Ketika Orang Baik Menjadi Jahat

**Tulisan ini dibuat untuk memenuhi janji saya sebelumnya.

***

Penelitian kontroversi yang akan dibahas kali ini adalah Stanford Prison Experiment (untuk seterusnya saya singkat menjadi SPE saja ya). Eksperimen ini masih berkaitan dengan studi yang dilakukan Stanley Milgram, yang sudah kita bahas di tulisan sebelumnya. Philip Zimbardo, psikolog sosial yang melaksanakan penelitian ini, merupakan teman satu sekolah Stanley Milgram di James Monroe High School.

Zimbardo tertarik dengan studi Milgram. Studi Milgram tersebut menginspirasinya melakukan penelitian yang kita kenal sampai 48 tahun kemudian, yaitu Stanford Prison Experiment. Dalam eksperimen tersebut Zimbardo ingin meneliti lebih dalam lagi efek situasi pada perilaku manusia.

What happens when you put good people in an evil place? Does humanity win over evil, or does evil triumph? (dari website Stanford Prison Experiment)

Zimbardo membuat setting penjara di ruangan basement Jordan Hall, Stanford University. 24 pria dewasa muda dipilih dari lebih tujuh puluh pelamar yang membaca iklan Zimbardo di koran. Setelah melewati asesmen, ke dua puluh empat orang ini dinilai yang paling stabil kondisi fisik dan psikis, juga tidak memiliki catatan kriminal dan tidak pernah memakai narkoba. Mereka akan mendapat $15 per hari untuk partisipasinya.

Dua puluh empat partisipan ditentukan secara random siapa yang akan menjadi sipir penjara dan tahanan. Mereka yang menjadi sipir mendapatkan briefing dari Zimbardo dan tim tentang hal apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan terhadap para tahanan. Beberapa isi briefing-nya, seperti mereka tidak boleh menyakiti secara fisik (misalnya memukul) tahanan, tetapi mereka diizinkan untuk menciptakan suasana bosan pada tahanan, membuat tahanan frustrasi dan takut, dan sampai batas tertentu para sipir diberikan kewenangan untuk berlaku semena-mena, untuk menyampaikan pesan kepada tahanan bahwa hidup mereka sepenuhnya berada dalam kontrol para sipir dan sistem penjara (Zimbardo dan tim), dan itu berarti mereka tidak akan punya ruang pribadi sama sekali.

Sementara itu, mereka yang menjadi tahanan disuruh pulang dulu. Nanti mereka akan dikabari lebih lanjut jika studi akan dimulai.

Tanggal 15 Agustus 1971 polisi menangkap para partisipan, yang mendapat peran tahanan, di kediaman mereka masing-masing. Aksi penangkapan itu dilakukan di pagi atau siang hari di mana para tetangga mereka dapat melihat kejadian tersebut. Kemudian, mereka dibawa ke kantor polisi. Mereka ditahan, diperiksa sidik jarinya, dicatat namanya, dan ditutup matanya untuk kemudian mereka akan dijemput dan dibawa ke Stanford.

Di penjara Stanford mereka disuruh telanjang, tubuh mereka ditaburi bedak, dan mereka disuruh memakai seragam tahanan khusus yang ada nomor tahanan. Di dalam eksperimen ini mereka tidak dikenal dengan nama mereka, melainkan dengan nomor yang tertera di seragam mereka. Mereka juga diberi stocking wanita untuk dipakai di kepala. Hanya itu yang tahanan boleh pakai. Mereka tidak boleh pakai yang lain lagi. Para sipir akan memasangkan gembok di salah satu kaki tahanan. Hal ini untuk menandakan secara simbolis mereka telah kehilangan kebebasan mereka.


gambar dari sini


Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan identitas individu mereka. Juga untuk menimbulkan rasa powerlessness pada mereka, bahwa mereka tidak punya kekuatan apapun. Hanya sipir penjara, pengawas, dan kepala penjara yang memiliki kuasa.

Para sipirnya diberikan seragam khusus sipir, alat pentungan, dan kacamata. Tujuan juga sama seperti tahanan, yaitu untuk menghilangkan identitas personal. Selain itu, untuk memunculkan anonimitas pada diri setiap sipir dan agar timbul perasaan bahwa mereka memiliki power terhadap tahanan.

Tentu saja seperti yang sudah kita ketahui studi ini kebablasan. Para sipir menjadi terlalu dalam menyelami perannya. Para tahanan pun demikian. Para sipir memang tidak menyakiti fisik para tahanan, namun mereka mempermalukan tahanan, memberi mereka tugas yang merendahkan, menyuruh mereka mensimulasikan perilaku sodomi, dan masih banyak lagi. Ini membuat para tahanan langsung merasakan stres hebat hanya dalam waktu 36 jam. Tahanan 8612 terpaksa dilepas lebih awal karena dia menunjukkan perilaku marah yang tidak terkontrol.

