Letter #6: [Book] Eating Animals

Day 37. Post a Day 2011.

Tuhan,

Saya ingin curhat. Mudah-mudahan Engkau sudi ya meluangkan waktu sebentar dan membaca surat ini? Semoga.

Beberapa hari yang lalu saya menamatkan membaca buku Eating Animals karya Jonathan Safran Foer. Bagi saya bukunya menyeramkan. Tidak kalah seram dengan film-film seram yang pernah saya tonton.




Eating Animals adalah buku nonfiksi. Kalau kata Foer sendiri proses pembuatan buku ini butuh waktu sekitar tiga tahun untuk risetnya sendiri. Semacam buku investigasi mungkin? Mungkin saja ya.

Nonfiksi tentang apa? Ehm... Nonfiksi tentang hewan. Bagaimana perjalanan hewan-hewan yang dagingnya biasa kami--manusia--makan. Mulai dari peternakan, rumah jagal, hingga tersaji di atas piring kami.

Menyeramkan, Tuhan. Sungguh.

Sebagian besar pejantan ayam petelur dimusnahkan dengan cara disedot melalui serangkaian pipa ke satu lempengan beraliran listrik. Anak ayam petelur lain dimusnahkan dengan cara lain, dan mustahil menyebut mereka lebih atau kurang beruntung. Sebagian dimasukkan ke dalam wadah-wadah plastik besar. Yang lemah terinjak-injak di bawah dan mati kehabisan napas, pelan-pelan. Yang kuat mati kehabisan nafas pelan-pelan di atas. Yang lain dimasukkan, hidup-hidup ke maserator (bayangkan blender diisi anak ayam). (halaman 47)

Kan, saya bilang juga apa. Menyeramkan. Itu baru satu contoh. Masih banyak yang lain.

Sebagaimana di pabrik jenis apapun, keseragaman sangat penting. Anak-anak babi yang tidak tumbuh cukup cepat dianggap pemborosan dan tidak punya tempat di peternakan. Kaki mereka digenggam lalu mereka dibanting--kepala duluan--ke lantai beton. Praktik umum ini disebut "thumping". "Kami lakukan 'thumping' sampai 120 kali sehari," kata seorang pekerja dari satu peternakan Missouri. (halaman 181)

Saya jadi bertanya-tanya sendiri dimana sih letak hati nurani para peternak hewan itu? Kok ya tega sekali menyiksa hewan-hewan demi mengejar keuntungan pribadi. Hewan-hewan ternak (sapi, ayam, babi, dan lainnya) dimasukkan berjejal-jejalan ke dalam ruangan sempit dan tidak bercahaya. Semakin banyak hewan, semakin bagus. Itu pertanda semakin banyak daging yang bisa dijual dan berarti keuntungan semakin besar.

Hewan-hewan ini tidak dibiarkan keluar dari kandangnya. Mereka terus terkurung di dalam ruangan hingga waktunya nanti mereka disembelih. Mereka buang kotoran di situ, menginjak tahinya sendiri, tidak bisa bergerak dengan bebas. Jadi, jangan salahkan mereka kalau mereka sebenarnya hewan berpenyakitan. Lha wong, mereka hidup dengan kotoran mereka sendiri di kandangnya. Terbayang tidak, ada berapa kuman penyakit mengancam hewan-hewan ternak tersebut? Yang parahnya, hewan-hewan ini kami yang makan, Tuhan.

Serangkaian antibiotika, hormon, dan obat-obatan lain dalam pakan babi akan menjaga sebagian besar di antara mereka tetap hidup sampai waktu disembelih, meski kondisinya buruk. Obat-obatan itu paling diperlukan untuk melawan masalah pernafasan yang marak di peternakan pabrik babi. Kandang yang lembab, hewan berdesak-desakkan dengan sistem kekebalan yang dilemahkan stres, dan gas beracun dari tumpukan tahi dan kumpulan air kencing membuat masalah itu praktis tak dapat dihindari... (halaman 182)

Saya yang membacanya saja jadi ikutan stres, apalagi hewan-hewan itu ya? Lantas, Froer kembali melanjutkan masih di halaman yang sama:

Dalam dunia peternakan pabrik, harapan dijungkirbalikkan. Dokter hewan bukan bekerja untuk mencapai kesehatan optimal, melainkan keuntungan optimal. Obat bukan untuk menyembuhkan penyakit, melainkan pengganti sistem kekebalan yang rusak. Peternak tidak berupaya menghasilkan hewan sehat. (halaman 182)

Saya jadi semakin takut.

