Menentukan Pilihan yang Sulit

Menjelang pemilihan presiden tanggal 9 Juli mendatang, sebisa mungkin saya menghindari Twitter. Membaca kicauan-kicauan di sana terkait pilpres membuat saya lelah. Para pendukung antar capres saling menyebar tudingan membela capres masing-masing dan menjatuhkan capres lawan. Saya berusaha semampu saya untuk tidak larut dan terjebak dalam suasana seperti itu. Kalau sesekali ngetweet mendukung capres pilihan saya, ya harap dimaklumi. :r

Tidak cuma di Twitter perang antar pendukung terjadi, melainkan di BBM saya pun demikian. Kalau kata teman saya, setiap debat capres mulai ditayangkan, status perang capres di BBM pun dimulai. Kebanyakan dari teman-teman saya di BBM mendukung capres nomor urut 1, Prabowo Subianto. Hal itu dapat dimengerti melihat latar belakang mereka. Membaca status-status mereka yang cenderung menyindir, melecehkan, dan merendahkan capres nomor urut 2, Joko Widodo (Jokowi), membuat saya terpancing untuk membuat status balasan. Sampai-sampai ada teman saya yang lain yang mengirim BBM ke saya dan menanyakan alasan saya kenapa saya memilih Jokowi.

Saya sudah tahu ke mana arah pembicaraan itu akan berjalan. Saya menjelaskan kepada teman saya alasan-alasan saya. Intinya, saya sejak awal kurang setuju Jokowi mencalonkan diri menjadi Presiden RI. Saya lebih suka beliau menyelesaikan amanahnya sebagai Gubernur Jakarta. Tapi, apalah artinya saya ini yang hanya butiran debu... Jelas harapan saya ini tidak akan diindahkan oleh beliau. *halah* Namun, melihat rekam jejak Prabowo, koalisinya, dan orang-orang yang di belakangnya kok sepertinya lebih menyeramkan ketimbang Jokowi. Di kubu Jokowi sebenarnya pun ada orang-orang yang patut kita pertanyakan, tapi, ah, sudahlah. Tulisan ini bukan membahas soal itu. :P

Setelah mendengarkan paparan saya, teman saya itu menasihati saya begini, "Dengarkan kata hati dengan pertimbangan akal sehat. Memilih dengan pertimbangan akal sehat lebih baik ketimbang hanya emosi sesaat atau asal ngikut..." What the...? Nasihat yang bagus sebenarnya, tapi kok sepertinya menyindir saya. Seolah-olah saya ini hanya memilih karena emosi sesaat dan asal ngikut. Well, saya mengikuti kata hati sih. ;)

Bagi kita yang sudah menentukan pilihan tentu pilpres adalah perkara mudah. Tapi, bagaimana dengan swing voters atau bagi pemilih yang baru pertama kali mendapatkan hak pilihnya? Tentu memilih presiden bukan perkara mudah. Karena suara mereka (dan suara kita) menentukan nasib bangsa ini dalam lima tahun ke depan. Suara kita akan menentukan Indonesia akan dibawa ke mana oleh Presiden kita. Hal ini yang mungkin dimaksudkan oleh teman saya tadi dengan memilih jangan asal ngikut.

Beberapa hari yang lalu saya menonton video TED dari Ruth Chang yang berjudul How to Make Hard Choices. Chang membahas tentang pilihan-pilihan sulit dalam hidup dan kita harus menentukan pilihan yang mana yang akan kita ambil. Tentang karir (apakah kita akan bekerja di kantor X atau Y? Apakah kita akan bekerja sebagai akuntan atau guru TK?), tentang jodoh (siapakah yang akan kita nikahi? Si A atau B?), dan terkait tulisan ini siapakah presiden yang akan kita pilih? Jokowi ataukah Prabowo? 

Chang bilang begini:

It's a mistake to think that in hard choices, one alternative really is better than the other, but we're too stupid to know which, and since we don't know which, we might as well take the least risky option. Even taking two alternatives side by side with full information, a choice can still be hard. Hard choices are hard not because of us or our ignorance; they're hard because there is no best option. 

Bagi yang belum menentukan pilihan dalam pilpres kali ini, kebingungan itu bisa saja karena banyak hal. Bisa jadi karena tidak tahu manakah yang lebih baik antara Jokowi dan Prabowo. Rekam jejak masing-masing capres sudah diselidiki, tapi masih ada keraguan. Dua-duanya bukan malaikat, bukan pula nabi yang tanpa cela. Sebagus-bagusnya Jokowi di mata pendukungnya, tentulah Jokowi ada cela. Dan sejelek-jeleknya Prabowo di mata musuhnya, tentulah masih ada sisi bagusnya dari Prabowo. Seperti yang Mas Pandji tulis di sini:

Saya terus terang kesulitan untuk percaya 100% pada Jokowi. Saya jelas tidak 100% yakin Prabowo ini buruk.
Agama saya mengajarkan untuk berkhusnudzon, dan nurani saya selalu terbiasa memberikan ruang untuk keraguan.

Kemudian, Chang melanjutkan:

Now, if there's no best option, if the scales don't tip in favor of one alternative over another, then surely the alternatives must be equally good. So maybe the right thing to say in hard choices is that they're between equally good options. That can't be right. If alternatives are equally good, you should just flip a coin between them, and it seems a mistake to think, here's how you should decide between careers, places to live, people to marry: Flip a coin.

