Wawancara Itu Tidak Pernah Mudah

Saya termasuk orang yang penuh persiapan. Ibarat kata kalau mau pergi perang, malam sebelum berangkat pasti semuanya sudah saya siapkan. Ya barang-barang untuk perangnya dan juga mental tentunya saya siapkan.

Penggemar: Halah, Kim. Kamu itu ngasih contoh kok ya pergi perang. Memangnya mau perang apa?

Iya, perang kehidupan. Halah. Kalau kata Pat Benatar, "Love is a battlefield.", maka kata saya life is a battlefield. *iya, tahu deh saya ngarang. Gak usah banyak protes gitu deh!*

Contoh lainnya nih ya yang masih membekas di kepala adalah sewaktu saya akan sidang skripsi setahun dua bulan yang lalu. Dua-tiga hari sebelum sidang, saya latihan. Saya bikin pertanyaan sendiri, kira-kira apa yang bakal ditanyakan oleh dosen penguji, dan menyiapkan jawabannya. Saya juga latihan presentasi di depan teman-teman saya dan meminta masukan mereka kira-kira apa saja biasanya yang ditanyakan selama sidang.

Alhasil sidang skripsi saya mantap. Saya jadi pede sewaktu presentasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Meski jujur saja sih memang ada yang belepotan juga jawabnya. :O

Begitu juga sewaktu wawancara kerja. Di tahap wawancara pertama saya belepotan banget karena saya tidak mempersiapkan apa-apa. Jadinya saya jawabnya kebanyakan ngeles. Hihihihi... Jadi malu deh saya. Tapi, meski wawancara pertama tidak begitu sukses, saya jadi mencambuk diri saya untuk bisa lebih baik lagi kalau-kalau saya dipanggil untuk tahap selanjutnya (baca: wawancara berikutnya). Cara saya mencambuk diri ya latihan wawancara sendiri lha. Saya melakukan wawancara imajiner. Masa' iya saya mau cambuk-cambuk sendiri badan saya pakai tali pecut kuda? *kriuk* *garing*

Syukur Alhamdulillah, saya lumayan berhasil di wawancara kedua. Dengan sedikit pede saya yakin saya lolos tahap wawancara kedua ini. Sekarang tinggal tunggu panggilan untuk wawancara berikutnya. Dan selama menunggu itu saya tetap latihan wawancara, juga baca-baca (kalau baca-baca mah memang sudah kegiatan saya sehari-hari). 

Tidak lama dari wawancara kedua, saya ditelpon untuk siap-siap wawancara ketiga. Kali ini saya akan diwawancarai oleh bos setempat di perusahaan itu. Saya tidak begitu deg-degan meski kali ini yang mewawancarai saya adalah bos setempat. Saya selalu menanamkan di otak saya siapapun yang mewawancara saya, entah itu dosen penguji ataupun calon bos, anggap saja mereka itu teman ngobrol atau teman diskusi. Hasilnya? Ya itu tadi: tidak begitu deg-degan dan bisa lebih santai menghadapinya.

Sama seperti sebelum sidang skripsi, kali ini saya juga membuat sendiri pertanyaan-pertanyaan yang kira-kira akan ditanya. Saya juga latihan wawancara dengan ayah saya. Karena merasa sudah siap, saya pun santai-santai saja menyambut wawancara ketiga. Dan seperti yang sudah saya duga, beberapa pertanyaan yang sudah saya prediksi ternyata ditanya juga. Tapi... *kenapa sih selalu ada "tapi"?* ternyata ada juga pertanyaan yang tidak saya duga. Pertanyaan itu adalah, "Apa visi dan misi kamu? Kenapa kamu mau bekerja di sini?"

DUARRR!!!

Pertanyaan visi-misi itu gampang-gampang susah. Saya sudah punya gambaran visi-misi saya apa dalam hidup ini. Garis besarnya apa. Tapi, belum saya rangkai dalam kata-kata yang tegas dan jelas. Sehingga saya pun menjawabnya muter-muter. Ditambah dengan gaya sok filosofi sedikit *ini serius*, saya menjawab pertanyaan visi dan misi saya yang sok idealis itu, baru kemudian saya menjawab kenapa saya mau bekerja di perusahaan itu.

