Pernikahan dan Kohabitasi

Saya menghabiskan hari terakhir saya di Depok kemarin dengan ke kampus, nonton Lucy di Margo Platinum, kemudian menumpang mengisi daya baterai bebek saya di food court Detos. Terakhir, saya makan pempek di Pempek Pak Raden bersama teman saya, Rahel. 

Selama mengisi daya baterai bebek itu saya juga sibuk ngetweet. Ditemani es teh manis dan pempek lenjer saya ngetweet tentang pernikahan dan kohabitasi. Sore kemarin tiba-tiba saya bertanya ke diri saya sendiri apa yang membedakan antara pernikahan dan kohabitasi. Berhubung saya sedang malas riset kecil-kecilan tentang pernikahan dan kohabitasi, jadi tulisan kali ini ya hanya berdasarkan kicauan saya kemarin. :P

Ngomong-ngomong, ada yang takut menikah karena takut bercerai. Katanya pernikahan itu memasung kebebasan. Elia bilang di tulisannya bahwa hubungan cinta lebih berisiko gagal jika dilembagakan, dikondisikan, dan dibuat kaku. Kemudian, ada yang menganjurkan kohabitasi alias kumpul kebo. Lah, memangnya kohabitasi bakal aman-aman saja dari yang namanya perpisahan? Jelas tidak. Meski memang kohabitasi mempercepat proses bersatu dan berpisah. Maksudnya? Kohabitasi tidak memerlukan ribetnya proses pernikahan dan proses perceraian. Kalau yang Lea bilang sih:



Jadi, kalau pasangan kohabitasinya ternyata brengsek ya tinggal tendang saja sambil teriak, "PERGI KAU!". Tentunya dengan golok sudah di genggaman dan berayun-ayun. :r

Satu hal yang pasti dari pernikahan dan kohabitasi adalah keduanya sama-sama membutuhkan komitmen. Jangan dikira kohabitasi tidak butuh komitmen. Hanya karena terikat emosional dan seksual tanpa ada kesepakatan untuk menikah, bukan berarti bisa semau-mau juga. Maksudnya, semau-mau jalan dan tidur sama orang lain. Eh, kecuali dari awal sepakat untuk open relationship, itu beda perkara ya. :P

Sayangnya, masyarakat kita belum bisa menerima konsep kohabitasi ini. Masyarakat kita masih terlalu judgmental dan ikut campur urusan orang lain. Bahkan, urusan kamar orang lain pun mereka turut campur. Saya masih suka dengar ada yang demen gerebek rumah orang. Bagi pasangan (entah pasangan kohabitasi, TTM, pasangan bukan resmi, whatever) yang apes ketahuan lagi berhubungan seks  langsung deh diarak-arak dan dibikin malu. Please deh, urus saja urusan selangkangan lo sendiri. Tidak usah mengurus urusan seks orang lain.

Itu baru dari sisi masyarakat kita. Kalau dari sisi negara, bagaimana? Kitin bilang begini:


Nah, surat nikah ini memang diperlukan untuk mengurus macam-macam. Kapan ya Negara bisa memudahkan dan menghargai warganya yang memutuskan untuk berkohabitasi? >.<

Apakah dengan saya menulis ini berarti saya lebih memandang opsi kohabitasi ketimbang pernikahan? Tidak juga. Saya masih ingin menikah. Karena saya masih mau cari aman. Saya tidak mau nanti saya dan pasangan saya digerebek sama tetangga yang berkongsi dengan FPI. Bisa berabe. 

Akhirul kalam, sebenarnya terserah pada masing-masing individu ingin menikah atau berkohabitasi. Yang terpenting adalah kita jangan menghakimi pilihan orang lain. Silakan kalian putuskan untuk menikah atau kohabitasi, kemudian lakukanlah dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. ;)

11 comments

  1. Pisah bukan isu sama sekali bagi gue. Orang-orang yang takut pisah itu cuma belum ngerti bahwa mereka bisa aja jadi orang yang minta pisah dalam hubungan. Dan dalam kasus-kasus tertentu, itu memang yang terbaik. Agak terlalu naif untuk meniadakan kemungkinan itu.

