The Amniotic Universe

Saya baru selesai membaca buku Carl Sagan, Broca's Brain, dan di Goodreads saya beri nilai 5 dari 5 bintang yang ada. Semakin saya membaca buku-buku beliau, semakin saya mengagumi beliau. Bukan hanya karena saya punya soft spot tersendiri untuk ilmuwan, melainkan juga tulisan-tulisan beliau memang bagus. Sains yang njelimet di tangan Carl Sagan menjadi renyah, ringan. Saya yang (sepertinya) sejak satu tahun terakhir (mungkin lebih, saya tidak ingat) mulai tertarik dengan sains dan mulai rajin membaca buku-buku sains populer, semakin jatuh cinta dengan sains karena Carl Sagan. Sains pun akhirnya masuk ke daftar minat saya bersama psikologi dan evolusi. Tidak menutup kemungkinan daftar minat saya akan semakin bertambah seiring dengan perjalanan waktu. *tsaaah*

Ngomong-ngomong, tulisan ini bukan meriviu Broca's Brain, karena saya juga bingung apa yang mau diriviu? Hihihihi... Saya hanya ingin sharing saja kok. Saya ingin berbagi satu bab dari Broca's Brain, yaitu bab terakhir dari buku ini, Bab 25 "The Amniotic Universe".

Carl Sagan membuka bab ini dengan bercerita tentang pengalaman seseorang bernama William Wolcott yang mati suri. Fenomena mati suri atau near-death experience ini terjadi di mana saja, baik di negara-negara Barat maupun di negara-negara Timur. Dia adalah sebuah fenomena lintas budaya. Dimana seringkali mati suri diceritakan seseorang telah dinyatakan meninggal dunia, namun ternyata dia hidup kembali. Dia pun bercerita pengalamannya "setelah mati" tersebut dia bertemu dengan Tuhan, malaikat, nabi, atau siapa saja yang dianggap punya arti khusus dalam keyakinannya. Pendapat Bapak Sagan sendiri mengenai fenomena ini adalah:

For all I know, these experiences may be just what they seem and a vindication of the pious faith that has taken such a pummeling from science in the past few centuries. 

Kemudian, dilanjutkannya:

Personally, I would be delighted if there were a life after death--especially if it permitted me to continue to learn about this world and others, if it gave me a chance to discover how history turns out. But I am also a scientist, so I think about what other explanations are possible. How could it be that people of all ages, cultures, and eschatological predispositions have the same sort of near-death experience? (hal. 355)

Pak Sagan berargumen kejadian seperti ini sih bisa kita lakukan sendiri dengan obat-obatan psychedelic. Sensasi out-of-body bisa karena ketamines, ilusi seolah-olah kita terbang bisa pengaruh dari atropine dan belladonna alkaloids lainnya, dan lainnya (hal. 355). 

Pertanyaannya sekarang adalah kenapa deh setiap ada kejadian orang yang mati suri atau near-death experiences tersebut ketika si subjek tersebut kembali dari "kematiannya" selalu memberikan penjelasan yang sama, yaitu bercerita tentang surga dan Tuhan? Lebih lengkap Pak Sagan bertanya begini:

If something like ketamine is released in times of mortal danger or near-death, and people returning from such an experience always provide the same account of heaven and God, then must there not be a sense in which Western as well as Eastern religions are hard-wired in the neuronal architecture of our brains? (hal. 356)

Pak Sagan memberikan alternatif jawaban. Menurut Pak Sagan:

The only alternative, so far as I can see, is that every human being, without exception, has already shared an experience like that of those travelers who return from the land of death: the sensation of flight; the emergence from darkness to light; an experience in which, at least sometimes, a heroic figure can be dimly perceived, bathed in radiance and glory. There is only one common experience that matches this description. It is called birth. (hal. 356 - 357)

Kalau bisa saya simpulkan sih, wajar saja kalau setiap dari habis mati suri orang-orang pada punya cerita yang sama. Kenapa? Karena kita semua pernah mengalami "kematian" sebelumnya, yaitu melalui kelahiran! Fenomena mati suri ini mirip-mirip dengan proses kelahiran seperti yang telah Pak Sagan jelaskan di atas. Cuma karena kita masih pada bayi waktu lahir jelas sekarang kita tidak ingat pernah punya memori seperti itu. Bingung? Sama, saya juga. *halah* Tapi, hayuk lah kita teruskan ya pembahasannya.

