Mengapa Kita Senang Curhat di Media Sosial?

Sekitar satu minggu yang lalu saya meracau di Plurk. Saya akan menuliskan kembali racauan saya tersebut di sini demi arsip yang lebih rapi. Tentunya sudah saya tambahkan di sana-sini supaya lebih enak dibaca. Setidaknya buat saya. 

Jadi begini. Tiba-tiba saja saya kepikiran acak. Saya sekarang bisa paham kenapa orang-orang senang mencurahkan isi hatinya di media sosial. Entah itu di platform Twitter, Instagram, Plurk, blog, atau platform yang lain. Saya termasuk bagian dari kelompok orang tersebut. 

Berkaca dari pengalaman pribadi, saya suka curhat di media sosial, terutama di blog, karena saya tahu ada yang baca. Entah siapa, tetapi saya percaya ada saja yang baca. Dari situ ada interaksi yang terjalin dan itu berarti ada atensi. Sebagai manusia yang sedikit narsis (disclaimer: ini self-proclaim ya karena saya belum pernah didiagnosis narsistik), saya menyukai perhatian yang diberikan. Bukankah kita semua sebagai manusia suka dengan perhatian? 

Penggemar: Kalau begitu, kenapa kamu tidak menulis saja di jurnal online seperti Journey, Kim? Atau, curhat saja dengan sahabat?

Saya tetap menulis di Journey kok. Di sana saya khusus menulis hal-hal yang sangat rahasia. Di sana juga saya mencatat keseharian saya. Hanya saja, entah kenapa, beda rasanya menulis untuk diri sendiri ketika tidak ada yang baca dengan menulis tapi tahu ada yang baca. Mungkin itu alasan mengapa saya tetap menulis di blog hingga saat ini. Sementara untuk bercerita dengan orang lain secara langsung, belakangan saya merasakan sedikit kesulitan. 


Foto oleh Gabby K dari Pexels


Atau, bisa saja ini adalah wujud pelampiasan karena aslinya saya kesepian di dunia nyata. Bisa juga karena saya tidak terlalu pandai bergaul di sana. Sebagai makhluk sosial, saya butuh interaksi dengan manusia lain. Maka larilah saya ke internet. Saya mulai berkeliaran di dunia ini secara serius sejak 2006 (sebenarnya lebih awal dari itu, tetapi dulu belum serius-serius amat dan belum paham-paham amat). Saya yakin saya tidak merasakan hal seperti ini sendirian.

Tentunya ada hal positif dan negatif dari curhat di media sosial. Positifnya, kita bisa bertemu dengan orang-orang yang cocok dengan kita. Kita mendapatkan komentar yang positif, memberi semangat, dan perhatian. Kita sering melihat dan mendengar cerita banyak orang menjalin pertemanan, bahkan persaudaraan, dari internet. 

Negatifnya, kita tidak bisa mengontrol semua komentar yang masuk. Kita tidak bisa mengatur orang lain berkomentar seperti apa. Hasilnya ya ada saja yang berkomentar buruk. Tidak sedikit juga kita mendengar cerita ada orang-orang yang dirundung oleh warganet. Jikalau kita tidak memiliki mental yang kuat, niscaya kita akan jadi kepikiran dan stres.

Saya sadar mental saya bukan terbuat dari baja. Jadinya, tetap ada konten yang saya saring terlebih dahulu sebelum saya memutuskan untuk menuliskannya di internet, terutama di blog. Soalnya Kimi's Akademos kan sebuah jurnal personal yang terbuka. Siapapun bisa mengakses dan membacanya. Saya takut kalau saya menulis sembarangan nanti ada yang tersinggung kemudian menjerat saya dengan UU ITE. Saya juga tidak sanggup untuk menerima komentar berupa cacian dan makian. Makanya saya berhati-hati sekali dalam menulis di sini.

Biasanya kalau saya ingin curhat atau misuh secara spontan, saya membuat utas di Plurk (yang akunnya saya gembok). Di sana juga saya bisa curhat secara anonim. So, ketika pikiran gelap datang dan saya tahu saya harus meluapkannya, atau ketika saya ingin mengoceh isu-isu sensitif, saya bisa menggunakan fitur tersebut.

Sebelum tulisan ini semakin melantur, hal inti yang ingin saya sampaikan adalah tidak apa-apa kalau ingin curhat di media sosial. Hanya saja, kita tetap harus berhati-hati dengan alasan yang sudah saya jelaskan di atas. 

Jadi, kalian ingin curhat apa hari ini?

4 comments

  1. Pas banget nih (walau sebenarnya bukan bahasan utaman di tulisan ini)! Beberapa hari lalu nyobain aplikasi jurnal/diary di Android. Bukan karena malas nulis pakai tangan, karena sejak 3 tahun lalu beli ini: https://www.plurk.com/p/nahzww dan rupanya makin tahun justru makin menarik karena jadi bisa lihat kejadian2 di hari yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, tapi karena sebulan belakangan hidup nomaden dan repot kalau harus bawa2 buku dan alat tulis segala. Jadi untuk sementara ditulis di aplikasi dulu.
    Tadinya mau nyoba Journey tapi kok biaya berlangganannya mahal. Akhirnya nyobain "My Diary". Aplikasi jurnal Kelebihannya memang di kemampuan untuk menyisipkan foto, catatan suara, mood, dll ya. Tapi kekurangannya adalah...terasa kurang "manusia" karena bukan tulisan tangan.

    Maafkan komentar panjang lebar padahal OOT. Hahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mas, gpp. Di sini mah bebas mau komentar OOT juga. Btw, di Journey gak ada lagi opsi buat beli sekali bayar ya, Mas? Dulu aku beli yang sekali bayar aja. Memang masih dapat tawaran buat yang berlangganannya, tapi aku malas. Fitur tambahannya gak penting.

      Delete
  2. Saya gak paham psikologi, tapi menurut saya umumnya orang ingin didengar. Kalau dia curhat sebagai si alias dengan nama samaran ya cuma ingin menyalurkan keluhan saja. Setelah itu lega. Mungkin sebagai arsip tak perlu ditengok lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, terkadang kita curhat hanya untuk meluapkan emosi. Yang penting lega dulu uneg-uneg sudah keluar.

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.