Menikah (?) Bagian Dua

Saya kali ini mau curhat tentang pernikahan lagi. Sebelumnya saya pernah curhat tentang ini di sini. Bagi teman-teman yang berminat, silakan dibaca. :)

Kenapa mendadak tiba-tiba saya kepingin membahas pernikahan, tentu saja selain alasan curhat? Karena pernikahan ini termasuk krisis bagi anak-anak muda seusia saya. Kalau kata Mbak Vicky di komentar tulisan saya sebelumnya, ini adalah krisis perempat baya. Sementara kata psikologi perkembangan, ini adalah tugas perkembangan bagi young adulthood. Eh, terjemahan young adulthood itu apa ya yang bagus?

Suatu saat, teman SMA saya menyuruh saya cepat kawin. Demi alasan pertemanan, saya rahasiakan saja namanya ya. Teman saya bilang kawin itu enak. Pret. Memangnya kawin itu cuma sekadar urusan selangkangan? Memangnya kawin itu mudah? Mungkin menikahnya doang sih gampang. Tinggal datang ke KUA, minta penghulu, akad nikah deh. Beres. Itu bagi yang beragama Islam. Tetapi kan kehidupan setelah pernikahannya itu yang sulit. Penuh dengan batu dan kerikil tajam, katanya. Kalau tujuan kawin cuma buat bisa seks legal dan takut zina, ya menikah siri saja. Tapi, kan pernikahan itu bukan melulu soal seks toh? Ngomong-ngomong, di sini kita jangan membahas perbedaan "menikah" dan "kawin" ya. Karena bagi saya kedua kata itu sama saja. :P

Keluarga saya juga sudah menyinggung soal menikah, terutama ibu saya. Minggu lalu saya minta ijin ke Mama kalau saya kepingin kuliah saja. Sesudah saya menyampaikan niat saya itu, eh ya kok saya langsung diceramahi. Beliau bilang sudah seharusnya saya memikirkan pernikahan. Saya bukan bertambah muda, melainkan bertambah tua. Apa saya mau nanti hidup sendiri sampai tua tidak punya suami dan anak? Pas tua nanti tidak ada yang mengurusi? Mau saya seperti itu apa? tanya ibu saya. Ya jelas saya tidak mau. Tapi kan bukan berarti saya mau menikah besok juga. :P

Nah, dini hari tadi sambil nonton Mas Rafa tanding lawan Djokovic di final ATP Miami Masters, saya ngobrol dengan teman SMA saya yang lain. Namanya Jullian. Saya bilang ke dia sebenarnya sampai sekarang saya takut menikah. Ternyata dia sebelas-dua belas sama saya. Menemukan teman yang satu paham soal pernikahan itu bagaikan menemukan oase di gurun pasir. Sungguh melegakan. *tsaaah*

Saya bilang ke Jullian hal yang paling saya takuti dalam sebuah pernikahan adalah pengkhianatan. Saya takut dikhianati dan mengkhianati. Saya? Wanita selingkuh? APA? *kemudian kamera zoom in-zoom out* 

Penggemar: Loh, Kim, bukannya kemarin itu kamu menulis kalau kamu tidak setuju dengan sexual omnivore? Bukankah kamu penganut satu pasangan cukup? Harusnya kamu bukan orang yang bisa selingkuh dong.

Akui saja, wanita punya kesempatan yang sama untuk selingkuh kok. Sama seperti pria. Sangat naif kalau bilang wanita seharusnya tidak bisa selingkuh. Wanita seharusnya tidak selingkuh karena yang bisa selingkuh itu hanya pria! Namanya juga manusia. Baik pria maupun wanita punya titik kelemahannya masing-masing. Siapapun kalau digoda terus-menerus dan mudah tergoda, ya gampang jatuh ke lubang perselingkuhan. Kalau tidak mudah tergoda, ya syukur Alhamdulillah.

Siapa yang bisa menjamin pasangan kita setelah bertahun-tahun menikah adalah orang yang sama menikahi kita dulu? Dulu bersumpah akan setia seumur hidup sampai maut memisahkan. Tetapi, baru dua tahun menikah sudah bikin janji ketemuan di hotel sama mantan pacar kuliah dulu. Jangan lupa apa yang Heraclitus katakan, "Panta rhei. Everything is in a state of flux." Manusia berubah. Kita semua berubah. Saya yang sekarang sudah jelas berbeda dengan saya satu tahun yang lalu.

