Pelajaran dari FC08

gambar diambil dari sini.

FC08. Sebuah tim futsal kampus. Tergabung didalamnya orang-orang yang tidak hanya jago bermain bola, melainkan juga terdiri dari orang-orang yang memiliki pribadi luar biasa. Maka jangan heran kalau saya seringkali menulis atau dalam tulisan saya ada embel-embel “FC08”. FC08 merupakan salah satu bagian penting dalam hidup saya. Semakin saya berada di dalamnya, semakin saya mencintai tim futsal itu.

Penggemar : “Cinta, Kim? Gak salah? Cinta dengan tim futsal kampus?”

Iya, kamu tidak salah. Saya cinta FC08 karena disanalah saya belajar banyak hal. Saya belajar bagaimana mengobati kekecewaan dan bangkit dari kekecewaan tersebut, saya belajar bagaimana menghargai uneg-uneg teman-teman saya yang agak berkeberatan mendengar saya terlalu berisik di pinggir lapangan ketika mereka sedang bermain, saya belajar untuk percaya kepada teman satu tim saya bahwa mereka bisa melindungi gawang saya dari incaran pemain lawan untuk dijebol, saya belajar untuk terus mengingatkan ke diri saya bahwa kemampuan saya bermain bola (well, menjaga gawang mungkin lebih tepatnya) belum apa-apa, dan… intinya berada di dalam lingkaran FC08 memberikan saya berbagai macam pengalaman yang dapat saya tarik insight-nya dan somehow mampu membuat saya menjadi manusia yang lebih baik.

Dan tadi malam setelah pertandingan eksibisi melawan tim dari Fakultas Hukum—dimana kami kalah 0-3—seperti biasa kami melakukan evaluasi. Pelatih memberikan evaluasi permainan kami. Di tengah-tengah evaluasi terkadang beliau menyelipkan motivasi untuk membangkitkan semangat kami. Kalau kata pelatih kami yang dulu, pelatih kami yang sekarang adalah seorang motivator yang hebat dan saya sangat setuju akan hal itu. Tidak hanya seorang motivator, beliau meniupkan aura keterbukaan di tim. Kami bebas mengeluarkan pendapat kami. Uneg-uneg apa saja yang mengganjal di hati kami silakan dibawa ke “forum FC08” dan beliau pasti menghargainya. Kalau ada pemain yang biasanya takut dengan pelatihnya sehingga tidak bisa mengeluarkan pendapatnya, maka tidak demikian dengan kami di FC08.

Dari situ kami belajar untuk saling terbuka satu sama lain. Apa yang mengganjal harus dikeluarkan, termasuk dalam permainan. Tidak jarang saya sering diingatkan harus bagaimana saat menjaga gawang saya dan saya menerimanya. Atau seperti yang telah saya sebutkan diatas, teguran dari teman saya menyadarkan saya bahwa selama ini saya terlalu berisik saat di pinggir lapangan sehingga mengganggu konsentrasi dia bermain. Tidak ada sakit hati. Tidak ada kata “tersinggung”. Bukankah tim yang kompak adalah tim yang saling terbuka satu sama lain dan saling mengingatkan?

gambar diambil dari sini.

Kembali ke evaluasi tadi malam. Pelatih menanyakan pendapat kami tentang eksibisi ini. Yah… Namanya juga eksibisi, tidak ada hadiah. Hanya bermain-main saja. Kalau kata Pelatih sih eksibisi ini “satu tingkat di atas sparing”. Tidak ada target harus selalu menang. Mungkin karena tidak ada hadiah itu dan tidak ada target menang, sebagian besar dari kami menganggapnya hanya bermain biasa. Bukan sebuah kompetisi. Dan saya percaya, pikiran tersebut mempengaruhi permainan kami. Semalam kami tidak bermain baik, bahkan saya cenderung melihatnya spiritless. Beda jika kami diberi tekanan bahwa kami harus menang, bermain bagus, dan berikan yang terbaik, maka hasilnya di lapangan kami akan bermain bagus. Percaya sama saya. ;)

Semalam sekali lagi saya belajar melalui FC08. Tim-tim yang diundang bermain di eksibisi adalah tim 4 besar di Olimpiade UI tahun lalu. Seharusnya, kata teman saya, dengan status sebagai juara Olimpiade tahun lalu kami bermain dengan serius dan kekuatan penuh. Bukannya bermain dengan formasi diacak dan tidak ada target apa-apa. Atau menurut teman saya yang lain, di eksibisi ini kami terlalu santai. Dan saya hanya mengangguk-angguk setuju saat Pelatih bilang, “Dengan kekalahan ini kita diingatkan bahwa tim kita belum ada apa-apanya. Jadi, jangan sombong karena kita sudah juara di Olimpiade dan Piastro. Justru dari sini kita belajar ternyata masih banyak yang harus kita benahi.”

Sebuah insight berhasil saya dapatkan malam tadi. Mengabaikan berbagai status juara yang telah kami raih, kami harus tetap berjalan dengan kepala menunduk dan rendah hati. Bukan dengan dada membusung dan kepala mendongak. Karena… hei, bukankah diatas langit masih ada langit?

p.s.: saya jadi semakin semangat latihan mengingat saya kalau main masih berantakan sana sini. Hahaha…


3 comments

  1. sudah boleh menjaga gawang lagi kim? Selamaattt :D

    ReplyDelete
  2. Wah iya, ternyata mbak Kimi dulu pemain futsal ya. Keren mbak.. 😃

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi. Iya, Mas. Lumayan jago lah mainnya. Halah.

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.