[Book] Canting

Judul: Canting
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (cetakan III, Oktober 2007)
Tebal: 408 halaman
ISBN 10: 979-22-3249-4; ISBN 13: 978-979-22-3249-3
Harga: Rp 40.000,-

Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan.

Canting berkisah tentang keluarga Pak Bei, lengkapnya Raden Mas Daryono Sestrokusuma atau Ngabehi Sestrokusuma, pemilik usaha batik tulis merk Canting. Secara garis besar, Canting dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berkisah seputar Pak Bei di tahun 1960-an, sebelum dan sesaat setelah Ni, putri bungsu Pak Bei, lahir. Bagian kedua berkisah ketika Ni sudah jadi sarjana farmasi dan ingin melanjutkan usaha batik keluarganya, meski ditentang habis kakak-kakaknya.

Sebuah buku dengan tema budaya lokal ini adalah buku yang bagus. Mengangkat canting menjadi tema sentral buku ini. Batik tulis yang dulu berkuasa, sekarang harus terpaksa mengalah dengan batik cap. Dan karena alasan ingin membalas budi kepada buruh-buruh batiknya dulu, Ni ingin menghidupkan kembali Canting, perusahaan batik milik keluarganya.

Terus terang saja ketika saya membaca di sampul belakang buku ini saya menjadi bingung. Di sampul belakangnya tertulis begini:

... Ni menjadi tidak Jawa, menjadi aeng--aneh, untuk bisa bertahan. Ni yang lahir ketika Ki Ageng Suryamentaram meninggal dunia, adalah generasi kedua, setelah ayahnya, yang berani tidak Jawa.

Bagaimana tidak bingung ketika di awal-awal cerita Pak Bei seperti di cerita-cerita dengan tema Jawa lainnya? Seorang priyayi yang menyerahkan urusan bisnisnya ke istrinya, sementara dia santai saja di rumah. Sesekali melakukan pertemuan dengan bangsawan Jawa lainnya, yang kadang pertemuan itu diselingi judi dan wanita?  Sementara istrinya, Bu Bei, patuh dan setia dengan suaminya. Dimulai dari menyiapkan air hangat untuk suaminya hingga berjualan batik di Pasar Klewer karena suaminya menyerahkan bisnis ke tangan Bu Bei. Dimana letaknya Pak Bei "berani tidak Jawa"?

Di bagian pertama inilah saya tetap mencari-cari penjelasan Pak Bei yang berani tidak Jawa. Alurnya terasa lambat sekali. Saya seperti membaca jadwal kegiatan seseorang. Misalnya begini, hari ini ke Pasar Klewer, besok pertemuan Jumat Kliwon, nanti mengurusi hewan peliharaan. Begitulah kira-kira. 

Namun rupanya, semakin dibaca semakin saya bisa mengerti kenapa Pak Bei dikatakan berani tidak Jawa.  Satu bukti nyata yang sangat jelas adalah Pak Bei berani menikahi Bu Bei yang tak lain adalah bekas buruh batiknya sendiri. Seorang priyayi berani menikahi buruh? Jaman dulu priyayi mana yang berani menikahi rakyat jelata? Juga melalui percakapan-percakapannya yang panjang lebar, saya bisa menyimpulkan untuk ukuran seorang priyayi Pak Bei punya pemikiran yang memang lain daripada yang lain. Wawasannya luas, hatinya baik, dia sayang keluarga, dan dia memang aeng.

Sikap aeng Pak Bei ini menurun ke putri bungsunya, Ni. Meski Pak Bei sendiri meragukan Ni adalah anak kandungnya--dan sampai akhir cerita pun tidak dijelaskan Ni anak kandung Pak Bei atau bukan--namun Pak Bei tetap menyayangi Ni. Di saat ibunya dan kakak-kakaknya menentang rencana Ni untuk melanjutkan usaha keluarga, Pak Bei dengan petuah-petuahnya memberikan semangat dan dukungan kepada Ni agar terus maju. Pak Bei mendorong Ni untuk percaya kepada diri sendiri. Oleh karena itu, Pak Bei tidak akan menghalangi niat Ni. Pak Bei ingin Ni sendiri datang ke dirinya dan memberi tahu apakah Ni gagal ataukah Ni berhasil.

Meski Ni digambarkan sebagai orang yang berani menjadi tidak Jawa, berkemauan keras, bertindak semaunya dia, yang seharusnya pembaca dibuat kagum dengan kepribadian Ni, namun saya biasa saja dengan Ni. Maksud saya, saya sudah terbiasa menemukan tokoh seperti Ni ini di cerita-cerita lain. Bukan suatu hal yang luar biasa. Sesungguhnya saya justru kagum dengan Pak Bei. Di awal-awal cerita saya tidak simpatik dengan Pak Bei, karena saya pikir dia tidak berbeda dari priyayi-priyayi lainnya. Rupanya di tengah dan akhir cerita Pak Bei selalu memberikan kejutan-kejutan kecil. Secara perlahan Pak Bei menjelaskan siapa dirinya melalui ucapan-ucapannya yang berbau filosofis dan sarat makna. Sampai akhirnya saya berani menyimpulkan Pak Bei adalah orang yang bijak. Pak Bei mempunyai caranya sendiri untuk menjelaskan kenapa dia begini kenapa dia begitu.

Skala 1 - 5, saya beri nilai 5 untuk Canting.

6 comments

  1. saya pernah baca yang ini juga.... bagus sekali buku yang ini.... suka baca buku aneh aneh juga ya..

    ReplyDelete
  2. Wah wah kalau saya ngga bakal sanggup nyelesein bacanya Kim.
    Saya paling ngga sabar sama novel yg alurnya lambat -_-'
    Tapi tetep.. reviewnya oke banget, mas Arswendo kudu baca artikel ini :D

    ReplyDelete
  3. review yang bagus...

    ReplyDelete
  4. @Applaus Romanus

    Masa' buku ini dibilang buku aneh sih, Mas? ;))

    ReplyDelete
  5. Huda Tula

    Terima kasih, Huda. :D

    ReplyDelete
  6. darinholic

    Tapi, bukunya tipis. Jadi, meski alur lambat tetap bisa cepat selesai bacanya.

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.