Kemudian dari selesai wawancara sampai detik ini saya masih kepikiran pertanyaan dari calon pak bos saya. *kepedean* Serius. Saya mikirnya itu kan sebenarnya dua pertanyaan itu adalah satu pertanyaan. Pertanyaan visi-misi dan alasan kenapa saya mau bekerja di sana itu dapat digabung. Bukan pertanyaan terpisah. Mungkin maksudnya visi-misi saya seandainya saya bergabung di perusahaan tersebut dan alasan saya. Bisa saja saya menjawab, "Saya telah mempelajari sedikit mengenai perusahaan ini dan saya merasa cocok untuk bekerja di dalamnya. Visi-misi perusahaan, prinsip perusahaan, dan nilai-nilai perusahaan ini sejalan dengan apa yang menjadi visi-misi saya, prinsip saya, dan nilai-nilai yang saya anut." 

Iya, tahu sih itu jawabnya sok diplomatis banget. Tapi, itu masih mending ketimbang jawaban yang saya kasih waktu itu.

Penggemar: Memang waktu itu kamu jawabnya apa, Kim?

Ada deh. Kalian mau tahuuuuu aja! Pokoknya waktu itu saya jawabnya #ngok banget deh. :r

13 comments

  1. wah kalau saya malah kebalikan... tidak suka siap siap... selalu maju aja percaya diri... hehehe interview juga bisanya bawa badan aja.. gimana nanti saja... hahaha semoga sukses interviewnya ya...

    ReplyDelete
  2. wah, besok-besok kalau masih wawancara lagi, siapin recorder kecil, trus aku pengen deh denger jawaban jawaban kamu, hehe

    ReplyDelete
  3. perusahaan apa tuh? wawancaranya sampai tiga lapis...
    semoga keterima :)

    ReplyDelete
  4. passion ya mbak? kalau ditanya tentang passion kita bekerja, mayoritas menjawab karena materi (uang .red). Jarang ada yang ,memiliki passion bekerja keras tanpa imbalan materi yang cukup tapi mendapatkan "sesuatu" yang lain. Kalau salah jawab bisa dimanfaatkan oleh perusahaan lho.

    ReplyDelete
  5. @ wihikan mawi wijna
    Masa' sih kalau salah jawab bisa dimanfaatkan perusahaan? Baru tahu saya.

    ReplyDelete
  6. @ Huda Tula
    Perusahaan apa ya? Ada deeeeh... Yang penting keterima dulu. Hehehehe...

    ReplyDelete
  7. @ jarwadi
    Ahahahahahaha... Gak ah! Malu! :">

    ReplyDelete
  8. @ Applausr
    Alhamdulillah, Mas, dari wawancara terakhir kemarin saya sudah dipanggil untuk tes kesehatan. Sekarang tinggal tunggu saja hasil dari tes kesehatan itu bagaimana. Mudah-mudahan lolos. Amiiiin...

    ReplyDelete
  9. iya mbak, kan apa yang kita ungkapkan saat wawancara itu bisa berbalik menjadi "mencelakai" diri sendiri. Gampangnya gini, kalau ditanya "bisa nggak bekerja di bawah tekanan?" jangan asal bilang "iya". Soalnya bisa dimanfaatkan perusahaan. Bisa jadi sudah lewat jam kerja pun mbak masih bakal "diteror" oleh urusan pekerjaan yang belum selesai. Itu contoh kecilnya aja sih. Yang jelas kita punya ritme kerja, dan perusahaan punya ritme kerja juga. Jangan sampai ritme kita dikuasai oleh ritme perusahaan yang membuat kerja kita nggak nyaman aja. Emangnya kerja hanya perkara mencari uang? hehehe

    ReplyDelete
  10. sukses ya, kim
    eh saya pernah dua kali ikutan wawancara pas mau nyoba kerja dulu
    dan deg-degan, apalagi pas ditanya mau gaji berapa :|

    ReplyDelete
  11. @ warm
    Terima kasih, Om. Btw, kalau soal gajinya mah di tempat aku ngelamar gak bisa tawar menawar. Jadi terima aja deh tuh perusahaan mau kasih berapa selama cukup membiayai keperluan hedonku. *halah*

    ReplyDelete
  12. prinsip hidup yang bagus
    tapi kenapa ya aku ga bisa juga ngelakuinnya
    hehe payah ya..?

    ReplyDelete
  13. @ Rawins Mumet
    Mungkin karena prinsip hidup kita berbeda? :P

    ReplyDelete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.