Konformitas dan Kepatuhan

*Tulisan ini adalah rangkuman berseri dari buku Social Psychology karangan David G. Myers. Untuk Bab 5 bisa dibaca di sini.
**Tulisan ini cukup panjang. Jika kalian lelah, ada baiknya beristirahat dulu baru nanti dilanjut lagi bacanya.

***

Chapter 6: Conformity and Obedience

What is Conformity?

Apakah konformitas itu baik atau buruk? Well, dia bisa saja baik (misalnya antri), tetapi bisa juga buruk (misalnya perilaku rasis). Namun, bisa juga ia tidak penting (misalnya memakai baju putih). Di budaya Barat, perilaku konformitas -- menyerah pada tekanan kelompok -- dianggap memiliki nilai negatif. Sementara di Timur, misalnya di Jepang, perilaku konformitas tidak menunjukkan sebuah kelemahan, melainkan sebuah sikap toleransi, kontrol diri, dan kedewasaan.



Pengertian konformitas adalah:

A change in behavior or belief as the result of real or imagined group pressure.

Tiga jenis konformitas, yaitu compliance, obedience, dan acceptance. Masing-masing definisinya adalah:

Compliance : Conformity that involves publicly acting in accord with an implied or explicit request while privately disagreeing.

Obedience : Acting in accord with a direct order or command.

Acceptance : Conformity that involves both acting and believing in accord with social pressure.

What Are the Classic Conformity and Obedience Studies?

Sherif’s Studies of Norm Formation

Muzafer Sherif (1935, 1937) ingin mengetahui apakah perilaku norma sosial bisa terjadi di dalam laboratorium. Untuk mengetahuinya, Sherif pun melakukan eksperimen.

Bayangkan dirimu sebagai partisipan dalam eksperimen Sherif. Di eksperimennya kamu duduk sendirian di ruangan gelap. Lima belas kaki di depanmu muncul setitik cahaya. Awalnya tidak terjadi apa-apa, tetapi berikutnya cahaya tersebut bergerak-gerak sampai akhirnya titik cahaya tersebut menghilang. Setelah itu, partisipan diminta untuk menebak seberapa jauh jaraknya. Karena tidak yakin, kamu menjawab enam inci. Kemudian, prosedur dilakukan kembali dan kali ini jawabannya sepuluh inci. Setelah penelitian direpetisi berkali-kali, rata-rata jawabannya sejauh delapan inci.

Di hari berikutnya kembali penelitian diadakan, tetapi kali ini kamu tidak sendirian. Terdapat dua partisipan yang lain sudah menunggu. Penelitiannya sama seperti kemarin, tetapi dua orang partisipan yang bersamamu jawabannya berbeda dengan jawabanmu. Partisipan pertama menjawab satu inci, partisipan kedua menjawab dua inci. Kamu kaget mendengar jawaban mereka, tetapi kamu tetap menjawab sesuai dengan jawabanmu pada hari sebelumnya, yaitu enam inci. Jika penelitian dilanjutkan lagi selama dua hari berturut-turut, akankah jawabanmu berubah? Jawabannya, iya. Dan jawabannya membentuk jawaban norma grup, yaitu dua inci. Padahal jawaban norma tersebut salah. Jawaban yang benar adalah cahaya tersebut tidak pernah bergerak. Sherif menggunakan fenomena yang disebut autokinetic phenomenon, yaitu the apparent movement of a stationary point of light in the dark.

Grafiknya bisa dilihat di bawah ini.


klik untuk memperbesar


Asch’s Studies of Group Pressure

Penelitian Solomon Asch ini terkenal banget. Termasuk penelitian yang legendaris. Saking legendarisnya, saya bisa menjelaskannya di luar kepala tanpa harus membaca jurnalnya atau buku. Mwahahaha... *tertawa pongah*

Penggemar: Ehm... Tapi, Kim... Penelitian legendaris, tapi belum pernah kamu bahas di blogmu ini kan?

Ehehehe. Mohon maaf ya kalau belum pernah saya bahas. Kita bahas singkat saja yuk.


klik gambar untuk memperbesar


Pada penelitian konformitas Asch ini partisipan di dalam kelompok diminta untuk menebak garis yang sesuai dengan contoh. Yang tidak partisipan ketahui adalah di dalam kelompok tersebut terdapat confederate yang tugasnya menjawab dengan salah. Hanya ada satu partisipan sungguhan, sementara yang lainnya adalah confederate. Karena para confederate sengaja menjawab dengan salah (memilih nomor 1 atau nomor 3), partisipan ini kaget dan tampak ragu-ragu untuk menjawab dengan benar. In the end, mereka mengikuti suara terbanyak meski itu jawaban yang salah. 

