Apakah Ini Mansplaining?

Beberapa minggu yang lalu, saya dan dua orang temansebut saja teman A dan teman Bberkumpul di kafe kopi kekinian di salah satu mal bilangan Jakarta Pusat. Awalnya, kami asyik-asyik saja mengobrol ngalor-ngidul. Obrolan tiba-tiba berubah ke saya yang menjadi topik pembicaraan. Teman A bilang ke teman B kalau saya pada saat itu sedang galau. Teman B berkomentar, "Ih, iya. Kalau baca reviu buku di blog kamu, bisa terlihat kalau kamu tuh lagi galau." Mendengar itu saya mengernyitkan dahi. Saya balas komentarnya, "Sotoy." 

Ada alasan kenapa saya membalasnya dengan bilang kalau dia tuh sok tahu. Pada saat menulis resensi buku di blog, saya sedang baik-baik saja dan tidak galau. Hanya saja sepertinya dia tidak terima karena saya sudah bilang dia sotoy. Karena kelanjutannya adalah dia menguliahi saya. Dia bilang yang kira-kira begini, "Loh, iya, Kimi. Dari satu buku itu kan bisa direviu dari berbagai sisi dan tergantung mood kamu saat menulisnya. Kalau kamu sedang senang, kamu akan melihat bukunya dari sisi yang senang-senang saja. Sebaliknya, kalau kamu sedang galau atau sedih, kamu akan melihat buku itu dari sisi sedihnya." 

Apa-apaan...? 

Sejujurnya, saya kesal dikuliahi seperti itu. Saya sampai kepikiran ingin membuka blog buku saya saat itu juga dan meminta penjelasan dia, "Coba tunjukin analisis kamu dari tulisan resensi di blog buku aku ini, kata per kata, kalimat per kalimat, mana yang mengasumsikan bahwa aku sedang galau di saat menulis resensi ini?" Sayang, saya tidak sempat melakukannya karena topik pembicaraan berganti dan saya jadi lupa. Hahaha. 

Dan ternyata kesalnya masih terasa sampai sekarang. Yang membuat saya kesal, teman B seolah-olah memandang saya sebagai orang yang baru menulis kemarin sore. Saya semacam digurui untuk satu hal yang saya tahu dan sudah saya lakukan selama belasan tahun. Ingin rasanya saya bilang ke dia, "Apaan sih? Lo ngomong ke orang yang sudah menulis resensi buku ratusan kalibukan 1-2 kalidan sudah belasan tahun?" 

Barangkali tidak menjadi masalah jika saya memang meminta masukannya atau meminta untuk diajari menulis resensi. Lah, ini kan tidak? Barangkali juga saya tidak akan terlalu ambil hati jika pada saat menulis resensi-resensi itu saya memang sedang galau. Masalahnya kan pada saat menulis resensi itu kan saya tidak galau. Ini kan saya yang menulis, saya yang merasakan, tetapi kenapa dia yang ngotot bilang kalau resensi saya itu mengandung kegalauan? Maksa banget, Pack? 

Saya sendiri yakin kalau dia tidak benar-benar membaca semua tulisan resensi buku saya. Barangkali teman B hanya membaca 1 atau 2 tulisan. Kalau asumsi saya benar, sungguh lucu rasanya dia bisa mengambil kesimpulan saya sedang galau hanya dari 1-2 tulisan resensi. Dude, do you really read my blog? Do you even know my writing style? How I write my reviews? No? 

Apakah ini yang namanya mansplaining? Kalau iya, wah, ternyata rasanya tidak enak juga ya kalau kena mansplaining


gambar dari sini 

6 comments

  1. entah kenapa aku kalau kena mansplaining tuh dari orang2 yang (sorry to say) kurang educated, kayak aku sering kalau naik ojol gitu, bapak2 yang nyetir sering merasa paling tau, waktu ku skak, kayaknya nggak gitu deh pak, setau saya bla bla bla, eh orangnya langsung diem terus nyerocos hal lain, ada baiknya mansplaining ya udah sih cuekin aja, eh itu aku ding, yang seringnya males nanggepin begitu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, dicuekin juga emang paling bener sih. Tapi, kan kadang ada kalanya kesal juga dibegitukan ya?

      Delete
  2. Baru ingat lagi istilah Man's Plaining. Dulu pas lagi masa-masa ingin berprestasi membuktikan diri kalau digitukan sebal banget deh. Makin kemari kayaknya cuma buang-buang waktu untuk berinvestasi kesal kearah sana. Di pilah-pilah mana yang masuk akal dan mana yang enggak. Kalau nggak ya biarin saja di iya-iyain. Mungkin bapack-bapack tersebut mungkin loh juga punya masalah dengan harga diri mereka. Entah di rumah atau di lingkungan. Satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa dirinya masih man up ya dengan cara seperti di atas. Jadi saya mikirnya, di iyain aja dan terima kasih. Hitung-hitung jadi pahala saya karena membuat orang lain merasa dirinya berharga...Karena kadang-kadang nggak semua tentang kita loh mbak Kimi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya memang nggak semua tentang kita selalu. Tetapi, ya, kurasa manusiawi lah kalau kadang kita merasa kesal di-mansplaining begitu.

      Delete
  3. Kak Kimi, kok aku ikutan kesal ya bacanya 😭. Padahal kan Kakak yang tulis resensinya ya, kok dia merasa lebih benar 😭. Normal sih kalau Kakak merasa kesal saat mengalaminya, apalagi sampai dikuliahin. Kalau lagi nggak minta kritik/saran terus tiba-tiba dikuliahin gitu, wajar banget kesal 😭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kan kesel kan yaaa? Aku yang nulis, tapi kenapa dia merasa yang paling tahu? Huhuhu...

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.