Hidup Jujur

Suatu hari saya pergi ke ATM salah satu bank. Waktu itu saya butuh uang buat beli Snackit Pia 100. Eh, nggak ding. Di dompet saya waktu itu lagi kosong. Kata orang, dompet yang tidak ada isi (uang) itu tidak baik. Pamali. Ya sudah, maka pergilah saya ke ATM dan ambil Rp 100ribu saja.

Anehnya, uang yang keluar dari ATM bukan Rp 100ribu, melainkan Rp 200ribu. Saya hitung berkali-kali, tapi tetap ada dua lembar seratus ribuan, bukannya satu. Saya antara senang, takut, dan bingung. Senang karena itu artinya saya dapat rejeki lebih, takut karena takut ketahuan orang lain saya dapat uang lebih dari ATM, dan bingung karena uangnya perlu saya kembalikan atau tidak ke bank. 

Sepanjang perjalanan dari ATM ke rumah, saya berdebat dengan diri saya sendiri. Antara tidak rela mau mengembalikan uang Rp 100ribu dan nilai kejujuran yang selama ini ditanamkan ke dalam diri saya oleh orangtua saya. Buat pengangguran terdidik macam saya *ngok* uang Rp 100ribu nilainya besar. Bisa saya pakai buat beli buku. Toh, tidak ada orang lain yang tahu ini. Eh, tapi tadi di ATM ada CCTV-nya nggak ya? 

Sementara itu, sisi baik dalam diri saya protes. Mari kita namai "sisi baik" saya itu "Angel". *tsaaah*. Jadi, Angel ini bilang ke saya harusnya saya ini malu dengan diri sendiri. Selama ini saya berkoar-koar harus hidup jujur lah, mencemooh para koruptor yang keparat itu lah, ini dan itu, tapi baru dikasih godaan sedikit saja sudah mau menggadaikan nilai kejujuran yang saya anut selama ini. Bagaimana nanti kalau ada uang sebanyak ratusan juta hingga miliaran rupiah dilempar di hadapan saya, tapi saya harus berbuat curang demi mendapatkan uang tersebut? Entah itu menyunat dana pendidikan, uang untuk pengadaan alat kesehatan, atau saya harus memasukkan anak seorang relasi menjadi pegawai. Mungkin juga demi uang sebanyak itu, saya menjadi calo anggaran di DPR.

Maka Angel bertanya ke saya apa saya tidak malu? Hanya pandai berkata-kata, tapi tidak sesungguhnya saya meresapi nilai-nilai kejujuran itu dalam kehidupan saya? Dan, saya jadi malu.

Dengan timbulnya rasa malu itu apa lantas saya serta merta langsung memutar arah ke jalan menuju bank dan bukan pulang ke rumah? Tidak. Kenyataannya saya tetap pulang ke rumah.

Saya tahu kalau saya hanya diam dan tidak bercerita dengan orang lain, maka saya akan ditelan oleh nafsu saya. Saya akan kalah dan uang itu akan saya pakai. Tidak peduli dosa. Tidak peduli malu. Tidak peduli menjadi munafik. Maka sesampainya di rumah saya langsung cerita kejadian tadi ke ayah saya. Ayah saya dengan tegas meminta saya untuk mengembalikan uang tersebut. 

Mendapat penguatan seperti itu membuat hati saya mantap dan tidak bingung lagi. Saya memang harus mengembalikan uang itu ke bank. Bukan soal nominal uangnya yang bagi kalian mungkin kecil, tapi demi harga diri saya. Saya tidak mau harga diri saya tercoreng karena mengambil uang yang bukan hak saya, baik itu Rp 500 maupun Rp 500juta. Maling tetap namanya maling. Curang tetap namanya curang. Korupsi tetap namanya korupsi. Mau dibalut dengan bungkus seindah apapun, kalau isinya buruk ya tetap saja buruk.

Kejujuran itu dilatih dari kecil, dimulai dari kita sendiri. Kejujuran itu harus dibiasakan, seperti yang Aristoteles bilang. Untuk menjadi manusia berkeutamaan, menjadi manusia etis, yang mempunyai nilai-nilai moral, seperti kejujuran dan yang lainnya, kita harus membiasakan diri kita (Suseno, 2012)*. 

