Mengapa Tuhan dan Agama Masih Relevan?

Tulisan kali ini dikirim oleh Handriatno Waseso, kakak tingkat saya di kampus dulu. Selamat menikmati. Semoga bermanfaat buat teman-teman semua.



***



gambar dari sini


Keberadaan Tuhan selalu menjadi bahan perdebatan selama berabad-abad. Untuk banyak orang, hal ini tidak perlu lagi dipertanyakan: Tuhan ada. Bagaimana pun, mungkin mereka juga tak pernah melihatNya. Tapi bagi beberapa orang lainnya, keberadaan Sang Pencipta ini harus dibuktikan, khususnya dengan sesuatu yang bisa diindera oleh siapa pun. Sayangnya, sampai detik ini, bukti keberadaan Tuhan yang bisa diindera oleh semua orang, nyaris tidak ada.

“Celakanya”, golongan yang tidak percaya Tuhan atau mengabaikan Tuhan terbukti berhasil membangun kehidupan modern yang kita nikmati saat ini. Bila di zaman sebelumnya kepercayaan terhadap Tuhan telah mengorganisasi manusia menjadi kelompok-kelompok besar dan sukses membangun peradaban, saat ini justru penihilan fungsi agama menjadi kunci kemajuan zaman.

Kita bisa melihat banyak contoh dalam hal ini. Tanpa peduli pada kisah penciptaan oleh Tuhan, biologi menghasilkan pencapaian luar biasa dengan menjadikan evolusi sebagai basis utama riset tentang makhluk hidup. Psikologi bersama ilmu syaraf juga meraih kemajuan luar biasa dengan membuktikan bahwa pengalaman spiritual tak lebih dari kerja sel syaraf dan otak. Fisika, yang tidak menggubris paham kreasionis, juga tergolong luar biasa dengan merumuskan kosmologi yang bicara tentang alam semesta dari awal kejadiannya sampai kemungkinan berakhirnya, semua lewat eksperimentasi dan perhitungan matematika.

Lalu apakah Tuhan sudah mencapai masa redupnya? Apakah agama, sebagai hal yang dipercaya sebagai “pemikiran” Tuhan, segera musnah?

Untuk menjawabnya, kita perlu menelisik jauh ke takdir evolusi manusia. Kepercayaan pada Tuhan atau hal-hal tidak terlihat tidak muncul begitu saja. Ada desain otak yang menjadi basisnya. Ada faktor-faktor psikologis azali yang menyertai munculnya kepercayaan terhadap agama sejak nenek moyang kita tinggal di gua-gua sampai kita anak cucunya berdiam di rumah-rumah batu.

Agama (dan Tuhan) hadir untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan kebutuhan ketertiban sosial. Sampai hari ini, belum ada konsep lain yang sukses menjadi kanal pemuasan kegelisahan manusia secara kolektif selain agama. Alih-alih musnah, agama malah muncul dengan varian-varian yang makin beragam. Sebagian besar varian menginduk pada agama-agama besar dan sebagian lainnya muncul sebagai agama baru dengan pengikut yang terbatas.

Agama memberikan cara memaknai penderitaan yang tak terkalahkan oleh paham mana pun sampai saat ini. Tidak ada yang bisa meruntuhkan harapan atas adanya kekuatan besar tak terlihat yang akan mengangkat seorang manusia dari jurang keterpurukan. Apalagi, apapun yang nyatanya membuat orang itu bangkit, selalu bisa diartikan sebagai “Tangan Tuhan”.

Ya, agama menyediakan sumber pemaknaan yang kaya dan luwes/fleksibel. Gagasan yang fleksibel akan bertahan terus menerus di tiap zaman. Dalam hal ini, agama terbukti mampu menunjukkan elastisitasnya mengikuti zaman, di samping harus menerima serbuan gagasan baru yang mengikisnya dari hari ke hari.

Agama masih menginspirasi banyak orang untuk berbuat kebaikan kepada sesama. Agama juga telah digunakan untuk memotivasi kesuksesan ekonomi para pemeluknya. Ini terjadi di berbagai negara dan lintas agama. Orang-orang beriman (pada agamanya masing-masing) juga masih menjadikan ajaran agama yang dianut sebagai inspirasi mendidik generasi selanjutnya yang menjadi anak-anak mereka. Ini bukti bahwa agama tidak kehilangan relevansinya.

Agama tidak berhenti di kehidupan pribadi pemeluknya. Di Amerika Serikat, kebangkitan pemeluk Kristen evangelist konon telah mempengaruhi arah politik, khususnya semenjak Donald Trump berkuasa. Di belahan bumi bagian Afrika, Sudan Selatan berdiri sebagai negara baru yang memisahkan diri dari Republik Sudan yang sangat condong dalam keberpihakan pada mayoritas Muslim. Di negeri kita, polarisasi politik pun masih ditentukan oleh siapa yang meraih simpati umat Islam. Terbukti dengan adanya cawapres dari kalangan ulama dan capres cawapres yang dipilih berdasarkan kesepakatan ulama.

Jadi, siapa pun itu yang berharap agama akan segera tersingkir dari percaturan peradaban dunia, harus gigit jari. Sampai detik ini ajaran-ajaran agama masih sangat berpengaruh. Bahkan Jurgen Habermas, seorang filsuf, sampai harus merumuskan pemikirannya yang mengakui bahwa agama boleh saja dibawa ke ranah sosial politik dalam batas tertentu. Suka atau tidak, demikian Habermas, agama masih menjadi kunci dari nalar publik.

Sebagai genre ideologi yang sangat berakar dari proses evolusi, yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan azali manusia, agama akan tetap kuat bertahan sampai waktu yang sulit ditentukan. Keluwesannya tidak terkalahkan oleh jenis paham lain.

Di luar kapasitas spiritualnya dan keilahiannya, agama membuktikan diri masih perkasa dalam mengatur kehidupan manusia. Pemisahan “gereja” dan negara tidak benar-benar sukses. Agama kembali menyelusup masuk ke berbagai ranah. Ia tidak bisa dicegah untuk memancar keluar dari kotak sempit “ruang privat”, betapa pun banyak orang menginginkannya.

Sejumlah agama lahir dari naluri manusia, bukan sekedar produk zamannya. Ia juga terbukti lentur beradaptasi dengan zaman. Berbeda dengan yang disangkakan selama ini, agama ternyata menghasilkan banyak inovasi untuk mempertahankan relevansi. Jadi, bagaimana mungkin ia menjadi tidak relevan?

Sesuai fitrah.

1 comment

  1. Selama masih ada hal-hal yg belum diketahui manusia, selama itu pula relevansi agama bakal terus ada..

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.