Saya merasa dengan mengakui ketakutan ini bisa membuat saya tahu apa harus saya lakukan. Dalam hal ini mengelola rasa takut saya akan pernikahan. Namun, bukan berarti dengan ketakutan itu serta merta akan membuat saya pasti selingkuh. Tentu saja saya berharap saya tidak sampai seperti itu. Bukan pula dengan ketakutan itu berarti saya semakin takut menikah dan menunda-nunda untuk menikah. Takut itu wajar. Namanya juga manusia. Sekarang tergantung bagaimana saya mengelola perasaan takut itu. Bukankah demikian? Oh iya, saya persilakan teman-teman untuk membaca setiap kata "saya" di paragraf ini dengan menempatkan diri teman-teman sekalian di posisi yang sama dengan saya. Kemudian, renungkanlah. :)

26 comments

  1. Saya juga takut menikah. Lima atau sepuluh tahun lagi rasanya juga masih takut. Yg jelas kalau suatu saat saya menikah, maka pasangan saya itulah yg telah membantu saya mengatasi rasa takut dan menggenapi keberanian saya untuk meminangnya. Ehem....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau sulit, langsung dibawa ke KUA saja, Dit. *eh*

      Delete
  2. gak perlu terlalu khawatir tentang marriage life itu bakal susah atau gimana. asal kalo emang udah ketemu jodohnya, pasti bisa dijalani. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, harusnya sih begitu. Tapi, tetap saja masih khawatir... :(

      Delete
  3. saya juga punya pertimbangan serius untuk menikah. makanya sebenernya kalo orangtua saya bercanda soal "nanti kalau sudah punya anak" saya cuma nyengir2 garing tapi dalem hati bete banget. haha.

    ReplyDelete
  4. Kalo ngomongin pernikahan, pikiran saya selalu mengerucut pada: ikatan pernikahan modern membutuhkan manusia sempurna. Oh ya, saya juga belum tertarik untuk menikah, haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. "Ikatan pernikahan modern membutuhkan manusia sempurna."

      Nice quote!

      Delete
  5. Yang penting yakin dan orang tua setuju..:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah. Itu. Permasalahan ada pada "yang penting yakin". :P

      Delete
    2. Ada orang yang dengan hal simpel, dia udah bs jd yakin, ada juga yang menetapkan kriteria ini itu banyak sekali baru bisa jadi yakin.. Pada akhirnya sih yakin gak yakinnya itu kita sendiri yang buat-buat..:D

      Delete
  6. Lima tahun setelah saya wisuda, saya sekolah lagi. Setelah sekolah itu berjalan beberapa tahun, baru saya menikah.

    Saya masih takut pernikahan pada detik-detik menjelang ijab kabul pernikahan saya. Bahkan setelah sehari saya menikah pun, saya melihat pacar saya yang sudah jadi suami saya itu "berubah".

    Kemudian saya ngerti bahwa dia bukan berubah. Dia hanya menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Kalau yang saya lihat selama pacaran sih, itu hanya kedoknya aja. (Bukan, dia bukan pangeran kodok :D)

    Tentu saja kadang-kadang saya takut dia berselingkuh. Tapi setelah saya pikir-pikir, hey, saya bisa membuatnya untuk tetap bersama saya tanpa harus melirik orang lain :)

    Yang penting, kita tahu motivasi dari setiap langkah yang kita pilih. Kita memilih makan, karena kita ingin hidup. Kita memilih ngeblog, karena kita ingin berbagi pikiran. Kita memilih menikah, karena kita ingin apa? Dan setiap orang punya motivasi beda-beda untuk menikah.

    Saya punya motivasi ingin punya teman hidup, maka saya pilih menikah. (Itu, dan karena saya juga nggak mau dikejar-kejar satpol pp, hahaha..)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku kepingin menikah. Motivasinya ya karena aku gak mau tua nanti aku hidup sendirian. Aku pingin ada temannya. Tapi, ya menikahnya nanti dulu sih. :D

      Delete
  7. HI Kak Kimi,
    WIll reply this article with another article.. and I will attach my article here, soon :)))

    Nice to know you!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hello. Nice to know you, too. I'm sooo gonna wait your article! :)

      Delete
    2. Voila! "Saya, Pernikahan, dan Krisis Perempat Baya" http://sheilayla.blogspot.com/2014/04/saya-pernikahan-dan-krisis-paruh-baya.html

      Delete
  8. Wow...