Milgram’s Obedience Experiments


Eksperimen Milgram ini juga termasuk eksperimen legendaris. Saya sudah pernah membahasnya panjang lebar di tulisan saya yang ini. Berhubung sudah pernah dibahas, panjang lebar pula, jadi saya tidak akan membahasnya lagi ya. Kalau teman-teman tertarik ingin tahu eksperimennya seperti apa, silakan untuk klik link tersebut.

Sebagai tambahan, apa yang menyebabkan kepatuhan membabi buta tersebut? Dari hasil eksperimen Milgram dapat memberikan jawaban, yaitu:
1. jarak "korban" atau learner dengan partisipan (the victim’s emotional distance);
2. jarak figur otoritas dengan partisipan dan legitimasinya (the authority’s closeness and legitimacy);
3. apakah figur otoritas berasal dari institusi yang ternama/bonafit atau tidak (whether or not the authority was part of a respected institution);
4. keberanian dari partisipan untuk melawan (the liberating effects of a disobedient fellow participant).

Di bawah ini adalah rangkuman dari tiga studi klasik mengenai kepatuhan:


klik gambar untuk memperbesar


What Predicts Conformity?

Apa yang bisa menyebabkan terjadinya konformitas? Peneliti menemukan bahwa konformitas terjadi jika partisipan merasa tidak kompeten atau penilaiannya susah. Semakin kita merasa tidak nyaman atau tidak yakin dengan penilaian kita sendiri, maka akan semakin mudah kita terpengaruh dengan orang lain. 

Atribusi kelompok juga penting. Tingkat konformitas sangat tinggi jika suatu kelompok terdiri dari tiga orang atau lebih yang memiliki satu suara alias semuanya sepakat, kohesif (sangat lekat keanggotaannya), dan status sosialnya tinggi. Konformitas juga hadir ketika jawaban atau respon kita diungkapkan di publik.

Cohesiveness : A “we feeling”; the extent to which members of a group are bound together, such as by attraction for one another.

Eksperimen konformitas ini setidaknya mengajarkan satu hal kepada kita, yaitu akan lebih mudah buat kita untuk berani bertindak melawan atau menjadi berbeda jika ada satu orang lain yang juga berani untuk bertindak. 

Why Conform?

Ada dua kemungkinan kenapa individu melakukan konformitas. Pertama, individu tersebut ingin diterima dan menghindari penolakan. Kedua, untuk mendapatkan informasi. Morton Deutsch dan Harold Gerard (1955) menyebut dua kemungkinan tersebut dengan normative influence dan informational influence.

Normative influence : Conformity based on a person’s desire to fulfill others’ expectations, often to gain acceptance.

Informational influence : Conformity occurring when people accept evidence about reality provided by other people.

Yang pertama berasal dari keinginan kita untuk disukai, sementara yang kedua berakar dari keinginan untuk merasa benar. Contoh untuk yang pertama sepertinya mudah ya. Contoh untuk yang kedua, misalnya kita diajak oleh teman kita untuk makan di satu restoran favoritnya. Kita menyetujuinya demi untuk mendapatkan informasi tempat restoran favorit teman kita.

Concern for social image produces normative influence. The desire to be correct produces informational influence.

Who Conforms?

Tiga hal yang dapat memprediksi apakah seseorang gampang atau tidak terkena pengaruh sosial adalah kepribadian (personality), budaya (culture), dan peran sosial (social roles). Mari kita membahasnya satu per satu.



Personality

Selama tahun 1960an akhir dan 1970an, peneliti melihat terdapat hubungan yang lemah antara karakteristik personal dan perilaku sosial, seperti konformitas. Dari eksperimen yang dilakukan oleh Asch dan Milgram, kita dapat menyimpulkan bahwa situation matters. Situasi itu penting juga dalam memengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Milgram (1974) bilang, "I am certain that there is a complex personality basis to obedience and disobedience. But I know we have not found it."

Di tahun 1980an fokus penelitian kepribadian dengan konformitas mulai berubah. Meski faktor internal (sikap dan traits) jarang secara tepat memprediksi aksi yang spesifik, tetapi mereka dapat memprediksi perilaku rata-rata seseorang di banyak macam situasi. (Epstein, 1980; Rushton & others, 1983). Dengan kata lain, dari prediksi perilaku rata-rata tersebut, kita dapat menyimpulkan apakah seseorang cenderung conformist atau tidak.

