu. Karena kebebasan tanpa tujuan adalah kemunduran." (hal. 87)

Damn. That is sooo me! Terima kasih, Elia, sudah sangat jelas mendeskripsikan Nina dalam satu paragraf. :D

Nina adalah tokoh utama dalam Pantai Kupu-kupu. Ia ingin merasakan kebebasan. Akhirnya setelah lulus SMA, ia pergi dari rumah dan tidak melanjutkan kuliah. Ia lebih memilih pergi menuju Pantai Kupu-kupu. Mencari tujuan hidupnya di sana.

Apakah kalian pernah merasakan apa yang Nina rasakan? Pernahkah kalian mengalami apa yang Nina lalui? Kalian ingin merasa bebas, terlepas dari kerangkeng dogma agama, budaya, tuntutan keluarga dan masyarakat. Dari perbincangan kami via surel, melalui Pantai Kupu-kupu, Elia ingin menyampaikan pesan agar kita jangan takut untuk meraih kebebasan kita. Kita harus bisa melihat diri kita--manusia--sebagai subjek, bukan objek terhadap label, stereotip, definisi, norma, dogma, dan nilai-nilai apa pun yang diciptakan masyarakat.

Bagi kalian yang sedang mencari kebebasan, jangan takut. Teruslah mencari dan dapatkan kebebasan itu. Nina pun awalnya sempat gelisah, tapi toh akhirnya dia meraih kebebasan itu.

Ternyata kebebasan hanya mensyaratkan tekad dan keberanian. Untuk menolak tunduk. Untuk mendobrak. Kini tak ada lagi yang mengekangnya. Tak ada lagi aturan-aturan yang membelenggunya. Tak ada lagi topeng yang mesti dia kenakan di depan sekelompok masyarakat.  
Dia kenal banyak orang yang mengalami penjajahan mental dan emosional. Ada di antara mereka yang terus-menerus tunduk hingga kehilangan jati diri. Namun ada pula yang melawan dan kembali jadi manusia yang penuh. Dia telah memilih yang kedua. Dia bebas. Dan dia bahagia memikirkan itu. (hal. 44)

Sekarang, jika kalian bertanya kepada saya apakah saya ingin bebas, untuk saat ini saya hanya bisa memberi jawaban, "Setidaknya saya harus bisa berdamai dulu. Saya harus berdamai dengan diri sendiri dan keadaan." :)

20 comments

  1. Semoga kamu bisa segera dapat kesempatan utk mencari dan menemukan pantai kupu-kupumu... :D

    Aku belum baca novelnya, tapi kayaknya coraknya eksistensialis banget, ya. Mungkin penulisnya seneng baca-baca buku filsafat :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Elia memang senang dengan eksistensialisme, Dit. Katanya tulisan-tulisannya terinspirasi dari Jean-Paul Sartre. :D

      Delete
    2. Ooh, I see... "Human is condemned to be free". Cool!

      Delete
  2. semoga bisa berdamai dan menemukan pantai kupu-kupu sendiri,
    saya termasuk 'pemberontak' kecil diantara saudara yang nurut. dimata saudara saya bebas menentukan 'pilihan' yang saya pilih & orangtua percaya sepenuhnya. Tapi kemudian pada satu titik, saya sedikit menyesalkan orangtua yg tidak 'sedikit' memaksakan kehendaknya kepada saya. Hidup adalah pilihan dan semua punya konsekuensinya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget, Mbak. Hidup ini memang perihal pilihan. Setiap pilihan yang kita ambil punya konsekuensinya yang akan kembali ke kita.