    Pergulatan banget yak menikah itu. Saya jadi terheran dengan tetangga-tetangga saya saya menikah di usia belasan. Apa fase perempat baya ini menghampiri anak gaul kota aja kali yak?

    Di kampungku enggak.

    Well ternyata kamu enggak sendiri. Nice sharing :)

    ReplyDelete
  9. Hmmm dulu aku juga takut menikah dengan alasan yang sama.
    Jadi kalau pacaran mah awet, begitu diajak married aku langsung putusin :D hahaha
    Tapi sebenarnya ini bisa dikomunikasikan ke pasangan. Dulu aku cerita ke Adrian soal ini, juga ketakutan-ketakutanku serta bersama-sama menelisik kenapa aku bisa takut begitu. Pada akhirnya pembicaraan soal itu justru menguatkan aku dan Adrian serta malah menambah rasa percaya :) trus ada cincin deh di jari manis. Hehehe

    ReplyDelete
  10. Saya dulu nikah umur 28.. wuih, pas tau gimana rasanya hidup berumah tangga dulu, saya menyesal kok ga dipercepat saja, dan ketika itulah saya merasakan benar-benar capek dengan yang namanya pacaran..

    Setelah kami berumahtangga selama 5 tahun, iseng saya tanya perasaan istri saya, gimana rasanya menikah ini. Maksud saya untuk mengetahui jawaban yang jujur tentang konsep nikah itu sendiri, karena masa inilah istri saya itu sudah tau bagaimana saya sebenarnya.. jawabannya singkat aja, seenak-enak hidup sendiri, lebih enak hidup berdua, walaupun kami sering juga ribut. Kami rasakan nikah itu suatu yang beda mungkin karena kami udah melewati 3 fase, berteman biasa, pacaran singkat, kemudian menikah..

    Akhirnya kesimpulan yang kami dapatkan, puncak dari kesempurnaan kehidupan seseorang itu adalah dimana dia telah mendapatkan seorang teman yang bisa dia ajak berbagi saat menangis dan tertawa..

    Kl mba udah punya calon yang bagus agama dan tabiatnya, minimal udah punya kerjaan tetap, apa lagi yang mau ditunggu.., jangan kelamaan mba, ntar calonnya disambar wanita lain lo..hehehe.. :D

    eh iya, ini salah satu tulisan saya di blog yang lain tentang konsep nikah itu sendiri..

    http://harifday.wordpress.com/2012/04/06/bukan-sekedar-seremonial/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya sih pasti akan menikah. Cuma kapan, ya belum tahu. :D

      Delete
  11. Getting married itu takes a leap of faith adikku cantik =p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aih... Ada Ajo Ifan di sini! Gak bisa nulis yang macem-macem lagi deh. *langsung ngumpet*

      Delete
  12. Akui saja, wanita punya kesempatan yang sama untuk selingkuh kok. Sama seperti pria. Sangat naif kalau bilang wanita seharusnya tidak bisa selingkuh. Wanita seharusnya tidak "selingkuh karena yang bisa selingkuh itu hanya pria! Namanya juga manusia. Baik pria maupun wanita punya titik kelemahannya masing-masing. Siapapun kalau digoda terus-menerus dan mudah tergoda, ya gampang jatuh ke lubang perselingkuhan. Kalau tidak mudah tergoda, ya syukur Alhamdulillah."

    ---
    Setuju. Malah wanita cenderung lebih mudah terseret arus selingkuh sebenarnya karena sifatnya lebih emosional.

    Buat pria, untuk selingkuh dibutuhkan kesadaran penuh dan usaha lebih. Sementara wanita, kerapkali tidak sadar. Diberikan kenyamanan emosional oleh orang lain masih belum dianggap selingkuh, padahal ini awalnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sementara wanita, kerapkali tidak sadar. Diberikan kenyamanan emosional oleh orang lain masih belum dianggap selingkuh, padahal ini awalnya.

      Wah ini yang bahaya. Betul juga nih, Mas Arief. Aku kok langsung jadi ngeri sendiri ya? :|

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.