Seandainya kalian bertanya-tanya apakah para tahanan ini tidak melakukan perlawanan telah diperlakukan sewenang-wenang oleh sipir, maka jawabannya oh ya tentu mereka melawan. Mereka langsung melawan di hari kedua kok. Namun, hal tersebut membuat para sipir tidak senang dan (mungkin) merasa harga diri mereka dipermalukan karena tidak bisa mengontrol para tahanan. Itulah sebabnya para sipir semakin bertindak di luar batas. Anehnya, para tahanan pun seperti tidak punya keberanian lagi untuk melawan para sipir. Hanya sekadar protes mengingatkan, "Eh, kalian tidak usah lebay deh ya. Ini tuh cuma eksperimen. Kita tuh sama-sama dibayar di sini. Kalian itu sudah menyakiti kami tahu!" pun tidak mereka lakukan. Mereka malah jadi permisif, pasrah, dan lemah. Kondisi psikis mereka semakin turun setiap harinya.

Zimbardo dan tim peneliti bahkan menjadi bias. Dari semua orang yang terlibat dalam eksperimen tersebut tidak ada yang melihatnya itu di luar batas kewajaran. Mereka terlena dengan peran mereka sebagai supervisi para sipir. Zimbardo, sebagai kepala penjara, tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan perilaku anak buahnya. Mengutip dari sini Zimbardo menulis di dalam bukunya The Lucifer Effect:

"Only a few people were able to resist the situational temptations to yield to power and dominance while maintaining some semblance of morality and decency; obviously, I was not among that noble class."

Sampai akhirnya Christina Maslach datang ke madhouse (Zimbardo menyebutnya demikian) dan bilang ke Zimbardo, "Mas Philip, apa yang kamu lakukan ke mereka itu... JAHAT!" Lengkapnya, Maslach bilang begini, "You know what, it's terrible what you're doing to those boys. They're not prisoners nor guards, they're boys, and you're responsible."

Untunglah Zimbardo mendengarkan nasihat Maslach. Keesokan harinya Zimbardo langsung menghentikan eksperimennya yang baru berjalan enam hari dari empat belas hari yang direncanakan. Itulah bukti cinta kasih seseorang pada pasangannya. Dia mendengarkan. Satu tahun kemudian mereka menikah. Jadi, kalau pasangan kamu cuek meski kamu sudah mengingatkannya atau tidak pernah membuktikan apa-apa ke kamu, ya sudah berarti dia nggak sayang sama kamu. Langsung tinggalkan saja dia. Loh, loh, kok jadi melantur.

Ngomong-ngomong, apa nih yang membuat 24 pria dewasa muda, yang sama-sama sehat jasmani dan rohani, begitu ditempatkan di simulasi penjara, keadaan menjadi lepas di luar kendali? Profesor Scott Plous membahasnya di Social Psychology online course di Coursera. Beliau mengutip dari buku Zimbardo The Lucifer Effect:

"Good people can be induced, seduced, and initiated into behaving in evil ways... The primary simple lesson the Stanford Prison Experiment teaches is that situations matter. Social situations can have more profound effects on the behavior and mental functioning of individuals, groups, and national leaders than we might believe possible."

Akan tetapi, jangan sampai kita salah menginterpretasikan bahwa hanya situasilah yang penting atau karakteristik individu tidak penting, atau situasi lebih penting ketimbang karakteristik individu. Bukan, bukan seperti itu.

SPE tidak pernah bertujuan untuk menunjukkan bahwa hubungan peran sipir dan tahanan akan selalu membawa pada hasil penyiksaan, tetapi SPE menunjukkan bahwa ketika orang-orang yang berada di posisi otoritas mengalami deindividuasi, yaitu keadaan di mana mereka kehilangan identitas personal mereka dan identitasnya melebur ke dalam kelompok atau peran sosial, situasi menjadi di luar kontrol.

Deindividuasi ini kemudian membawa meningkatnya rasa anonimitas pada para sipir di SPE. Mereka harus selalu dipanggil Mr. Correctional Officer, ditambah dengan seragam sipir yang mereka kenakan, pentungan yang mereka bawa-bawa, dan kacamata yang mereka kenakan menambah rasa anonimitas tersebut. Jadi, mereka merasa punya kuasa untuk bertindak semaunya.

