Teori-Teori Gender Bagian Pertama

Chapter 2: Theoretical Perspectives on Gender

Di bab kedua ini kita akan membahas teori-teori gender. Ada tujuh teori yang dipakai, yaitu teori Psikoanalisa, teori Belajar Sosial, teori Perkembangan Kognitif, teori Skema Gender, Psikologi Evolusi dan Sosiobiologi, teori Peran Sosial, dan teori-teori Feminis.

Banyak sekali ya teori yang dipakai, yang artinya tulisan kali ini akan sangat panjang jika semua teori dibahas di satu tulisan. Oleh karena itu, Bab 2 akan saya pecah menjadi tiga bagian. Tulisan pertama akan membahas teori Psikoanalisa, Belajar Sosial, dan Perkembangan Kognitif. Tulisan kedua membahas teori Skema Gender, Psikologi Evolusi dan Sosiobiologi. Terakhir, di tulisan ketiga akan membahas teori Peran Sosial dan teori-teori Feminis. 

Baiklah. Mari kita langsung mulai saja membahas teori yang pertama, yaitu Psikoanalisa.

1. Psychoanalytic Theory

Salah satu teori awal-awal yang membahas perbedaan antara wanita dan pria adalah teori Psikoanalisa, yang diformulasikan oleh Sigmund  Freud (1856 - 1939). Asumsi dasar dari Psikoanalisa adalah sikap dan perilaku manusia sebagian besar dipengaruhi oleh ketidaksadaran (unconscious).


Sigmund Freud
gambar dari sini


Salah satu kontribusi besar dari Freud adalah kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh lima tahun pertama dalam hidupnya. Sekarang kita akan membahas teori perkembangan psikoseksual dari Freud. 

FREUD'S THEORY OF PSYCHOSEXUAL DEVELOPMENT

Seperti yang sudah saya tulis di paragraf sebelumnya bahwa kepribadian manusia sangat dipengaruhi dalam lima tahun pertama hidupnya. Hal itu menunjukkan bahwa Freud melihat kepribadian manusia dewasa adalah sebuah produk dari pengalaman sebelumnya, dan Freud percaya pengalaman masa kecil adalah pengalaman yang sangat penting dalam hidup seseorang. 

Freud mengajukan teori perkembangan seksual ini yang mana setiap tahapannya akan fokus pada salah satu erogenous zones, yaitu bagian dari tubuh yang sensitif terhadap stimulasi seksual. Menurut Freud, anak perempuan dan laki-laki melalui masa-masa yang serupa di dua fase perkembangan psikoseksual (psychosexual development), yaitu oral dan anal. Namun, pada tahap yang ketiga, yaitu tahapan phallic, yang terjadi pada usia sekitar 3 hingga 6 tahun, perkembangan antara anak-anak wanita dan pria berbeda. 

Phallic stage: The third stage of development in psychoanalytic theory, around 3 to 6 years of age, during which, for boys, the pleasure zone is the penis and sexual feelings arise toward the mother and, for girls, sexual feelings arise toward the father.

Tahapan phallic adalah tahapan ketiga dari perkembangan psikoseksual, anak-anak pada usia sekitar 3 hingga 6 tahun muncul rasa ketertarikan seksual pada orangtua lawan jenis, misalnya anak laki-laki tertarik pada ibunya dan anak perempuan tertarik pada ayahnya. 

Pada tahapan ini, anak laki-laki mulai menaruh minat besar pada penisnya, yang mana menjadi sumber kesenangan. Pada tahapan ini pula mereka mengalami Oedipal Complex, yaitu muncul rasa tertarik secara seksual pada ibunya. Rasa keterikatan atau kemelekatan (attachment) pada ibunya sangat kuat. Saking kuatnya, timbul perasaan pada si anak ingin menyingkirkan ayahnya karena dia menganggap ayahnya adalah saingannya untuk mendapatkan kasih sayang ibunya. Namun, berhubung ayahnya adalah lawan yang kuat, si anak khawatir ayahnya akan mengebiri dirinya. Kekhawatiran ini dinamakan castration anxiety atau kecemasan kastrasi.

Kekhawatiran si anak sangat besar sehingga dia memutuskan untuk merepresi ketertarikan seksual pada ibunya dan membuat dirinya menjadi seperti ayahnya. Dalam prosesnya mengidentifikasi menjadi ayahnya, dia mengembangkan nilai-nilai dan etika sosial yang direpresentasikan oleh ayahnya sehingga dia mengembangkan superego

Superego: Freud’s term for the part of the personality that contains the person’s conscience.

Jika pada anak laki-laki terjadi Oedipal Complex, maka pada anak perempuan terjadi hal serupa, tetapi disebut dengan Electra Complex. Menurut Freud, hasrat pada anak perempuan ingin dihamili oleh ayahnya sendiri sangatlah besar.

Electra complex: In psychoanalytic theory, a girl’s sexual attraction to and intense love for her father.

