Bangkit Lebih Kuat!

Menjadi atlet itu tidak mudah. Perlu berjuang berdarah-darah untuk ke sana. Latihan yang keras, persaingan yang ketat, dan jadwal kompetisi padat. Ditambah dengan tuntutan dari banyak pihak untuk jadi juara, ya dari pelatih, pengurus, keluarga, sampai warganet. Ketika menang disanjung-sanjung, tetapi ketika kalah ketikan warganet bisa pedas sekali melebihi pedas ayam geprek level sepuluh. 

Maka tidak heran jika Rinov Rivaldy--atlet bulu tangkis ganda campuran Indonesia, berpasangan dengan Pitha Haningtyas Mentari--sampai lepas kontrol ketika membalas salah satu komentar di Instagram. 




Saya mencoba memahami Rinov. Sebagai atlet pelatnas PBSI, dia dituntut berprestasi. Apalagi tuntutan kita harus memiliki penerus Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di sektor ganda campuran. Sayang, di beberapa kejuaraan terakhir memang tidak memuaskan buat Rinov. Saya membayangkan tertekannya Rinov. Betapa frustrasinya dia ingin jadi juara, tetapi hasil tidak sesuai dengan harapan. Yang sudah lama mengikuti bulu tangkis Indonesia, terutama perjalanan Rinov/Tari, pasti bisa mengerti bagaimana perjalanan karir mereka saat ini.

Lalu, dia bermain di perempat final Piala Sudirman 2023 berpasangan dengan Gloria Emanuelle Widjaja. Lawannya adalah Zheng Si Wei/Huang Ya Qiong dari China. Mereka ini pasangan nomor 1 dunia di sektor ganda campuran. Jelas bukan lawan mudah. 

Awalnya Rinov/Gloria bermain menjanjikan. Bisa menang di game pertama dengan skor 21-13 dan hampir menang di game kedua ketika skor sudah 19-14. Namun, Si Wei/Ya Qiong tidak menjadi ranking 1 dunia tanpa alasan. Ketenangan mereka menghadapi tekanan dan skor tertinggal sangat luar biasa. Mereka balik menekan dan mengejar. Game kedua berhasil mereka rebut 23-21. Game ketiga sudah pasti menjadi milik mereka karena mereka menjadi percaya diri dan menguasai permainan. 

Kekalahan ini pasti sangat menyakitkan buat Rinov/Gloria, apalagi di turnamen beregu prestisius seperti Piala Sudirman. Mereka sudah masuk ke lapangan dengan penuh percaya diri, sudah bermain sesuai taktik di game 1 dan setidaknya sampai akhir game 2, sudah jatuh bangun mengejar bola, tetapi rejeki memang belum menjadi milik mereka. 

Saya tahu banyak penggemar bulu tangkis yang kecewa karena saya salah satu di antaranya. Hanya saja alih-alih meluapkan kekecewaan sewajarnya, banyak warganet kita yang menyerang atlet secara personal. Marah secara berlebihan, menyudutkan, bahkan sampai memaki. Memang sudah menjadi tabiat sebagian besar warganet kita sepertinya. 

Sejujurnya, saya dulu pernah menjadi penggemar bulu tangkis yang toksik. Seperti yang pernah saya bilang di sini kalau saya bisa stres sampai marah-marah sendiri kalau pemain kita bermain jelek dan kalah. Rasa kesal itu pernah saya luapkan dalam bentuk twit marah-marah. Saya tahu saya salah dan saya mau minta maaf ke atletnya karena pernah marah-marah.

Setelah saya lebih banyak mengikuti akun-akun penggemar bulu tangkis, saya membaca twit-twit mereka bagaimana reaksi mereka terhadap kekalahan atlet-atlet kita dan twit mereka yang selalu mengingatkan untuk tidak menghujat atlet di saat kalah. Saya belajar banyak dari mereka. Sekarang setiap atlet kita kalah, saya tetap menulis twit kekecewaan, tetapi saya berusaha untuk tidak menulis kata-kata kasar apalagi sampai menghujat mereka. Karena saya tidak tahu apakah twit saya bisa sampai ke mereka atau tidak. Karena saya tahu ada sosok manusia di depan layar ponsel yang bisa membaca twit saya. Manusia itu bisa atletnya sendiri, bisa juga orang-orang terdekat si atlet. 

Sekarang seandainya saja kita mau mencoba untuk tenang sebentar sebelum jempol kita mengetik kata-kata kasar. Seandainya kita mau mencoba untuk membayangkan berada di posisi mereka yang bertanding. Mana ada sih atlet yang ingin kalah? Mereka bertanding untuk menang dan sudah berjuang mati-matian. Jika hasilnya tidak sesuai dengan harapan, percaya lah mereka lebih kecewa daripada kita.