      Delete
  3. Kalau aku, setelah berumahtangga cenderung diam, menghindari konfrontasi. Tapi sih, nggak diam-diam juga, aku pasti ngelontarinnya, biasanya sih setelah lewat beberapa hari kalau misalnya terjadi perdebatan :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku malah sekarang lebih berani konfrontasi, Mbak. Maksudnya bukan konfrontasi yang ngajak ribut atau gimana, tapi ke yang lebih berani menyampaikan apa yang ada di benakku. Sebelumnya kan aku gak berani ngomong dan hanya diam. Suatu kemajuan bagiku. :D

      Delete
  4. aku kemarin sudah kirim komen di sini kok nggak ada ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, entahlah, Mbak... Ada dua orang temanku yang juga bilang mereka mau komen tapi gak bisa komen. Aku pun bingung. :(

      Delete
  5. Hai, Nina. Berdamai itu gak hanya tindakan mental, loh, tapi juga fisik. Ibarat lagi perang, gak akan ada perdamaian tanpa deklarasi dan jabat tangan. Btw, thanks yah. Seperti biasa, tulisan lo mantep!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, tindakan fisik dalam berdamai itu yang bagaimana maksudnya, El?

      Delete
    2. Tergantung. Di Jakarta, banyak orang pake jaket siang bolong soalnya gak mau item (padahal udah item). Di Bali orang mah cuek aja. Mereka tinggal di tempat tropis, emang udah mestinya item. Mereka berdamai dengan kehitaman mereka--lagian item dan putih kan sama-sama bagus.

      Delete
  6. aku suka satu kalimat diatas, "karena kebebasan tanpa tujuan adalah kemunduran". :)

    ReplyDelete
  7. aku kirimin novelnya donk... eh masih ngutang alamat yah belum ngasih tau *toyor diri sendiri*
    sejak pindah ke eropa, secara geografis, aku sudah 'bebas' dan menemukan jati diriku #ciehhh. karena kungkungan sosial di sana memang kadang kurasakan sangat lebay. aku dulu jg termasuk yg suka ga peduli dan cenderung berontak dg 'adat' karena kadang2 banyak yg konyol dan ga masuk akal. tp blom sampe tahap ditimpukin ornag sekampung sih.
    kalo dimusuhi temen banyak, contohnya, karena pacaran sama beda agama #uhuk. aku dikecam abis, hiks.
    soal alkohol, rokok dan kopi, meski sekarang aku hidup di eropa sebebas2nya, karena masyarakat di sini ga kepo, individualistik dan ga peduli urusan orang lain, bisa saja aku konsumsi alkohol semauku, toh siapa yg tau, siapa yg ngejudge. tapi aku emang dasarnya ga doyan, jd ga pernah minum. lha minum coca-cola aja mendelik! hahaha....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baiklah, Mbak... Tampaknya aku juga memang harus hijrah ke Eropa. Eh tapi, siapa yang mau bayar ongkosnya dan menanggung hidupku di sana ya? :(

      Delete
    2. Untukmu, tentu saja boleh numpang sementara di rumahku, tp setelah itu bagaimana hidupmu selanjutnya ya? :-\

      Delete
  8. biasanya kebebasan akan dibuntuti kegamangan (fyuh). but still, I choose freedom XD

    Jadi inget novel Life of Pi. lupa persisnya kalimatnya kaya gimana dan di halaman berapa. Seingat saya ada bagian yang penulisnya, Yann Martel, menganalogikan kalau sistem kepercayaan itu seperti kebun binatang yang membuat hewan-hewan di dalamnya hidup nyaman. Kadang hewan-hewan yang melarikan diri dari kebun binatang akan kebingungan dan kembali sendiri ke kandangnya. Meski di kebun binatang kebebasannya direngut, tapi pada akhirnya hewan-hewan tersebut akan berdamai dengan keadaan mereka.

    Mungkin tidak hanya kepercayaan/agama, Tapi lingkungan yang sudah terlanjur membuat kita nyaman juga bisa dianalogikan seperti kebun binatang. Ia mungkin memberi kenyamanan, memberi apa yang kita butuhkan, tapi di luar sana tetap ada kehidupan bebas. the choice is yours

    semoga kimi bisa berdamai dengan diri sendiri dan keadaan. :)

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.