Freud bilang resolusi Oedipal Complex pada anak laki-laki dengan mengatasi castration anxiety-nya sangat penting bagi perkembangannya sebagai bagian dari identitas gender dan superegonya. Sementara itu bagi anak perempuan, karena dia percaya bahwa dia sudah dikastrasi, motivasinya untuk mengatasi Electra Complex-nya tidak terlalu kuat. Freud berargumen karena anak perempuan tidak pernah selesai mengatasi Electra Complex-nya, maka ia tumbuh menjadi wanita yang lemah dan perkembangan superegonya tidak sempurna. Ia tumbuh menjadi seperti itu karena dia merasa lemah tidak memiliki penis atau yang biasa disebut dengan penis envy.

CRITICISMS OF FREUD'S PSYCHOANALYTIC THEORY

Banyak kritik berdatangan menyerang teori Freud ini. Dari sudut pandang saintifik, teori dari Freud tidak dapat dievaluasi dan dipertanggungjawabkan secara saintifik sehingga teori ini tidak akurat. Hal itu disebabkan karena Freud terlalu menitikberatkan pada unsconscious desires (hasrat ketidaksadaran) -- yang tidak bisa diobservasi secara langsung, diukur, atau diuji -- sehingga sulit untuk dibuktikan validitasnya. 

Kritik lain yang datang adalah Freud memformulasikan teorinya sebagian besar berasal dari pasiennya yang datang mencari terapi padanya. Secara khusus, teorinya mungkin berlaku pada wanita yang sakit, tetapi belum tentu berlaku pada wanita yang sehat secara psikologis. 

Banyak psikolog modern juga berargumen bahwa Freud juga terlalu fokus pada faktor biologis ketimbang faktor sosial atau budaya dalam membentuk perilaku. Para feminis juga menyerang teori Freud karena Freud yang menganggap bahwa klitoris dan vagina lebih inferior ketimbang penis. Sehingga, teori Freud juga disebut phallocentric

Phallocentric: Male centered or, specifically, penis centered.

Selain Freud, terdapat beberapa tokoh Psikoanalisa perempuan lain yang terkenal, seperti Karen Horney, Helene Deutsch, dan Nancy Chodorow.

a. KAREN HORNEY

Karen Horney (dibacanya Horn-eye) (1885 - 1952) awalnya menerima teori Freud secara utuh. Namun, lambat laun dia membentuk teorinya sendiri yang bertentangan dengan Freud. Ketidaksepakatannya dengan Freud terutama sekali pada kecemburuan pada penis yang membuat wanita menjadi faktor penting pada perkembangan wanita. Horney bilang justru faktor pentingnya adalah pria yang cemburu pada wanita, terutama pada potensi reproduksi wanita, yang disebutnya dengan womb envy

Womb envy: In Horney’s analytic theory, the man’s envy of the woman’s uterus and reproductive capacity.

b. HELENE DEUTSCH

Pada tahun 1944, Helene Deutsch (1884 - 1982) menerbitkan buku The Psychology of Women, sebagai sebuah usaha penting untuk menjelaskan dinamika psikologis wanita dari sudut pandang psikoanalisa. Deutsch melanjutkan tahapan perkembangan psikoseksual Freud, yang berakhir pada tahap phallic dan Electra Complex, yaitu ke tahapan prepuberty, remaja, dan dewasa. Menurut Deutsch, masa prepubertas itu penting karena pada periode ini adalah masa transisi dari seorang anak gadis menjadi seorang wanita. 

Deutsch melihat motherhood adalah fitur penting pada perkembangan psikologi wanita. Prepubertas dan masa remaja adalah masa mempersiapkan diri sebelum masuk ke masa motherhood. Deutsch percaya bahwa wanita sebaiknya mengembangkan "feminine core" pada kepribadiannya, dan itu termasuk traits narsistik, masochism, dan passivity

Masochism: The desire to experience pain.

c. NANCY CHODOROW

Nancy Chodorow menulis buku The Reproduction of Mothering yang mengintegrasikan Psikoanalisa dan pandangan feminisme. Chodorow berusaha menjawab pertanyaan, seperti: Kenapa wanita menjadi seorang ibu? Kenapa di semua budaya wanita yang sebagian besar mengasuh anak? Chodorow berteori bahwa karena pengasuhan anak sebagian besar diurus oleh wanita, maka anak perempuan dan anak laki-laki bertumbuh secara berbeda. Oleh karena itu, pengasuhan anak (mothering) menghasilkan anak perempuan yang ingin menjadi ibu, sementara anak laki-laki mendominasi dan merendahkan wanita.

Di dalam bukunya, Chodorow berargumen, hubungan yang intim dengan ibu memengaruhi sense of self dan sikap terhadap wanita. Baik anak perempuan dan anak laki-laki berekspektasi wanita akan terus peduli dan berkorban, dan hal tersebut selamanya memengaruhi sikap mereka terhadap wanita. Karena hubungannya yang sangat intens dan dekat dengan ibunya, anak perempuan akan melihat dirinya sebagai caregiver. Berbeda dengan anak laki-laki, pada awalnya hubungannya dengan ibunya sangat dekat, tetapi lama-kelamaan dia harus merepresi hubungan tersebut demi mengembangkan identitas maskulinitas. 

