[Book] Agama Saya adalah Jurnalisme

Day 30. Post a Day 2011.

Judul: Agama Saya adalah Jurnalisme
Penulis: Andreas Harsono
Penerbit: Kanisius (Cetakan I, 2010)
Tebal: 268 halaman
ISBN: 978-979-21-2699-0

Buku ini adalah kumpulan dari tulisan-tulisan Andreas Harsono yang ada di blognya. Tadinya saya kira buku ini adalah buku khusus yang memang sengaja dibuat, bukan kumpulan tulisan dari blog. Ternyata perkiraan saya salah. Buku ini adalah sebuah antologi.

Jujur saja, entah kenapa saya tidak terlalu sreg dengan buku-buku yang merupakan kumpulan dari tulisan di blog. Kurang spesial jadinya karena sudah dimuat sebelumnya. Saya juga masih bisa membacanya langsung di blog yang bersangkutan. Tapi, khusus buku ini adalah sebuah pengecualian karena saya baru-baru ini saja mengikuti blognya Pak Harsono. Dengan kata lain, tulisan-tulisan yang dipilih masuk ke dalam bukunya ini belum pernah saya baca.

Antologi ini dibagi ke dalam empat bagian, yaitu (1) Laku wartawan; (2) Penulisan; (3) Dinamika Ruang Redaksi; dan (4) Peliputan. Tulisan-tulisan dimasukkan ke dalam bagian yang dianggap sesuai. Tapi, saya tidak peduli dengan pembagian ini. Karena bagi saya sama saja. Tulisan-tulisan lepas meskipun dipisahkan dan digabung dalam bagian-bagian, tetap saja lepas. Maksud saya, antara satu tulisan dengan tulisan lain tidak nyambung. Tapi yah... mungkin ini untuk mempermudah saja atau istilah keren dari saya kategorisasi. sengihnampakgigi

Karena ini antologi, isinya pun bermacam-macam. Ada cerita pengalamannya menerima beasiswa Nieman Fellowship dimana Bill Kovach menjadi kuratornya, ada tentang byline dan tagline (saya baru tahu harian kita tidak memakainya), ada tentang investigative reporting, dan masih banyak yang lain.

Untuk saya yang tidak begitu familiar dengan dunia jurnalisme, buku ini adalah langkah awal untuk saya mengerti jurnalisme. Saya jadi tahu menjadi wartawan itu tidak semudah mengikuti kontes idola-idolaan. Ada yang masih ingat acara mencari pembaca berita untuk program berita di salah satu stasiun televisi swasta kita?

Menjadi seorang jurnalis yang baik butuh waktu dan pembelajaran terus-menerus. Kalau boleh saya simpulkan dari buku ini, seorang jurnalis itu harus pintar, berwawasan luas, kritis, logis, dan harus banyak membaca. Intinya, menjadi jurnalis yang baik itu tidak mudah. Kalau menjadi jurnalis semudah mencari ratu kecantikan, tak heran mutu jurnalis di Indonesia kurang bagus.

Kita butuh jurnalisme yang bermutu. Kalau kata Bill Kovach, "Makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat." (hal. 10) Singkatnya, semakin baik jurnalisme, maka semakin baik pula kehidupan masyarakatnya. Lantas, bagaimana cara kita mendapatkan jurnalisme yang bermutu? Ya, dari jurnalis-jurnalis yang bermutu. Memang dari mana lagi?

Untuk itu ada sembilan elemen jurnalisme yang perlu dipelajari dan didalami juga diimplementasikan oleh jurnalis mana saja. Kovach beserta rekannya, Tom Rosenstiel, yang mencetuskan sembilan elemen jurnalisme dalam buku mereka berjudul The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (hal. 15). Kesembilan elemen itu adalah:
  1. kebenaran
  2. tanggung jawab
  3. verifikasi
  4. independen
  5. memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas
  6. jurnalisme sebagai forum publik
  7. jurnalisme harus memikat sekaligus relevan
  8. wajib bagi wartawan menjadikan berita proporsional dan komprehensif
  9. etika dan tanggung jawab sosial
Kalau teman-teman mau tahu lebih banyak tentang sembilan elemen jurnalisme ini silakan baca buku Kovach dan Rosenstiel ini saya sendiri belum baca. Atau, kalau mau ringkasannya saja ya monggo bukunya Pak Harsono ini dibaca. sengihnampakgigi

