Kul-Twit

Day 19. Post a Day 2011.

Kalian pengguna Twitter? Sama dong, saya juga, meskipun tidak terlalu aktif nge-tweet sih. Jumlah tweets saya pun masih berkisar 4500-an, itupun dipotong sama Twitter dan tweets saya sekarang (saat saya menulis ini) tinggal 555 tweets. Ajaib.

Eh iya, bahasa Indonesia untuk tweet apa? Bercicit? Berkicau? Kalau saya lihat di kamus sih bercicit atau mencicit. Tapi, kok sepertinya lebih cocok berkicau ya? Ya entahlah. Saya bukan pakar bahasa. sengihnampakgigi

Nah, berbicara soal Twitter pasti tidak jauh dari urusan mem-follow. Biasanya saya mem-follow orang-orang yang saya anggap bisa memberikan saya banyak informasi dan saya pun jadi pintar karenanya. Haha... Seandainya jadi pintar itu semudah mem-follow orang di Twitter ya. ihikhik

Orang-orang pintar yang saya follow ini biasanya memberikan kul-twit di Twitter. Tahu kan kul-twit? Kuliah twit? Tweet-nya diindonesiakan jadi twit. Hihi... Kok jadi lucu ya? Well anyway, kul-twit ini semacam tweets serial yang dikicaukan oleh si pemilik akun Twitter dan membahas topik tertentu. Misalnya, topik Perang Dunia, puasa, kanker paru-paru, atau yang lainnya.

Awalnya sih saya senang-senang saja mengikuti kul-twit ini, tapi lama-lama kok ya kurang sreg di hati. Yang membuat kurang sreg itu ya Twitter kan hanya terbatas 140 karakter, pasti untuk meng-tweet serial begitu butuh penjelasan yang panjang dong dan 140 karakter itu tidak cukup. Maksud saya, satu tweet dengan 140 karakter menulis tentang puasa (contohnya) dan harus disingkat-singkat pula biar karakternya cukup. Memang sih bisa dilanjutkan dengan tweets berikutnya, tapi... apa itu cukup? Apa dengan 140 karakter itu bisa menjelaskan satu tweet yang telah dia kicaukan? Apakah satu tweet itu sesuai dengan maksudnya? Kan ada saja kemungkinan terjadi orang yang membacanya salah paham atas tweet tersebut.

Itu alasan pertama.

Alasan kedua, saya kan tidak buka Twitter 24 jam. Saya mana tahu kapan saja orang-orang akan memberikan kul-twitnya. Jadinya, saya lebih sering tidak mengikuti kul-twitnya deh. Bisa sih saya membacanya di garis masa (maksudnya timeline. Hihi...) si pemberi kul-twit. Kalau saya ketinggalan sejam sih masih mending, masih bisa dibaca. Lah tapi kalau saya ketinggalannya 7 jam atau 24 jam sudah pasti tweets-nya dia tenggelam ke dasar dan makin susah untuk dicari.

Saya pun jadi bertanya-tanya orang-orang yang suka memberikan kul-twit ini kenapa tidak menuliskannya di blog saja sih?

Kalau di blog kan enak, bisa menulis sepanjang apapun yang kita mau (itupun kalau pembacanya tidak menjadi bosan), dan tidak perlu menyingkat kata untuk menghemat karakter huruf. Orang yang membacanya pun menjadi lebih jelas. Kalau pun kurang jelas bisa bertanya lewat kolom komentar kan? Dan menjawab pertanyaan pun bisa lebih leluasa tanpa harus terbatas 140 karakter. Jadi, bisa lebih jelas juga jawaban yang diberikan.

Kalau di Twitter? Sejauh pengamatan saya, misalnya si X memberikan kul-twit lantas ada yang mention dia terus dijawab mention-nya terus dan terus lantas kemudian jadilah ajang diskusi. Tapi mungkin karena keterbatasan tempat *halah* jadinya ada yang merasa jawabannya kurang jelas lah, ini lah, itu lah. Dan saya tidak mengerti orang-orang yang menjadikan Twitter sebagai tempat diskusi. Masih mending diskusi di Plurk deh. Buat lah satu thread untuk diskusi di Plurk dan orang-orang akan membalasnya di thread tersebut. Bukan dengan mention dibalas dengan mention lantas tenggelam, tenggelam, dan makin tenggelam ke dasar timeline dan akhirnya pun susah dicari.

Kalau di blog kan mudah saja mencari tulisan kan? Ataupun misalnya tulisannya setahun yang lalu atau tiga tahun lalu masih bisa dicari kok. Cari saja di arsip tulisan blognya. Biasanya narablog ini memasang widget arsip blog di sidebar blognya. Komentar-komentar yang masuk pun tidak berserakan. Lebih rapi dan dibacanya pun enak dan jelas.

Penggemar: Tapi, Kim, kalau nge-tweet itu kan singkat. Gak butuh waktu lama. Kalau ngeblog kan lamaaa... Terus ribet pula. Lebih mudah nge-tweet ah kalau menurut gue. Lebih praktis.

Begini... Kalau si pemberi kul-twit ini ketika "jam kuliah"-nya berlangsung tidak membutuhkan atau tidak membaca referensi dalam rangka kul-twitnya, iya deh saya setuju nge-tweet itu lebih mudah dan lebih praktis. Tapi, apa iya mereka tidak memerlukan referensi ketika memberikan kul-twitnya?