Pada partisipan pun mengalami deindividuasi ini, seperti yang sudah disinggung sedikit di atas. Dengan seragam yang mereka kenakan dan mereka dipanggil dengan nomor tahanan--bukan nama--membuat mereka untuk sementara waktu lupa siapa diri mereka sebenarnya. Mereka pun merasa bagian dari kelompok sesama tahanan ini. Selain itu, learned helplessness bisa juga dipakai untuk menjelaskan kenapa para tahanan pasrah dan menyerah pada para sipir. Mereka belajar bahwa apapun perlawanan yang mereka berikan tidak terlalu berdampak pada mereka. Terima kasih kepada para sipir yang sangat terbawa dalam perannya sehingga membuat para tahanan menyerah untuk melawan dan menjadi stres berlebihan, bahkan ada yang menunjukkan gejala depresi.

Meski SPE sangat terkenal dengan ketidaketisannya, bukan berarti kita tidak dapat belajar dari eksperimen tersebut. Apa saja yang hal dapat kita pelajari? Pertama, faktor situasional bisa membawa kita kepada perilaku jahat yang menghancurkan. Kedua, kita bisa melatih diri kita untuk berani melawan, menjadi deviant, pada hal-hal jahat yang tidak sesuai dengan hati nurani kita. Jangan pasif dan jangan pasrah! Kita bisa belajar untuk peka dan tidak tunduk begitu saja pada tekanan kelompok, figur otoritas, peran sosial yang disematkan kepada kita, dan lain sebagainya. Contoh dari SPE ini yang ada di kehidupan nyata kita, seperti penyiksaan para tahanan di penjara Abu Ghraib dan para satpol PP yang membubarkan lapak pedagang kaki lima dengan cara yang tidak manusiawi.

Saya sedikit kesulitan menemukan video dokumentasi SPE yang lengkap (durasinya 51 menit). Saya nonton videonya di Social Psychology Course di Coursera. Barangkali teman-teman bisa mencari video lengkapnya di YouTube. Bisa juga teman-teman ikutan daftar di online course tersebut barengan saya. Sama-sama kita belajar di bawah bimbingan Scott Plous. Asyik banget kok kuliahnya!

Atau, teman-teman bisa nonton versi singkatnya dari The Infographics Show di bawah ini:




Penelitian SPE di saat sekarang ini jelas tidak bisa direplikasi karena terbentur di kode etiknya. Namun, Michael D. Stevens, pemilik kanal YouTube VSauce, di dalam salah satu videonya seri "Mind Field" mencoba untuk mereplikasi SPE sedemikian rupa agar tidak melanggar kode etik dalam riset.




Hasilnya ternyata tidak sama dengan studi aslinya. Hal itu bisa dimengerti karena dari faktor kepribadian partisipannya sendiri. Mereka memiliki skor tinggi pada conscientious dan compassion, sehingga itu bisa menafikan the power of situation, yang sejak awal sudah kita gadang-gadang sebagai tersangka utama membuat orang baik bisa jadi jahat.

Kalau boleh saya tambahkan lagi, faktor deindividuasi dan anonimitas sebenarnya kurang berpengaruh di sini. Mereka tidak diberi seragam dan perlengkapan yang membuat mereka meluruhkan identitas personalnya dan menjadi peran yang diberikan kepada mereka. Mereka juga tidak melihat ada partisipan lain sebagai musuh mereka, melainkan mereka hanya diberitahu bahwa mereka punya musuh yang akan mengganggu mereka bekerja. Ada partisipan yang ngomong, "Eh, tahu nggak, saya kok nggak yakin ya ada tim lain di sini yang jadi musuh kita." Sepertinya hal-hal tersebut cukup membuat mereka kurang menjiwai peran mereka. Mereka masih bisa mengenal diri mereka sendiri. Itu bisa dimengerti karena akan sangat sulit mau mereplikasi SPE sesuai dengan aslinya tanpa harus melanggar kode etik yang sudah dibuat.

Akhirul kalam, terima kasih sudah mau membaca tulisan yang cukup panjang ini sampai habis. Semoga kalian tidak bosan dan bisa menikmatinya. Terutama sekali, semoga tulisan ini bermanfaat buat teman-teman semua.

**Disclaimer: Tulisan ini sewaktu-waktu bisa mengalami perubahan disesuaikan dengan bacaan atau tontonan yang bisa saja bertambah di masa yang akan datang.

2 comments

  1. Saya jd teringat akan pertunjukan Rhytm 0 oleh Marina Bramovic. Sadis jg melihat org yg diberi kuasa penuh atas sesuatu atau seseorang .

    Masalah deindividu itu nyata adanya di kehidupan nyata euy

    ReplyDelete
    Replies
    1. Contoh deindividuasi itu banyak sekali kok, Om. Nggak mesti contoh yang buruk. Contoh yang baik juga ada, misalnya paduan suara atau kelompok tari.

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.