Orang yang mau mengembangkan keutamaan harus membiasakan diri untuk bertindak menurut keutamaan itu. Makin lama ia berusaha, makin gampang ia akan melakukannya. (Menjadi Manusia, halaman 40)

See? Menjadi jujur itu tidak mudah. Godaan bisa datang kapan saja dan dimana saja. Tetapi, kalau kita sudah terbiasa menjadi jujur, tentunya akan mudah menolak dan menghindari berbagai perilaku tidak jujur. Pertanyaannya sekarang: Sudahkah kita terbiasa berperilaku jujur?

*daftar pustaka
Suseno, Franz Magnis. (2012). Menjadi Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

20 comments

  1. eh tapi jangan2 sebetulnya di saldomu juga berkurang 200 ribu, kim....siapa tau aja.... hahahhaha

    ReplyDelete
  2. kalo gitu jadi keinget telpon umum masukin 500perak keluar 2  500an perak. kok bisa gitu ya selama ini saya gak pernah tuh kali aja ambil 100 ribu keluar 1 juta hahah

    ReplyDelete
  3. Jujur itu sesuatu yang mudah tapi sulit untuk dilakukan :)
    nice post

    Tekno Muslim

    ReplyDelete
  4. Sudah dicek. Saldoku tidak berkurang Rp 200ribu. Tetap berkurang sebesar yang kuambil Rp 100rb

    ReplyDelete
  5. Kalau kejadian begitu, mau dikembalikan atau dipakai sendiri? :p

    ReplyDelete
  6. patut dicontoh kimi, karena perkataan tidak lengkap tanpa perbuatan :D

    ReplyDelete
  7. Vicky LaurentinaMay 5, 2012 at 3:52 PM

    Kalo saya sih jelas saya nggak akan balikin tuh uang ke bank, hahaha..

    Penyebabnya bukanlah saya akan menggunakan uang itu untuk kepentingan diri sendiri, tetapi lebih karena saya tidak mempercayai pembukuan bank tersebut. Seseorang jelas-jelas telah melaporkan bahwa dia telah mengisi ulang ATM bank dengan uang sejumlah X, tapi karena keteledorannya maka dia mengisinya lebih. Jika kita mengembalikan kelebihan ke teller banknya, maka bagaimana teller itu akan mengisi tambahannya di bagian pembukuannya? Apa ada kolom tambahan "dikembalikan secara sukarela oleh seseorang"? Saya tidak yakin.

    Saya lebih baik "membuang" uang itu kepada orang yang tidak berpunya. Pengemis, misalnya. Bahwa rejeki mereka itu berkah atau tidak, itu bukan urusan saya )

    ReplyDelete
  8. Wah kalau saya tetep aja diambil.. Lumayan...

    Atau didiemin selama sebulan.. berarti itu milik kita hohoho...

    #JanganDitiru

    ReplyDelete
  9. uangku kayaknya kim 

    >:D

    ReplyDelete
  10. salut sama kmu Kim!

    :)

    ReplyDelete
  11. Jujur sih, Mbak, sebenarnya aku juga kemarin itu sempat ragu ke banknya sendiri. Kalau aku ngembaliin duitnya ke bank, apa nanti malah gak diambil sama pegawai banknya? Bukannya nuduh, tapi ya gitu deh. Tapi, karena Papa mendorongku untuk tetap mengembalikan uangnya ke bank ya aku nurut. Aku pikir ya sudahlah. Yang penting aku sudah berlaku jujur. :D

    ReplyDelete
  12. Kalau jujur itu mudah, seharusnya kita semua bisa menerapkannya dong ya? ;)

    ReplyDelete
  13. Betul. Yang ini jangan ditiru. :))

    ReplyDelete
  14. Ah, kamu. Kenapa kamu bisa serampangan gitu naruh uangnya? :?

    ReplyDelete
  15. pengemar romo magnis juga nih... iya kejujuran sangat penting... semoga makin banyak orang jujur dan bermental baja..

    ReplyDelete
  16. kalo aku kiiiiiiim.. ga mau balikin.. soalnya pernah dirugiin ama bank juga tuh... dan bank ga mau tanggung jawab.. dendam! :lol:

    nah... itu yang tidak bagus dicontoh... good for u girl! hehehhe

    ReplyDelete
  17. hahaha... Aku baca tuh tweet Mbak Nata waktu misuh2 dengan bank itu. :))

    ReplyDelete
  18. Orang jujur pasti berkah hidupnya... selalu ada pertolongan dari Allah
    http://dilangkahkakiku.blogspot.com/
    (Mencari Uang, Motivasi dan Teknologi)

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.