Dan saya rasa kemarin adalah titik puncak Rinov menahan emosinya. Dia sedang terpuruk, lalu mendapat komentar jahat seperti itu. Dia meledak. Memang idealnya Rinov seharusnya bisa menahan emosi, tetapi Rinov juga seorang manusia. Apalagi setelah membaca pesan teks Rinov dengan mamanya, saya semakin memahami Rinov sedang tidak baik-baik saja sekarang. 




Bukan sekali dua kali kita melihat atlet terpuruk dan tertekan. Dulu Naomi Osaka, mantan petenis nomor 1 dunia dari Jepang, sempat menyatakan mundur dari tenis karena tidak tahan dengan tekanan yang dihadapinya. Gregoria Mariska Tunjung dulu sempat bilang ingin bisa lagi menemukan kebahagiaan dalam bulu tangkis. Anthony Sinisuka Ginting juga sempat berujar, "Kok gini ya, Mas, padahal saya sudah main maksimal?" Dan masih banyak contoh lainnya.

Kita sebagai penggemar cobalah untuk memahami posisi mereka. Jika mereka kalah, jangan dihujat. Beri mereka semangat dan kritikan yang membangun. Saya percaya sebenarnya mereka terbuka kok untuk menerima kritikan asalkan disampaikan dengan sopan. Jika kita tidak bisa memberikan kata-kata penyemangat untuk mereka, lebih baik kita diam saja. Ingat, ketikan-ketikan jahat dari jempol kita yang ditujukan untuk mereka bisa membuat kita kehilangan kesempatan melihat pemain bintang yang bersinar. Sebaliknya, jika kita memberikan komentar penyemangat, siapa tahu mereka bisa bangkit dan berprestasi. Siapa tahu lho... Tidak ada salahnya mencoba kan?

Untuk atletnya sendiri mungkin memang lebih baik akun media sosial mereka dipegang oleh admin. Atau jika memang masih mau dipegang sendiri, ketika akan fokus mengikuti kejuaraan lebih baik aplikasi media sosialnya dihapus dulu dari ponsel. Aplikasinya baru dipasang lagi kalau sudah selesai kejuaraan. Sebaiknya juga mereka tidak membaca berita kalau akan bertanding. Akan lebih baik kalau mereka juga memiliki psikolog olahraga untuk mendampingi mereka agar mereka bisa lebih fokus, percaya diri, memiliki mental baja dan daya juang tinggi, juga tahu bagaimana harus menghadapi komentar jahat warganet dan tekanan publik lainnya.

Untuk semua atlet yang sekarang sedang terpuruk, seandainya tulisan ini sampai di kalian: Tetap semangat ya! Ayo, bangkit untuk menjadi lebih kuat!

4 comments

  1. Sebenarnya yang bermasalah itu warganet/ netizen mahakuasa, mereka kadang seenak udele sih. Mungkin sy juga tapi karena sy gk begitu suka bultang.

    Tipe warganet +62 ini terlalu over praud, sehingga ketika kecewa ya berlebihan, hampir di semua cabor, mentalitiy warganet +62 tak lebih baik dari para atletnya, bahkan mereka lebih rendah sih mentalitiy nya.

    Jika ingin berpendapat memang lebih baik diblogger tapi bisa disampaikan dengan lengkap argumennya, sehingga bisa jadi diskusi yang asyik, kalau disosmed karena ruang terbatas malah terkesan adu bacot sj.

    Apa yang dibahas dipostingan ini memang reality banget sih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekarang ini memang lebih tenang kalau menulis di blog karena blog merupakan salah satu media sosial yang sudah tidak begitu populer lagi. Sepertinya orang-orang sudah malas membaca blog, apalagi menulis di blog. Yah, selama blognya tidak viral harusnya sih aman-aman saja ya menulis di blog. :D

      Delete
  2. Sering jengkel kalau ada netizen yang selalu menghujat atlet ketika atlet kalah. Mereka merasa perlu dan wajib menghujat kalau atlet bermain buruk. Tentu saja dengan kata-kata kasar.

    Semakin ke sini, abnyak akun--di twtter--yang memberi rispek kepada atlet yang mengalami kekalahan. Mereka memberikan semangat kepada atlet untuk fokus dan kembali bersemangat.

    Kalau di ig aku kurang tahu. Kurang mengikuti. Tapi netizen ig kalau kasih komentar emang suka bikin emosi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Katanya sih kalau yang komentar di IG, jempolnya lebih jahat lagi.

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.