Katakanlah Jokowi dan Prabowo sama-sama bagus, seharusnya sih di bilik suara nanti kita tinggal lempar koin 500 perak saja dong ya? Kalau yang muncul gambar bunga, berarti pilih Jokowi. Kalau yang muncul gambar garuda, berarti pilih Prabowo. Tapi, kan, masalahnya tidak sesederhana itu. Memilih presiden dengan cara melempar koin jelas adalah sebuah ancaman bencana bagi Indonesia. 

Lantas, bagaimana kita harus menentukan pilihan di antara pilihan-pilihan yang sulit? 

Understanding hard choices in this way uncovers something about ourselves that we didn't know. Each of us has the power to create reasons. Imagine a world in which every choice your face is an easy choice, that is, there's always a best alternative. If there's a best alternative, then that you should choose, because part of being rational is doing the better thing rather than the worse thing, choosing what you have most reason to choose. 

Being rational, menjadi rasional adalah kata kuncinya di sini. Setiap menentukan pilihan kita harus rasional. Jangan mengambil keputusan dengan menyerah kepada alasan-alasan yang diberikan kepada kita, melainkan kita membuat alasan-alasan itu sendiri. Misalnya, saya tidak mau menjadi generasi mudah lupa, makanya saya memutuskan untuk tidak memilih Prabowo. 

When we choose between options that are on a par, we can do something really rather remarkable. We can put our very selves behind an option. Here's what I do. Here's who I am. I am for banking. I am for chocolate donuts. This response in hard choices is a rational response, but, it's not dictated by reasons given to us. Rather, it's supported by reasons created by us. 

Seperti yang Chang minta di akhir-akhir pembicaraannya agar kita melatih kekuatan normatif kita dalam menentukan pilihan. Jadi, mulai sekarang pikirkanlah baik-baik siapa yang akan kita pilih nanti untuk jadi presiden kita. Jika teman-teman masih bingung siapa capres yang akan kalian pilih, coba lihat ke dalam diri kalian. Tanyakan ke nurani kalian, seperti apakah kalian sesungguhnya? Apa sajakah nilai-nilai yang kalian anut? Bagaimana kalian ingin melihat Indonesia dalam lima tahun ke depan dan seterusnya? Kenapa saya bertanya demikian? Karena hal-hal ini sangat berpengaruh nantinya dengan bagaimana teman-teman melihat para capres. 

Akhirul kalam, harapan saya, semoga kita satu suara pada tanggal 9 Juli 2014 nanti. #TegasPilih2



10 comments

  1. pertamaxxxx.... :-D *salamduajari*

    ReplyDelete
  2. Saya sudah tahu ke mana arah pembicaraan itu akan berjalan. Saya menjelaskan kepada teman saya alasan-alasan saya. Intinya, saya sejak awal . . .

    [uraian panjang lebar]

    Setelah mendengarkan paparan saya, teman saya itu menasihati saya begini, "Dengarkan kata hati dengan pertimbangan akal sehat. Memilih dengan pertimbangan akal sehat lebih baik ketimbang hanya emosi sesaat atau asal ngikut..."



    Oalah nasibmu nak... [uraian panjang lebar] dibalasnya cuma "jangan pakai emosi". :))

    *puk-puk Kimi*

    ReplyDelete
  3. Ishh, tema postingannya sama kayak postinganku. Jangan-jangan kita "ciiiiiiiiiiitt' *sensor.

    ReplyDelete
  4. para pembuat isu pilpres sekarang sudah sama-sama hebat sehingga saya bingung memilah mana berita yang benar dan yang salah, apalagi sebagian isu dari mereka dibuat berdasarkan fakta yang ada

    ReplyDelete
  5. seperti note saya di fesbuk, kriteria pemimpin pilihan saya jelas :
    yang bisa mimpin unit organisasi terkecil : keluarganya
    .v.

    demikianlah :D

    ReplyDelete
  6. Saya jadi ingat sebuah pepatah tentang ribut-ribut suasana menuju pilpres 2014 ini, "itik yang bertelur, ekor ayam yang perih.." Orang yg mau maju jadi presiden, kita malah yang saliing kepanasan :)

    ReplyDelete
  7. bagi saya seorang pemimpin itu harus amanah,
    lebih baik yang punya masa lalu sedikit dipertanyakan tapi menyadari kekeliruan itu, daripada yang merasa selalu berhasil dan sempurna.
    siapapun presiden terpilih, rakyat pasti meminta pertanggunga jawaban janji-janjinya :)

    ReplyDelete
  8. Cermat memilih yah. keyakinan akan informasi yang didapat harus mendukung alasan memilih. tidak sebatas ikut-ikutan. banyak sekali informasi yang timpang tindih.

    ReplyDelete
  9. Aku juga ya bimbang mbak. Kriteria presiden menurut aku menempel di kedua calon. Mestinya ada 1 calon lagi yang punya gabungan dari kedua calon ini, itu pasti yang aku pilih..

    ReplyDelete
  10. Prinsipku sama kayak Elia. Tegas untuk tidak pilih nomor 1. Udah suka ceki-ceki informasi tentang Prabowo (walau sekilas-sekilas aja) sejak masih kuliah. Jadi sudah pasti akan menghindari Prabs.

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.