Adalah Stanislav Grof, seorang psikiater yang menggunakan LSD dalam terapinya. Menurutnya, LSD tidak hanya bisa digunakan untuk tujuan rekreasi dan estetis, melainkan juga bisa digunakan untuk tujuan memunculkan ingatan akan pengalaman perinatal atau "around birth", yaitu masa-masa ketika kita masih dalam kandungan menjelang kelahiran dan sesaat ketika kita sudah lahir. (hal. 357)

Dari hasil eksperimennya dapat disimpulkan perinatal terdiri dari empat tahapan, yaitu:
  1. Stage 1 is the blissful complacency of the child in the womb, free of all anxiety, the center of a small, dark, warm universe--a cosmos in an amniotic sac. 
  2. In stage 2, the uterine contractions begin. The walls to which the amniotic sac is anchored, the foundation of the stable intrauterine environment, become traitorous. The fetus is dreadfully compressed. The universe seems to pulsate, a benign world suddenly converted into a cosmic torture chamber. The contractions may last intermittently for hours. As time goes on, they become more intense. No hope of surcease is offered. The fetus has done nothing to deserve such a fate, an innocent whose cosmos has turned upon it, administering seemingly endless agony.
  3. Stage 3 is the end of the birth process, when the child's head has penetrated the cervix and might, even if the eyes are closed, perceive a tunnel illuminated at one end and sense the brilliant radiance of the extrauterine world. The discovery of light for a creature that has lived its entire existence in darkness must be a profound and on some level an unforgettable experience.
  4. Stage 4 is the time immediately after birth when the perinatal apnea has dissipated, when the child is blanketed or swaddled, hugged and given nourishment. (hal. 357 - 359)
Terus, kaitannya apa dong antara mati suri, perinatal, dan agama? Tenang... Tenang... Saya juga kurang paham sih sebetulnya. Harus baca berulang-ulang kali dulu baru lumayan paham. Ahahahaha... *koprol sampai Mallorca*

Jadi, kalau kata Pak Sagan sih dari mati suri dan perinatal ini kita bisa tercerahkan mengenai origin dan nature agama itu apa. Kebanyakan agama di Barat berharap banget ada kehidupan setelah mati, sementara agama di Timur ada yang namanya reinkarnasi. Tapi, semuanya menjanjikan surga atau satori, bahwa kita semua bisa kok kembali ke stage 1, dimana kita bersatu kembali dengan alam semesta. Kita bisa merasa nyaman, tentram, puas, bebas dari rasa cemas. 

Oke deh, sampai di sini saya mulai paham. Hal yang saya pahami adalah manusia pada dasarnya takut mati. Manusia takut untuk mengalami kembali stage 2, yang sepertinya sangat penuh penderitaan atau stage 2 itu adalah sakaratul maut. Dan ketidaktahuan kita apa yang akan terjadi setelah kita mati. Apakah ada kehidupan setelah mati? Apakah ada siksa kubur? Apakah ada surga dan neraka? Atau setelah mati, ya sudah mati, tidak ada apa-apa lagi? Dan agama menawarkan kepada kita stage 1, bahwa setelah kematian itu ada kehidupan lagi kok. Kehidupan yang menawarkan kita rasa aman, puas, dan bahagia. 

Wah, ternyata mati suri ini setelah dibahas Pak Sagan jadi panjang lebar sekali ya. Apalagi pembahasannya dikaitkan dengan agama. Kalau di bukunya sih, penjelasannya lebih panjang lagi. Mati suri hanya mukadimah, tapi intinya adalah soal agama itu sendiri. Di bab ini, Pak Sagan menuangkan opininya tentang agama dan Tuhan. Dan, opininya, bagi saya, sangat menarik. Kapan-kapan saja kita bahas soal ini ya? Saya masih harus membaca lebih banyak dan membaca lebih mendalam buku-bukunya agar saya bisa lebih memahami beliau. Pokoknya suatu saat saya akan menulis lagi tentang beliau. Eh, tidak jadi janji ding. Takutnya saya malas, tidak ada waktu, pelupa, dan berbagai macam alasan lainnya. Hihihihi... *langsung kabur ke Mallorca*

7 comments

  1. sekilas menanggapi terkait kematian itu di atas bahwa
    1. kehidupan setelah 'mati' memang ada , dan ini terkait keyakinan, tentu

    2. 'Hal yang saya pahami adalah manusia pada dasarnya takut mati', itu tampaknya demikian, kecuali bagi orang yg memang sudah siap dan berilmu.
    3. lama gak ngasih komen disini euy :D

    ReplyDelete
  2. @ Huda Tulua
    Selanjutnya mau bahas apa ya? :|


    Btw, Mallorca itu kota tempat tinggalnya Rafael Nadal. :p

    ReplyDelete
  3. @ warma
    Iya ih, sudah lama Om gak ngasih komen di sini. Jangan2 gak pernah mampir lagi. :(( *halah, lebay*

    ReplyDelete
  4. wah seperti ajaran budha... kalau pada stage akhir kesucian manusia setelah mati adalah menyatu dengan universe.. entahlah apakah itu disebut surga oleh agama agama samawi... jadi penasran mau baca bukunya juga..

    ReplyDelete
  5. @ Applausr
    Sebenarnya ini yang dimaksud adalah keduanya, Mas. Kalau Budha menyatu dengan universe, sementara agama samawi ya setelah mati ada surga atau neraka. :)

    ReplyDelete
  6. Mallorca itu tempat liburan favoritnya org sini :)

    ReplyDelete
  7. @ Ely Meyer
    Aku pingin ke Mallorca. Entah kapan bisa ke sana... :(

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.