Tapi, setidaknya ada secercah harapan. Menurut Foer, masih ada beberapa peternakan yang masih bertahan dengan konsep peternakan tradisional. Hewan-hewan dibiarkan keluar dari kandangnya, menghirup udara bebas, diberi makanan yang layak. Hewan-hewan yang ada dibatasi sebatas kemampuan peternakan merawatnya, tidak boleh lebih, meskipun permintaan daging ke peternakan-peternakan ini sangat tinggi. Harga dagingnya memang jadi lebih mahal, tapi konsumen tidak peduli. Mereka percaya daging-daging yang berasal dari peternakan tradisional jauh lebih sehat daripada daging dari peternakan pabrik. Sayangnya, masih sedikit peternakan yang beroperasi dengan sistem ini. Kebanyakan sekarang adalah peternakan pabrik yang sudah saya baca seperti apa kekejamannya.

Iya, buku ini hanya membahas peternakan di Amerika Serikat. Ia tidak mengupas peternakan di Indonesia. Saya juga tidak tahu bagaimana peternakan di Indonesia sesungguhnya. Cuma setidaknya buku ini memberikan gambaran kepada saya bagaimana kehidupan peternakan sesungguhnya.

Jadinya kesan saya setelah membaca buku ini: saya ingin jadi vegetarian saja. Ya ya, saya tahu itu terlampau ekstrem. Kan itu kesan setelah membaca. Tidak mungkin pula saya menjadi vegetarian dalam waktu semalam. Toh, saya juga kurang tahu pola makan vegetarian itu seperti apa. Saya masih harus banyak tanya dan riset kalau ingin jadi vegetarian. Tapi, paling tidak yang bisa saya lakukan adalah mulai sekarang mengurangi makan daging.

Sekian surat curhat saya untuk hari ini, Tuhan. Semoga keadaan semuanya menjadi lebih baik ya. Terima kasih sudah membaca surat saya, Tuhan. senyum

p.s.:

Judul: Eating Animals
Pengarang: Jonathan Safran Foer
Penerjemah: Zia Anshor
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (Cetakan I, 2010)
Tebal: x + 318 halaman
ISBN: 978-979-22-6328-2
Harga: Rp 60.000,00

4 comments

  1. kalo di indonesia mungkin engga sekajam itu lagian lahan masih terbuka lebar. kalo saya lihat langsug ke perternakan hewan di tempat tinggal saya masih tradisonal semua.

    mungkin hewan pabrikan di luar sana bisa jadi karena kebanyakan tempatnya sempit

    ReplyDelete
  2. seram... hewan itu diternakan, seandainya "gagal" menghasilkan toh bisa dijual murah, tdk perlu dibunuh dgn kejam

    ReplyDelete
  3. kenyataannya itu lah yang terjadi. menyeramkan memang... :(

    ReplyDelete
  4. Salah satu kuliah saya berhubungan dengan makanan dan saya juga terngeri-ngeri sendiri. Waktu itu bahasannya soal tanaman, dari mulai paparan pestisida sampai GMO crops. Saya sampe sempet stress dan bertanya-tanya apakah makanan saya (yang 70% berupa sayuran) benar-benar sehat, layak makan, dsb.

    Kalau yang soal hewan-hewan itu, peternakan di USA atau beberapa negara Eropa macam Prancis punya banyak yang begitu. Tapi, ga semuanya begitu. Masih ada peternakan konvensional. Selain itu sekarang ini banyak movement terkait dengan food culture kok. Jadi, ada harapan untuk ga takut :-)

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.