Obrolan Bareng Meutia

Senin sore tanggal 29 Mei 2023, saya keluar dari Yogya Ciwalk sambil menenteng plastik belanja. Di sana saya membeli dua helai pakaian sejenis kemeja berwarna biru muda dan pink. Warnanya lembut dan cantik, harganya pun sedang diskon. Jadi, saya pikir, kenapa tidak beli saja? Toh, saya juga memang sedang butuh pakaian semiformal yang bisa dipakai untuk acara santai dan acara yang lebih serius. 

Tujuan saya setelah dari Yogya Ciwalk adalah Upnormal. Letaknya tidak terlalu jauh dari Yogya. Cukup keluar dari Ground Floor dan ke arah Broadway. Karena sebelumnya saya sudah pernah ke sini tidak butuh waktu lama--hanya sekitar lima menit--saya sudah sampai di Upnormal. Di sini saya akan bertemu dengan Meutia. Sebelum saya ke Bandung saya sudah mengabari Meutia dan mengajaknya untuk bertemu. Alhamdulillah, Meutia ada waktu luang dan bersedia untuk bertemu dengan saya. 

Sebelum masuk ke Upnormal, saya melihat dari belakang sosok perempuan memakai baju dan hijab berwarna hijau sage. Sosoknya seperti Meutia. Saya ingin menegur, tetapi takut salah. Seolah menyadari kehadiran saya, perempuan itu menoleh. Benar, itu Meutia. Kami bertegur sapa dan berangkulan hangat.

Meutia memilih tempat duduk yang sama seperti waktu pertemuan pertama kami di bulan Maret 2023 lalu. Tidak ada perubahan dari tempat ini. Masih sama seperti dua bulan yang lalu. Hal yang berbeda adalah dua orang yang duduk berhadapan di meja ini. Dua bulan berselang dari pertemuan terakhir kami, meski belum terlampau lama, tentu kami berubah. Kami membawa cerita dan pengalaman baru.

Meutia menanyakan saya ingin memesan apa. Karena saya masih kenyang, saya hanya memesan minuman. Saya pesan susu almond, yang ternyata rasanya terlalu manis. Saya sudah tidak suka dengan makanan dan minuman yang terlampau manis, jadi saya membuat pesanan lagi. Kali ini saya pesan es teh tawar.

Bertemu dengan Meutia seperti bertemu dengan teman lama yang sudah kenal dekat. Kami seperti tidak pernah habis bahan obrolan. Padahal kami kenalnya dari Twitter. Lebih tepatnya, saya mengikuti akun Twitter Meutia terlebih dahulu. Baru kemudian Meutia mengikuti balik akun saya.

Karena kami sama-sama pengguna Twitter yang lumayan aktif, obrolan kami buka dengan membahas kejadian yang sedang ramai di Twitter. Kami membahas satu akun yang dirundung massal hanya karena ia membahas buku tentang LGBTQ+. Akun tersebut menyatakan bahwa dirinya seorang sekutu (ally) bagi teman-teman LGBTQ+. Kelanjutannya sudah dapat ditebak, twitnya viral dan ia "habis" diserang warganet. Ia mendapat ancaman, caci maki, dan ujaran kebencian lain dalam bentuk paling jahat, kejam, menjijikkan yang bisa dibayangkan. 

Dari pengamatan santai selama ini, saya melihat sepertinya musuh bersama warganet itu ada dua: feminisme dan LGBTQ+. Double kill kalau kamu adalah pendukung keduanya. Saya menyampaikan itu ke Meutia dan ia sepakat. 

Seandainya kamu mengetwit mendukung feminisme dan/atau LGBTQ+ secara terang-terangan, twitmu akan cepat viral dan niscaya tab mentions-mu akan penuh dengan sumpah serapah. Saya paham kalau ada yang tidak sepakat dengan isu feminisme dan LGBTQ+, tetapi kalau sampai menyerang secara membabi buta sampai-sampai mengancam akan membunuh atau memperkosa? Itu yang tidak saya paham. Jempol-jempol mereka terlampau kejam bersembunyi di balik anonimitas. Mereka tidak peduli bahwa orang yang mereka ancam itu adalah manusia, sama seperti mereka. 

Saya bilang ke Meutia, dulu saya sama seperti orang-orang itu. Meski tidak sampai ikutan merundung, tetapi saya memang buta soal feminisme dan LGBTQ+. Saya tidak tahu, tetapi bersikap paling sok tahu. Saya bersikap nyinyir dan memandang feminis juga LGBTQ+ adalah orang-orang berdosa. Iya, dulu saya pernah konservatif. 

