Alternatif dari Pernikahan

Day 10.

Minggu lalu saya menjemput ibu saya di Bandara Radin Inten II. Beliau pulang umroh bersama kakak saya, Ses Renny. Sambil menunggu pesawat Garuda yang membawa beliau saya duduk-duduk di kantin menikmati pempek. Saat itu kantin cukup penuh. Saya duduk satu meja dengan ibu-ibu. Sepertinya usianya di pertengahan 40 atau mungkin mendekati 50 tahun. Entahlah. Saya tidak terlalu pandai dalam menebak usia seseorang.

Ibu tersebut menegur saya, "Jemput siapa, Dek?" Saya menjawab menjemput ibu saya. Lalu percakapan pun bergulir lancar. Kami berkenalan, menyebut nama masing-masing, kemudian saling melempar pertanyaan basa-basi, seperti menanyakan pekerjaan dan keluarga. Singkat cerita, beliau ternyata mengenal kakak saya yang nomor 3 dan ayah saya. Lampung memang kecil, Saudara-saudara.

Obrolan berlanjut ke arah lebih serius: jodoh dan pernikahan. Obrolan ini bermula dari beliau yang menanyakan status saya, "Sudah menikah, Dek?" Kan asem. Saya tidak pernah bisa mengerti kenapa masyarakat kita sangat penasaran apakah orang lain sudah menikah atau belum. Kalau dijawab belum, maka berikutnya pasti langsung dikasih ceramah untuk segera menikah, blablabla.


Berhubung saat itu mood saya sedang bagus saya menjawab pertanyaan beliau dengan cengengesan. Bahkan beliau saya ajak bercanda. Tiba-tiba beliau berceramah soal jodoh. Saya ingin membantah konsep jodoh beliau, tapi ah sudahlah. Tidak penting. Jadi, saya diam saja dan mendengarkan beliau berceramah. Sampai akhirnya beliau bilang, "Ibu kan juga kerja di XXX ya, Dek. Nah, tahun ini (2016, red.) banyak sekali kasus perceraian." Saya hanya diam dan terus mendengarkan beliau bicara.

Cukup sering saya menulis perihal mating, jodoh, pernikahan, dan sejenisnya di blog ini. Beserta ketakutan-ketakutan saya. Mendengar cerita Ibu tersebut, semakin menambah ketakutan saya. Sudah banyak artikel di mana-mana yang membahas mempertahankan pernikahan di jaman sekarang teramat sulit. Perceraian bukan menjadi sesuatu hal yang tabu lagi. Bagi saya pribadi ini menyedihkan karena jadinya manusia dewasa ini menganggap enteng pernikahan. "Kalau tidak cocok, gampang atuh. Tinggal cerai." Yah, begitulah.

Bagi orang-orang yang takut menikah apakah ada opsi lain? Ada. Banyak. Sayangnya, opsi tersebut tidak populer di masyarakat kita. Tetapi, saya rasa tidak ada salahnya untuk kita cari tahu. Video berikut dari The School of Life menjelaskan secara singkat berbagai alternatif lain dari pernikahan. Silakan disimak.




Mari kita rangkum opsi apa saja yang ada, beserta upsides dan downsides.

1. Standard Marriage
Upsides: firm possession of one prized person, continuity, resolution, children reassured, economic stability, social prestige.
Downsides: sexual boredom, exasperation, lack of appreciation, a suspicion of better alternatives out there.

2. Divorce
Upsides: new possibilities for sexual excitement, an end to cycles of exasperation, past problems had been their fault.
Downsides: perturbed children, economic chaos, no one better out there, problems are in fact our fault too.

3. Sunset clause marriage (renegotiate your marriage in every, like, ten years)
Upsides: prospect of sexual excitement, more appreciation and effort, children somewhat reassured.
Downsides: insecurity, jealousy, terror of abandonment, no one actually better, difficult to pioneer.

4. Marriage with secret affairs
Upsides: fragile stability with partial excitement.
Downsides: deceit, jealousy, cowardice, and a lot of shame.

5. Polyamory
Upsides: constant sexual possibilities and not much day to day exasperation.
Downsides: socially not very prestigious, a lot of jealousy around, children might be in turmoil, discontinuity, exhaustion, and career chaos.

6. Serial monogamy
Upsides: a lot of sexual possibilites.
Downsides: moth-eaten loneliness and insecurity.

7. Communal living
Upsides: shared child-care and sexual variation.
Downsides: a bit utopian, jealousy, faction, and bickering.

8. Celibacy
Upsides: time to work and think.
Downsides: loneliness and sexual humiliation.

Kita sudah melihat alternatif yang ada dan sudah mengetahui positif dan negatif masing-masing alternatif. Dari alternatif tersebut tidak ada yang menyediakan pilihan bahagia terus selama-lamanya dan tidak akan ada rasa sakit. Kalau ada opsi tersebut, saya juga mau keleus. 

It seems whatever we choose is going to be very painful. The option is not between error and happiness, but between what varieties of suffering we would ultimately prefer.

Seperti yang Tuan Søren Kierkegaard bilang:

“Marry, and you will regret it; don’t marry, you will also regret it; marry or don’t marry, you will regret it either way. Laugh at the world’s foolishness, you will regret it; weep over it, you will regret that too; laugh at the world’s foolishness or weep over it, you will regret both. Believe a woman, you will regret it; believe her not, you will also regret it… Hang yourself, you will regret it; do not hang yourself, and you will regret that too; hang yourself or don’t hang yourself, you’ll regret it either way; whether you hang yourself or do not hang yourself, you will regret both. This, gentlemen, is the essence of all philosophy.” (dari Either/Or)

Intinya dari semua pilihan yang ada kita memilih yang mana kira-kira opsi rasa sakitnya, penderitaannya, atau downsides-nya yang paling bisa kita tolerir. Apakah itu sebanding dengan kebahagiaan yang ditawarkan? 

Tenang, tenang... Jangan pesimis dulu. Alain de Botton, salah satu pendiri The School of Life, di video ini memberikan saran untuk kita. Beliau bilang begini:

The solutions to the dilemmas of relationships should be to increase our understanding of how to love rather than merely making it easier to find and fire new lovers.

Sekian dan terima undangan resepsi kalian.

p.s.: Kok cohabitation tidak masuk di dalam list di atas ya? Eh, tapi kohabitasi dan pernikahan cuma beda di status saja sih. Yang satu tidak diakui negara, yang satunya lagi diakui. Yang lain-lainnya mah sama. 

6 comments

  1. Solusinya mas Alain de Botton di atas cuma bisa bikin saya manggut2 mumet, tp teorinya logis sih, eh itu teori atau apa toh?

    Dan beberapa definisi di atas saya juga baru tau adanya, wah tiada hal yg lebih rumit dibandingkan soal relationship dan pecel lele yg enak di atas bumi ini sepertinya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Om. Relationship ini suatu hal yang begitu pelik. Halah.

      Delete
  2. Bintangin dulu videonya, ah. Teorinya menarik. Thanks, Kiiim...

    ReplyDelete
  3. Eh, tapi kohabitasi dan pernikahan cuma beda di status saja sih. Yang satu tidak diakui negara, yang satunya lagi diakui. Yang lain-lainnya mah sama.
    SALAH.
    kohibitasi kalau tidak diakui negara harusnya udah digerebek dimana-mana. Kohibitasi tidak diakui agama, menikah diakui agama (apapun). Hehehehe.

    Ah kamu, trus gimana dong mau dicomblangin....:P

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.