    Kenapa kohabitasi? Karena gue lebih suka jalanin hari-hari dengan perasaan bahagia bahwa masih ada seseorang untuk gue gandeng tangannya, yang sevisi sama gue untuk jalanin hidup sebagai sepasang manusia. Kalo hari-hari ini berjalan baik, perpisahan mungkin gak akan terjadi. Fokusnya di how you play, bukan goal. Kalo lo main bagus, ntar juga gol sendiri.

    Tentang masyarakat sekitar? Well, kalo lo gak bisa menang, mungkin lo cuma perlu pindah gelanggang. Gue gak hidup untuk tunduk kepada siapa pun.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gue coba tanggapin satu2 ya... :D

      Tentang pisah. Dalam hubungan apapun pisah itu pasti akan terjadi. Orang-orang takut pisah karena mereka takut rasa sakitnya. Bagi sebagian orang bangkit dari rasa sakit itu bisa mudah dan cepat. Bagi sebagian yang lain, ya susah dan lama.

      Tentang alasan kenapa lo memilih kohabitasi, boleh dong kalau gue apply ke pernikahan? Intinya sih sama, baik pernikahan dan kohabitasi, ketika kita sudah menemukan seseorang yang sevisi dengan kita dan bisa menjalani dengan baik, perpisahan tidak akan terjadi.

      Kemudian tentang masyarakat sekitar. Kita butuh keberanian untuk bisa melepaskan diri dari agama, budaya, masyarakat, keluarga. Ada orang-orang yang berani dan sudah melepaskan diri. Namun, masih ada orang-orang yang terkungkung dan belum sanggup untuk keluar. Kalaupun suatu saat nanti gue bertemu dengan seseorang dan memutuskan untuk kohabitasi, pastinya gue gak akan berkohabitasi di sini. :P

      Delete
    2. Misalnya lo dipukulin suami, Kim. Lo akan jadi orang yang minta pisah. Dan itu memang yang terbaik untuk kedua belah pihak, juga bagi anak. Anak lebih baik liat orangtua bercerai daripada dijejali kepura-puraan bertaun-taun.

      Gue dari keluarga brokenhome. Gue ngalamin perceraian orangtua, nyaksiin KDRT, gak ketemu bapak gue dari kecil. Jadi, gue tau soal ini, bisa menilai mana yang terbaik bagi istri, suami, dan anak. In the end everybody survives, sesakit apa pun itu.

      Pernikahan ngasih kita perasaan settled, ilusi 'selamanya' dan 'sehidup semati'. Itu hal-hal yang harusnya dirayakan di belakang, sebagai reward, bukannya belom apa-apa udah dirayain. Kalo gue sampe nikah, gue akan nikahin pasangan yang terus sama-sama gue sampe umur 70. Karena kami layak dapet itu.

      Menurut gue sih gak butuh keberanian. Lakuin aja and see what happens. Kohabitasi juga gak rumit kok (kecuali kalo punya anak). At least dari apa yang gue liat di Jakarta, Jogja, dan Bali.

      Delete
  2. cuma mo komen soal judg(e)ment dari masyarakat, selama masyarakat kita mayoritas masih hidup berdasar pada aturan agama mayoritas, sampe kapanpun konsep kohabitasi (tanpa nikah) ga akan pernah diterima. jadi konsep ini memang cuma bisa dilakukan dengan "aman" kalo kita pindah gelanggang, eh stadion, eh negara, yang sudah mengakui konsep tersebut, inggris misalnya. jadi kapan pindah sini? *lalu dijitak Kimi*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mau atuhlah, Mbak, pindah ke sana... Kalau ada partner-nya yang ngajakin. *eh*

      Delete
  3. di kampungku sana masih ada juga penggrebekan seandainya ada yang ketahuan tidur di rumah pacar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, yang begini ini nih yang bikin kesal. Kok ya masih pada demen mengurus urusan orang lain ya? *sigh*

      Delete
  4. sini yuk tinggal sama aa di madrid.

    ReplyDelete
  5. Aku mah masih mau berpegang sama prinsip dan aturan agama aja mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya tidak apa-apa kok. Terserah Mas Arif saja nyamannya bagaimana. :)

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.