Bintang Jatuh

Foto oleh 一 徐 dari Pexels 


Sami sedang duduk beralaskan rumput sambil mengelus-elus Bron, serigala abu-abu kesayangannya. Matanya sedang awas memandang langit malam itu yang bertabur bintang. "Ternyata menunggu bintang jatuh itu sulit ya, Bron," ujar Sami memecah keheningan. Bron yang sedang tiduran meringkuk di sebelah Sami membuka matanya. "Tapi, aku senang setiap malam menemanimu mencari bintang jatuh." Sami menatap Bron, "Terima kasih sudah selalu menemaniku, Bron. Tanpa kamu, setiap malamnya pasti akan terasa membosankan." Bron melanjutkan tidurnya dan Sami mengelus-elus Bron dengan matanya tetap mengawasi langit. 

Tiba-tiba cahaya keperakan berpendar di langit seperti melaju cepat ke arah utara. "Bron! Bron! Bangun! Sepertinya itu ada bintang jatuh! Ayo, kita kejar!" Sami segera bangkit dan berlari mengejar cahaya itu. Bron menyusul Sami dan dalam waktu singkat dia sudah jauh meninggalkan Sami. 

Napas Sami sudah terengah-engah. Sudah sepuluh menit dia berlari tanpa berhenti, tetapi cahaya itu semakin samar. Panduannya sekarang hanya mendengar teriakan dari Bron di depan sana. "Di sebelah sini, Sami! Aku melihat cahayanya ada di depan. Tidak jauh lagi. Ayo, Sami!" Sami berlari terus mengikuti suara Bron. 

Sami berhenti berlari ketika dia melihat Bron berdiri diam di satu titik dekat pohon besar dan berdaun lebat. Di dekat kaki Bron terlihat cahaya keperakan yang terus berpendar. Pelan-pelan Sami melangkah mendekat. Senyumnya mengembang. Diambilnya bintang jatuh itu yang kini ukurannya mengecil menjadi segenggam tangannya. Matanya bersinar memandang bintang jatuh itu. Seolah-olah cahaya keperakan dari bintang jatuh tersebut memantulkan cahayanya ke mata Sami. "Bintang jatuh ini akan menuntunku menuju rumah, Bron. Aku akan pulang." 

***

Perjalanan panjang Sami dan Bron menuju rumah tidaklah mudah. Bintang jatuh itu tidak bisa berbicara menunjukkan arah secara pasti. Sami hanya bisa merasakan ke mana kakinya harus melangkah setiap kali dia menggenggam erat bintang jatuhnya, yaitu ke Illepolis, sebuah kota kecil di sebelah tenggara kota ini, Ezlahville. Untuk ke sana perlu naik kapal laut selama dua hari ke Clegend dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar satu hari. Akan lebih cepat kalau naik kuda, tetapi sayang Sami tidak punya cukup uang untuk membeli hewan bersurai tersebut.

Sami dan Bron baru saja turun dari kapal. Pelayaran selama dua hari ini cukup baik. Cuaca cukup cerah. Hanya di tengah-tengah pelayaran saja cuaca tiba-tiba buruk, tetapi itu pun cuma sebentar. Mereka singgah sebentar ke sebuah kedai. Perut Sami keroncongan dan Bron perlu berburu sebentar di sekitar hutan dekat kedai. 

Setelah satu jam, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka terbiasa berjalan bersama dalam diam. Mereka menyadari cukup dengan kehadiran satu sama lain sudah cukup buat mereka. Baik Sami maupun Bron merasa mereka tidak perlu banyak bercakap-cakap. Mereka lebih memilih untuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Namun, Bron tiba-tiba bertanya, "Sami, bagaimana perasaanmu sebentar lagi akan pulang ke rumah setelah sepuluh tahun pergi demi mencari bintang jatuh?" Sami menghela nafas panjang. "Senang. Bahagia. Lega. Ah, pokoknya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kamu tahu aku sangat buruk dalam menjelaskan, Bron." "Iya, aku tahu. Tapi, dari nada suaramu aku bisa merasakan sangat besar rasa bahagiamu," ujar Bron. Sami hanya menjawab dengan senyum. 

***

Langit sudah semakin gelap. Bintang-bintang mulai bermunculan. Sami memandang bintang jatuh yang ada di tangannya. Cahaya keperakannya semakin berpendar terang seolah-seolah mengatakan tujuannya sudah semakin dekat. Sami dan Bron terus berjalan. Mereka sudah semakin dekat ke gerbang kota Illepolis.

Mata Sami terpaku ke satu perempuan berambut panjang kecoklatan yang baru keluar dari gerbang kota. Perempuan itu memakai baju terusan sepanjang lutut berwarna biru. Matanya yang berwarna hazel balas menatap Sami. Perempuan itu tersenyum lebar. Manis sekali. Perempuan itu berjalan mendekati Sami, sementara bintang jatuh di saku celananya terasa semakin hangat. Cahayanya menembus kain celana Sami. 

"Halo, Sami. Aku tahu kamu akan datang menepati janjimu. Apakah cahaya keperakan yang ada di saku celanamu itu adalah bintang jatuh yang kamu janjikan untukku?" suara lembut perempuan itu menyadarkan Sami dari lamunannya. "Hai, Alisa... Hai... Ah, iya. Ini bintang jatuhnya. Untuk kamu. Sesuai janjiku sepuluh tahun lalu. Bintang jatuh ini membawaku ke kamu. Ke rumahku. Kamu adalah rumahku." 

Bron yang merasa tugasnya telah usai meninggalkan Sami dan Alisa yang sekarang sedang bergandengan tangan menuju kota Illepolis. Dari jauh Bron masih bisa mendengar suara Alisa yang tertawa bahagia mendengar cerita perjalanan Sami, dengan tangannya yang tidak lepas menggenggam bintang jatuh dari Sami. 

p.s.: 
Saya harus berterima kasih kepada Nadin Amizah karena lagunya yang berjudul —star. lah yang menginspirasi saya menulis cerita fiksi singkat ini.


4 comments

  1. Mirip cerita stardust, despite that penulisannya BAGUS BANGET, buat buku kimiiii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aaaaa... Terima kasih tulisanku sudah dibilang bagus. Jadi pengen bikin buku, tapi masih malu dan gak pede.

      Delete
  2. Ooohhh rumahnya adalah si gadis bermata hazel. Penulisannya juga improved dari yang kemarin. Ayo semangat kimii... Nulis fiksi lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Lea. Ini lagi semangat nulis fiksi. Semoga bukan hangat-hangat tahi ayam. Hahaha.

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.