Saya sih berpikirnya begini... Si pemberi kul-twit ini pasti sambil baca-baca referensi terkait tweets serialnya ketika "kuliah" berlangsung. Bolak-balik halaman buku, searching di internet, kemudian meng-tweet-kannya. Nah, kenapa tidak sekalian saja ditulis di dalam blog? Sama-sama butuh referensi, sama-sama butuh waktu (memangnya baca referensi itu tidak membutuhkan waktu? intinya sama-sama lama deh), tapi menulis di blog jauh lebih jelas dan bisa meminimalisir salah paham akibat keterbatasan dari 140 karakter.

Penggemar: Tapi, Kim, ada kok tweeps yang memberikan kul-twit yang setelah "kuliah" mengumpulkan tweets-nya itu dan menuliskannya kembali di blog.

Hihihi... Kalau begitu mah namanya kerja dua kali dan lebih banyak memakan waktu. Memangnya meng-copy paste tidak butuh waktu apa? Apalagi kalau tweets serialnya banyak. Ya, kecuali ada software khusus atau ada trik tersendiri yang bisa memindahkan tweets ke dalam blog tanpa harus capek-capek copy paste. Meskipun begitu, tetap saja menurut saya sih itu kurang kerjaan namanya. Ya sekalian saja dari awal menulis di blog. Tidak usah memberikan kul-twit deh kalau pada akhirnya mau dipindahkan ke blog juga. ihikhik

Belum lagi kalau misalnya ada yang minta untuk kul-twit dengan topik tertentu. Misalnya nih ya, "Mbak Kimi, saya request Mbak ngetweet membahas soal futsal dong!" Dan saya dengan arogannya menjawab, "Soal futsal ini sudah saya tweet-kan beberapa waktu yang lalu. Silakan baca saja di timeline saya." lalalalala... Dan si peminta topik itu pun hanya bisa kesal dalam hati. dudududu... Si peminta topik pun berkata dalam hati, "Mau cari dimana gue? Timeline lo udah kepenuhan! Kebanyakan ngetweet sih lo. Capek carinya tahu!"

Jadi, kesimpulan tulisan ini apa? Kesimpulannya Twitter itu menyenangkan kok (meski saya lebih memilih Plurk daripada Twitter). Di Twitter informasi bergerak dengan sangat cepat dan di Twitter pula saya sering kali mendapat isu-isu underground (ini istilah asal-asalan saya! Haha...) *halah* alias isu yang tidak dibahas di koran-koran atau di televisi. Tapi, kalau Twitter dijadikan alat untuk ceramah, diskusi, atau kuliah-kuliahan membahas topik tertentu (apalagi kalau topiknya sensitif, seperti anggota-anggota badan yang sensitif. *eh*)... Ehm... I don't think so.

7 comments

  1. mantap istilahnya, mbak..... tapi saya sependapat sama anda. kenapa yah orang-orang jarang banget nge-blog? Padahal kan ngeblog lebih asik ketimbang nge-tweet? Lebih bebas. hehehe

    ReplyDelete
  2. Ini topik yang sama dengan yang diomongin di blognya Geddoe kemarin. :P *eh jangan2 mbaknya baca juga ya?*

    Saya sendiri juga bingung kenapa orang mau nulis panjang-lebar di kultwit. Sebab, ya, seperti yang sudah ditulis di atas. Di samping ga efisien juga susah nyarinya kalau sudah lewat lama. Kalau blog minimal sistem arsip dan search-nya lebih memadai lah IMHO. Tambah lagi juga di-index oleh google.


    Walaupun saya bisa memahami bahwa (mungkin) naratwit ingin mencapai audiens lebih luas. Twitter kan kesannya sarana gaul, jadi mungkin berharap suaranya didengar lewat situ.

    ReplyDelete
  3. mungkin kalau kultwit followers "dipaksa" membaca info yang disajikan, pasti ada pendengar. Nah, kalau ditulis di blog lalu menyajikan link belum tentu semua mau mengklik link tsb.
    Aku pribadi sih kurang suka kultwit, kecuali yang topiknya menarik, lucu dan durasinya tidak terlalu panjang. Pegel juga satu halaman isinya dia-dia melulu :D

    ReplyDelete
  4. Entahlah. Yah... Setiap orang kan punya seleranya masing-masing. :D

    ReplyDelete
  5. Wah... Saya malah sudah lama banget gak baca blognya Geddoe. Setauku blognya diprivate. Atau dia sudah punya blog baru? Yah, intinya saya gak baca deh tulisan dia yang topiknya sama dengan tulisan saya yang ini. Hehehe... :D

    ReplyDelete
  6. nge-twit atau meracau (istilah saya pribadi) sudah menjadi sarana multimedia; apapun bisa menjadikan twitter sebagai 'jembatannya'...Kimi bisa saja setelah beres buat artikel langsung share ke twitter. Saya sih melakukannya...dan efeknya? ...alhamdulillah sepi2 saja blog saya =)) *Melucu

    ReplyDelete
  7. Hmmm.. aku juaraaang bgt kultwit :D
    twitter buat seru2an ajah :D hahhaa

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.