2. Social Learning Theory

Social Learning Theory -- atau yang saya terjemahkan secara semena-mena menjadi Teori Belajar Sosial -- adalah teori yang dirancang untuk menjelaskan proses perkembangan manusia (Bandura & Walters, 1963). Teori ini menekankan pada beberapa mekanisme kunci pada perkembangan, termasuk penguatan (reinforcement), hukuman (punishment), meniru (imitation), dan proses mengamati (observational learning). Sehingga, penjelasan mengapa anak perempuan dan laki-laki berbeda dalam perilaku karena mereka belajar bagaimana harus berperilaku berdasarkan gender mereka. 


Albert Bandura
gambar dari sini


Anak perempuan dan anak laki-laki bertingkah laku sesuai dengan gender karena mereka diberi penguatan atau hukuman. Mereka akan diberi penguatan atau reward jika mereka berperilaku sesuai gender dan diberi hukuman jika mereka tidak berbuat sesuai dengan gender mereka. Misalnya, anak perempuan akan dipuji jika mereka bermain make up, tetapi anak laki-laki akan dimarahi jika mereka memakai bedak atau lipstik.

Social Learning theory juga menekankan pada imitasi, atau modeling, dan observational learning. Pada imitasi, anak akan meniru perilaku. Sementara observational learning anak akan mengamati terlebih dahulu sebuah perilaku, lalu akan menirukannya di waktu lain. 

Modeling: Demonstrating gendered behavior for children; also refers to the child’s imitation of the behavior.

Observational learning: Observing someone doing something and then doing it at a later time.

COGNITIVE SOCIAL LEARNING THEORY

Para ahli teori social learning memasukkan juga faktor kognitif ke dalam teori sehingga lahirlah cognitive social learning theory atau social cognitive theory. Selain penguatan, hukuman, imitasi, ditambahkan pula proses kognitif, seperti attention, self-regulation, dan self-efficacy

Menurut teori ini, semakin anak berkembang, regulasi perilaku dalam diri mereka berubah dari yang tadi berasal dari luar, menjadi ke dalam diri mereka. Mereka menjadi memiliki standar yang terinternalisasi dan sanksi sendiri tanpa harus diberi penguatan dan hukuman dari luar.

As children learn to regulate themselves, they guide their own behavior (a process known as self-regulation), and as they learn the significance of gender, they monitor and regulate their own behavior according to internalized gender norms. 

Self-efficacy juga merupakan konsep penting dari teori ini. Self-efficacy adalah keyakinan diri kita akan kemampuan kita untuk mencapai sesuatu. Keyakinan efficacy ini berpengaruh pada gender juga. Misalnya, seorang anak remaja perempuan melihat banyak wanita berhasil menjadi seorang guru, maka self-efficacy pada dirinya untuk berhasil menjadi guru juga akan meningkat. Atau, sebaliknya, ketika mereka melihat sedikit sekali wanita yang menjadi pilot, maka self-efficacy mereka untuk menjadi pilot akan menurun dan mereka tidak akan yakin bisa menjadi pilot.

3. Cognitive-Developmental Theory

Menurut Jean Piaget dan Bärbel Inhelder yang mengetes inteligensi anak-anak, mereka yang menjawab pertanyaan dengan salah bukan berarti mereka bodoh, melainkan mereka memiliki pola pikir yang berbeda dibandingkan dengan orang dewasa. Piaget dan Inhelder menyadari bahwa organisasi kognitif pada anak-anak berubah secara sistematis seiring bertambahnya waktu. Menariknya, konsep gender dan identitas gender juga sejalan dengan perkembangan kognitif ini. 


Jean Piaget
gambar dari sini


Lawrence Kohlberg mengajukan teori bahwa gender constancy itu penting dalam perkembangan gender pada anak-anak. 

Gender constancy: The understanding that gender is a stable and consistent part of oneself.

Gender identity: The first stage of gender constancy development, in which children can identify and label their own gender and the gender of others.

Teori Perkembangan Kognitif melihat mempelajari peran gender sebagai salah satu aspek perkembangan kognitif. Seorang anak mempelajari sebuah set aturan terkait dengan apa yang pria dan wanita lakukan dan tidak lakukan. Pada teori ini, mempelajari peran gender bukan paksaan dari kekuatan luar, melainkan self-motivated dan merefleksikan engagement anak-anak pada lingkungan sosial mereka. 

The child essentially engages in self-socialization and self-selects the behaviors to be learned and performed on the basis of rules regarding the gender appropriateness of the behavior. 

Baiklah, teman-teman semuanya, sudah tiga teori yang saya paparkan di sini. Masih ada empat teori lainnya yang tidak kalah menarik, tapi sesuai perjanjian di atas, saya tidak akan membahas semuanya di sini. So, sampai jumpa di tulisan Teori-Teori Gender Bagian Kedua!

Tulisan sebelumnya:

Daftar Pustaka:

Else-Quest, N. M, & Hyde, J. S. (2018). The psychology of women and gender: Half the human experience (9th edition). United States of America: SAGE Publications, Inc. 

No comments

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.