Setelah membaca buku ini, saya semakin menghargai profesi jurnalis. Menjadi jurnalis yang baik dan independen itu tidak mudah. Sulit melepaskan diri dari amplop, bias kepentingan, dan lain-lain. Saya pribadi, sebagai bagian dari masyarakat, semakin berharap semoga saja jurnalisme di Indonesia akan semakin berkualitas. Karena seperti yang sudah ditulis di atas

"Makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat." (Bill Kovach)

Skala 1 - 5, saya beri nilai 4 untuk Agama Saya adalah Jurnalisme. Nilai 5 kalau saja dia bukan antologi dari tulisan-tulisan Pak Harsono di blog.

13 comments

  1. karena berupa antologi dari tulisan2 sebelumnya di blog, berarti saya gak perlu dong ya beli bukunya?! heheheh

    ReplyDelete
  2. Kalo udah ngikutin blognya dari lama dan udah baca2 juga, ya... gak perlu sih. Tapi, klo mau koleksi ya sah-sah saja. :D

    ReplyDelete
  3. kalo kumpulan tulisan dari blog yang diperluas lagi isinya dan bahasannya menarik layak banget dikoleksi ya kim :D

    ReplyDelete
  4. kalo kumpulan tulisan dari blog yang diperluas lagi isinya dan bahasannya menarik layak banget dikoleksi ya kim :D

    ReplyDelete
  5. masuk akal juga.... rugi dong produsernya (penerbit maksudny)

    ReplyDelete
  6. maksunya, agama jurnalisme? masih ga ngerti

    ReplyDelete
  7. Iya, menarik banget. Apalagi kalo tulisannya belum dibaca di blognya. :D

    ReplyDelete
  8. Well, ini hanya sekedar judul buku yang dipilih oleh Pak Andreas Harsono. Berawal dari wawancara terhadapnya dan ada yang menuliskan hasil wawancara tersebut di koran dan diberi judul "Agama saya adalah jurnalisme", mengutip dari jawaban yg diberi Pak Harsono pada saat wawancara.

    Pak Harsono mengakui sebenarnya kalimat tersebut aslinya dari Bill Kovach. Bill Kovach bilang, “Journalism is the closest thing I have to a religion, because I believe deeply in the role and responsibility the journalists have to the people of a self-governing community.”

    Kalau mau lebih jelas, baca saja bukunya ya.

    ReplyDelete
  9. Yang tentang byline dan tagline, Andreas Harsono juga pernah menyebutnya di buku "Jurnalisme Sastrawi" terbitan Pantau. Katanya, jurnalisme di negara kita tak sebaik seperti di Thailand. Sulit membedakan pada wartawan kita apakah orang kreatif, atau hanya sekedar kuli saja. Mengapa? Karena tak ada pembatas jelas atau tercampur aduknya muatan editorial dengan advertising (iklan) dalam media kita.

    Saya pernah lihat buku yang direview Mbak Kimi ini di Gramedia, hanya belum kesampaian untuk membelinya hingga sekarang. Saya rasa dengan baca ini sudah lebih dari cukup sehingga tidak harus membelinya. He He.

    Terima kasih, reviewnya, Mbak Kimi. :)

    ReplyDelete
  10. Artikel yang menarik..
    Salam dari sahabat di Jogja...^_^

    Universitas Islam Indonesia
    http://uii.ac.id/

    ReplyDelete
  11. Beli di mana kak? Saya direkomen buku ini sama senior di SUMA tapi nggak tau dimana belinya.

    ReplyDelete
  12. Aku belinya di TM Book Store Depok. Coba aja cari di sana. Siapa tahu masih ada.

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.