Kepribadian juga dapat memprediksi perilaku jika pengaruh sosialnya lemah. Bahkan mood yang berlangsung sementara pun turut berpengaruh. Mood yang positif, yang dapat menyebabkan lebih sering terjadinya proses informasi yang superfisial, cenderung untuk meningkatkan konformitas, sementara mood negatif menurunkan kemungkinan untuk konformitas (Tong & others, 2008).

Akan tetapi, situasi yang memiliki pengaruh kuat sekalipun, individu dapat berperilaku berbeda. Misalnya, sewaktu di penjara Abu Ghraib. Di saat banyak tentara lain yang menyiksa tawanan dengan cara tidak manusiawi, ada tiga orang yang berani berbeda. Mereka melaporkan perbuatan tersebut ke atasannya. Mereka mendapat ancaman pembunuhan, dibilang pengkhianat atau tukang ngadu, dan mendapatkan tekanan untuk menyiksa tawanan, tetapi mereka tetap pada pendiriannya. Ketiga orang tersebut adalah Lt. David Sutton, William Kimbro, dan Joseph Darby.

Culture

Apakah latar belakang budaya dapat membantu memprediksi seberapa kuat kemungkinan seseorang akan conform? Jawabannya, iya. James Whittaker dan Robert Meade (1967) mereplikasi eksperimen konformitas Asch di beberapa negara dan hasilnya serupa di negara seperti Lebanon (31%), Hong Kong (32%), dan Brazil (34%), tetapi 51% di suku Bantu di Zimbabwe, suku di mana terdapat sanksi yang keras jika tidak melakukan konformitas.

Social Roles

Bagi penganut teori peran (role theory), mereka berasumsi bahwa kehidupan sosial ini seperti memainkan peran di panggung teater, dengan segala adegan, topeng, dan naskahnya. Dan semua peran tersebut banyak memiliki kaitannya dengan konformitas. Peran sosial tersebut mengizinkan kita untuk berinterpretasi, tetapi terdapat aspek-aspek dari peran tersebut yang harus dimainkan. Misalnya, seorang siswa setidaknya harus datang ketika ujian (interpretasi tugas sebagai siswa), menyerahkan tugas (interpretasi peran atau tugas sebagai siswa), dan menjaga nilai minimum untuk pelajarannya (kewajiban bagi siswa).

Do We Ever Want to Be Different?

Apakah kita ingin menjadi berbeda? Apakah kita selalu bereaksi ingin melawan tekanan sosial? Apa yang menjadi motivasi untuk tidak melakukan konformitas? Kita bisa saja bergerak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut, jadi tidak melulu patuh pada tekanan yang dipaksakan kepada kita. 

Reactance

Individu sangat memegang teguh nilai kebebasan mereka dan self-efficacy mereka. Jika kebebasan mereka terancam, mereka cenderung melawan. 

Reactance : A motive to protect or restore one’s sense of freedom. Reactance arises when someone threatens our freedom of action.

Barangkali ini yang dimaksud dengan semakin dilarang, semakin melawan. 

Asserting Uniqueness

Coba bayangkan dunia dengan penuh konformitas, tidak ada perbedaan sama sekali. Kira-kira dunia bakal seru tidak?




Manusia cenderung merasa tidak nyaman jika terlalu berbeda dari orang lain, tetapi pada budaya individualis, seperti di Barat, terlalu sama dengan orang lain pun menimbulkan ketidaknyamanan. Manusia tetap ada kecenderungan ingin tampil berbeda. Kalau di tingkat ekstrem barangkali istilahnya antimainstream. 

Jadi, kesimpulannya adalah konformitas itu tidak selamanya buruk dan tidak selamanya juga baik. Ada saatnya diperlukan kapan kita conform dan kapan kita harus berani untuk stand up berani tampil beda. Pintar-pintar kita sajalah mengatur keseimbangan antara "saya", "kita", dan "kami". 

Akhirul kalam, seperti biasa semoga rangkuman ini bermanfaat untuk teman-teman semua. Dan sampai jumpa di bab berikutnya!

Daftar Pustaka:

Myers, D. G. (2010). Social psychology (10th ed.). New York: McGraw-Hill.

2 comments

  1. Makin menarik, Mbak Kimi. :D Riset soal konformitas itu mungkin bisa menjelaskan kenapa orang yang merantau cenderung rebel, ya? Terus pas pulang jadi banyak yang konformis lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ehm... Kenapa Bang Morish bisa berpendapat begitu?

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.