Dua hari yang lalu (17/05) adalah Hari Buku Nasional. Sebagai orang yang mengaku-ngaku suka baca, saya baru tahu lho kalau kemarin itu Hari Buku Nasional. Sungguh. Patut dipertanyakan ini apakah betul saya suka baca karena hal begini saja saya tidak tahu. 😆
Dari situs web Narasi yang saya baca, Hari Buku Nasional pertama kali dirayakan tahun 2002. Penggagasnya adalah Menteri Pendidikan Nasional era Kabinet Gotong Royong, Abdul Malik Fadjar. Tanggal 17 Mei dipilih berdasarkan berdirinya Perpustakaan Nasional, tepatnya tanggal 17 Mei 1980. Mengutip dari Narasi:
Alasan ditetapkannya Hari Buku Nasional adalah untuk meningkatkan minat baca dan literasi masyarakat di seluruh Indonesia yang pada saat itu masih cukup rendah.Data UNESCO pada 2002 menunjukkan tingkat literasi orang dewasa atau penduduk berusia di atas 15 tahun berada di angka 87,9 persen.Angka ini terpaut cukup jauh dari negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia (88,7 persen), Vietnam (90,3 persen), dan Thailand (92,6 persen).
Itu data dari tahun 2002. Bagaimana dengan data terbaru? Dari hasil baca-baca singkat di internet, tidak berbeda jauh. Berdasarkan survei PISA di tahun 2019, Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara atau sepuluh negara dengan tingkat literasi rendah (sumber). Sementara menurut UNESCO, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 di tahun 2016. Lebih lanjut, UNESCO menyebut minat membaca masyarakat Indonesia sangat rendah di mana hanya 1 dari 1000 orang yang gemar membaca. Selain itu, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2022 menyebutkan bahwa tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia secara keseluruhan berada di angka 59,52 dengan durasi membaca 4--5 jam per minggu dan 4--5 buku per triwulan. (sumber)
Ini miris sekali. Masyarakat kita malas membaca, tapi kalau baca media sosial sepertinya rajin sekali. Tidak heran kalau dibilang warganet Indonesia memang paling berisik di media sosial.
Foto oleh Tracy Le Blanc dari Pexels
Memang di media sosial bertebaran berbagai informasi. Cukup dari satu aplikasi kita bisa mendapat banyak sekali informasi. Cukup membaca teks pendek dalam satu twit atau menonton video durasi puluhan detik, kita sudah memperoleh informasi, entah itu penting atau tidak penting. Barangkali itu yang membuat kenapa kita lebih menyukai media sosial ketimbang buku. Hanya butuh waktu sebentar untuk mendapatkan informasi lantas kita merasa sudah paling pintar.
Berbeda dengan buku yang butuh waktu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk selesai dibaca. Belum lagi harga buku yang mahal. Tidak semua orang mampu untuk membelinya. Perpustakaan bisa menjadi alternatif, tetapi kualitas perpustakaan di Indonesia tidak merata. Jadi, ya, jangan heran kalau masyarakat kita--masyarakat global juga sih sebenarnya--sekarang lebih senang untuk mencari informasi di media sosial ketimbang membaca langsung dari sumbernya. Karena harga kuota internet lebih murah daripada harga satu buah buku dan akses internet juga sudah lebih luas.
Kembali ke Hari Buku Nasional.
Dari yang saya lihat di linimasa media sosial saya, ada yang merayakannya dengan cara membeli buku baru, membaca satu buku, mendiskusikan buku, dan lain-lain. Sementara saya tidak melakukan apa-apa untuk merayakan Hari Buku Nasional. Saya sedang malas untuk membaca, apalagi membeli buku.
Perihal membeli buku, sudah beberapa tahun terakhir saya jarang melakukannya. Padahal dulu saya selalu senang kalau diajak ke toko buku dan membeli buku-buku baru. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam menyusuri rak demi rak untuk mencari buku yang menarik. Dulu saya bisa menghabiskan uang ratusan ribu rupiah dalam sekali belanja buku. Saya sempat punya angan-angan ingin punya perpustakaan pribadi di rumah.
Foto oleh Vincenzo Malagoli dari Pexels
Namun, semuanya berubah sejak negara api menyerang. Bohong ding. Yang benar sejak harga buku semakin mahal, saya sangat mengurangi belanja buku. Saya juga tidak punya tempat luas untuk menyimpan koleksi buku-buku saya seandainya saya tetap rajin membeli buku. Faktor lainnya saya mencoba untuk menerapkan hidup minimalis. Jadi, saya beralih ke buku elektronik. Saya berlangganan Gramedia Digital, Perlego, dan sesekali membeli buku elektronik di Play Books juga di Kindle Amazon.
Ternyata, ada perasaan bersalah juga saya tidak ikut merayakan Hari Buku Nasional kemarin. Maka saya menebusnya dengan membuat tulisan ini. Saya juga memaksa diri untuk mulai membuka satu salinan buku elektronik, yang ada di Gramedia Digital, untuk dibaca. Saya memilih Rainbirds dari Clarissa Goenawan, seorang penulis kelahiran Surabaya yang tinggal di Singapura.
Bagaimana dengan kalian? Buku apa yang sedang kalian baca saat ini? Yuk, berbagi di kolom komentar.
Sama sy juga baru tahu ada Hari Buku Nasional ...
ReplyDeleteEmang sudah terkenal warga +62 punya literasi rendah, sama seperti mental netizen nya rendahan.
😅🤫
Saya tidak suka baca buku jika saya gak ingin, saya baca buku ketika saya ingin. Ingin tahu. Semakin saya ingin tahu, semakin ingin baca buka. Kalau ada bukunya, kalau gak ada bukunya ya apa saja saya baca untuk dapat informasi, walaupun kadang pemahaman atau literasinya masih rendah, tapi masih lebih baik daripada gak membaca sama sekali.
Jika suruh memilih, membaca buku atau membaca pikiran, saya lebih suka membaca pikiran, supaya tidak mudah dibodohi orang, terutama wanita!!! #cuank
Pengalaman banget ini kayaknya masnya. Ups.
Delete