Namun, lama-lama saya penasaran. Saya mencoba untuk lebih terbuka. Saya belajar untuk melihat dari sudut pandang feminis dan LGBTQ+. Saya membaca lebih banyak tentang isu-isu terkait. Pandangan saya pun menjadi terbuka.

Saya dan Meutia sepakat tidak apa-apa kalau orang lain tidak setuju dengan LGBTQ+ dengan alasan ajaran agama atau apa pun, tetapi tolong hargai mereka sebagai manusia. Janganlah mereka semakin didiskriminasi. Mereka juga makhluk Tuhan. Kalau meyakini mereka sudah berdosa, biarkan itu menjadi urusan pribadi mereka dengan Tuhan. Kita tidak berhak ikut campur. Sementara, soal feminisme, sebelum marah-marah dan memaki-maki feminisme, tidak ada salahnya lho untuk belajar dulu mengenai feminisme. Seru kok belajar feminisme. 

Obrolan kami kemudian beralih ke soal agama, lebih tepatnya tentang hadis. Dari Meutia, saya belajar untuk berhati-hati dalam menyikapi hadis. Meutia mengajari saya untuk bersikap kritis terhadap hadis yang saya dengar. Untuk orang yang minim ilmu seperti saya, ada baiknya saya bertanya dulu ke mereka yang lebih paham. Jangan langsung percaya. Meutia menyebutkan 1--2 hadis yang sering kita dengar, tetapi sebenarnya hadis tersebut problematik. Saya tidak akan membahas di sini lebih lanjut hadis apa yang dimaksud karena saya juga takut salah. Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, saya tidak punya ilmu tentang hadis. 😆

Setelah hadis, obrolan kami menjadi lebih personal. Saya bertanya ke Meutia sedang sibuk apa sekarang, bagaimana dengan studi S3-nya, dan juga kisah cintanya. Hahaha... Saya memang sekepo itu. Untung Meutia tidak berkeberatan dengan pertanyaan-pertanyaan kepo saya. Oh iya, kami juga tentu tidak lupa untuk bergosip dan membicarakan negara. 🤭

Tidak terasa kami sudah mengobrol ngalor-ngidul selama kurang lebih 2,5 jam, bahkan mungkin hampir tiga jam. Waktu menunjukkan hampir pukul 9 malam. Saya tidak ingin menahan Meutia lebih lama. Ia harus segera pulang. Jalanan malam di Bandung ternyata tidak aman-aman banget. Saya tidak mau Meutia kenapa-kenapa. Apalagi ia naik motor sendiri. 

Pertemuan pun kami sudahi. Sebelum kami berpisah, Meutia mengambil foto untuk kenang-kenangan. Sesuai dengan janji saya di sini, saya akan unggah foto kami berdua. Saya mau kalian juga melihat pesona Meutia karena saya tidak mau terpesona sendirian. 😄


5 comments

  1. Nice Writing Mba Kimi.. As always. 🥹🥰
    Aku pun ikut sepakat. Sumpah nitizen tuh kalau udah bully. Ya Ampun sampe lupa kalau mereka tuh manusia. Kadang tulisannya terlalu kejam buat dibaca. Makanya, kalau di Ig atau manapun aku cenderung menjauhi postingan atau berita yg mancing opini nggak jelas... Bukannya apatis atau gimana, tapi terkadang aku kalau sudah masuk agak mudah terpancing..

    Terus Ngomong soal LGBTQ+ aku pun kurang suka dengan respon masyarakat kita yang isinya perundungan. Soalnya terkadang mereka berbicara seakan dirinyalah yang paling benar. Agak sedih sih, padahal kalau mau ditelisik lebih dalam atau mungkin bersosialisasi dengan mereka (LGBT). Isi hatinya lebih kompleks daripada yang kita kira.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam buat Mba Meutiaaa... 😁

      Delete
    2. Kalau ada berita atau posting yang mancing opini gak jelas, sebaiknya memang tinggalin aja. Aku juga gitu. Daripada menghabiskan energi baca komen2 yang bikin jadi darah tinggi mending waktunya dipake buat yang lain.

      Btw, salam kamu sudah aku sampaikan ya ke Meutia. Katanya salam kembali. 😁

      Delete
  2. Wait, Yogya Ciwalk itu di bandung ya? Agak not make sense aja dari jogja ke bandung, secepat itu??!!!!

    Topik pembahasan kalian berat ya. Saya sama Park Choi cuma bahas kehidupan sehari hari saja pulang ke rumah sampai jam 12 atau 1 pagi. Emang teman saya itu kayak lambe turah versi pemalu aja.

    Tapi senang punya teman untuk berbagi cerita. Long last for both of you.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul. Senang rasanya kalau punya teman berbagi cerita. Kamu dan Park Choi semoga awet juga pertemanannya.

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.