Perilaku dan Sikap

*Tulisan ini adalah rangkuman berseri dari buku Social Psychology karangan David G. Myers. Untuk Bab 3 bisa dibaca di sini.
**Tulisan ini cukup panjang. Jika kalian lelah, ada baiknya beristirahat dulu baru nanti dilanjut lagi bacanya.

***

Chapter 4: Behavior and Attitudes

How Well Do Our Attitudes Predict Our Behavior?

Attitudes jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya sikap. Sementara definisinya, yaitu:

A favorable or unfavorable evaluative reaction toward something or someone (often rooted in one’s beliefs, and exhibited in one’s feelings and intended behavior).

Jadi, attitude adalah reaksi evaluatif positif atau negatif terhadap sesuatu atau seseorang, biasanya berakar dari keyakinannya dan ditunjukkan melalui perasaan dan perilaku. Seseorang bisa punya sikap negatif terhadap kopi, sikap netral terhadap orang Prancis, dan sikap positif terhadap cowok ganteng tetangga kosan sebelah. Halah, contoh terakhirnya.

Attitude ini memiliki tiga komponen, seperti gambar di bawah ini:


ABC Models of Attitudes
klik gambar untuk memperbesar


Penjabarannya kalau dari Simply Psychology seperti ini:

a. Affective component (komponen afeksi) : melibatkan perasaan atau emosi seseorang terhadap suatu objek. Contoh: "Saya takut laba-laba."

b. Behavioral component (komponen perilaku) : cara dari sikap yang kita punya memengaruhi bagaimana kita bertindak atau berperilaku. Contoh: "Saya menghindari laba-laba dan akan teriak kalau melihat laba-laba."

c. Cognitive component (komponen kognitif) : melibatkan pengetahuan/wawasan/keyakinan terhadap suatu objek. Contoh: "Saya yakin deh kalau laba-laba itu berbahaya."

When Attitudes Predict Behavior

The theory of planned behavior:


klik gambar untuk memperbesar


Teori planned behavior ini dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein. Teori ini untuk mengetahui perilaku apa yang ingin dicapai oleh individu dan persepsi mereka akan self-efficacy yang mereka miliki dan kontrolnya. 48 eksperimen yang dilakukan mengonfirmasi bahwa ketika ada tujuan yang baru akan menghasilkan perilaku baru. Bahasa mudahnya mungkin seperti di mana ada niat, di situ ada jalan. Halah.

Jadi, pertanyaan apakah sikap dapat memengaruhi munculnya sebuah perilaku jawabannya adalah ternyata sikap bukan prediktor yang baik akan muncul atau tidak sebuah perilaku. Sikapmu mungkin menunjukkan bahwa kamu membenci mantanmu dan berniat tidak akan meladeninya seandainya dia menghubungimu. Namun, begitu dihubungi perilakumu adalah meladeninya. Ehehe. Sounds familiar? :P

When Does Our Behavior Affect Our Attitudes?

Jika sebelumnya kita membahas sikap dapat memengaruhi perilaku, sekarang kita akan membahas perilaku dapat memengaruhi sikap kita. 

Role Playing

Setiap dari kita mempunyai peran untuk dimainkan dalam kehidupan sehari-hari. Coba diingat-ingat sewaktu hari pertama kalian menjadi mahasiswa baru. Bagaimana perilaku kalian? Jaim, masih adaptasi? Lama-lama kalian merasa nyaman dan menjadi diri kalian sendiri. 

Role : A set of norms that defines how people in a given social position ought to behave.

Ada satu penelitian eksperimen Psikologi yang sangat terkenal, yaitu Stanford Experiment. Saya sudah pernah membahasnya di sini. Eksperimen tersebut menunjukkan bahwa orang-orang biasa dengan kondisi mental yang sehat, ketika diberi peran sebagai sipir penjara dan tahanan kemudian berperilaku selayaknya mereka benar-benar merasa sebagai sipir dan tahanan, ternyata dapat memengaruhi sikap mereka. Partisipan yang berperan sebagai sipir menjadi bertindak di luar ketentuan yang seharusnya. Mereka merendahkan tahanan dengan memberi hukuman, mengata-ngatai mereka, dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa orang baik diberikan kesempatan atau berada dalam sebuah situasi untuk menjadi jahat, maka dia bisa menjadi jahat.

Saying Becomes Believing

Tory Higgins dan koleganya melakukan penelitian terkait ini. Partisipan mereka adalah mahasiswa. Mereka diminta untuk membaca deskripsi kepribadian seseorang (A) dan kemudian merangkumnya untuk orang lain (B) yang dipercaya menyukai atau tidak menyukai si A. Mahasiswa tersebut menulis deskripsi positif jika B menyukai A. Sesudah menulis deskripsi positif tentang A, para partisipan tersebut menjadi menyukai A juga. Bahkan ketika diminta untuk recall apa yang sudah mereka baca, partisipan mengingat deskripsinya menjadi lebih positif dari sebenarnya.

In short, people tend to adjust their messages to their listeners, and, having done so, to believe the altered message.

The Foot-in-the-Door Phenomenon

The foot-in-the-door adalah sebuah teknik untuk meminta bantuan kepada seseorang, dimulai dari permintaan yang sederhana sebelum nantinya meminta bantuan untuk hal yang lebih besar.

The tendency for people who have first agreed to a small request to comply later with a larger request.

Misalnya, Susi pada awalnya diminta oleh Anggi membantu berjualan donat dalam rangka mencari dana kegiatan kampus. Susi menyanggupi, tetapi lama-kelamaan Susi menjadi bendahara kegiatan. Perilaku awalnya, yaitu berjualan donat, memengaruhi sikap Susi terhadap kegiatan kampus tersebut. Dia menjadi merasa bertanggung jawab dan ketika diminta untuk menjadi bendahara, dia pun menyanggupi.

Evil and Moral Acts

Hal serupa juga terjadi pada perbuatan jahat. Contohnya tentara yang menjaga kamp perang. Awalnya mereka bisa bersikap baik pada tawanan. Namun, setelah dia diminta untuk membunuh tawanan, dia pun menjadi berubah sikapnya. Dia mulai merendahkan para tawanan dengan memanggil mereka dengan nama-nama yang tidak baik.

Perbuatan jahat dapat membentuk self, demikian juga dengan perbuatan baik. Saya kutip langsung saja dari bukunya ya:

Moreover, positive behavior fosters liking for the person. Doing a favor for an experimenter or another participant, or tutoring a student, usually increases liking of the person helped (Blanchard & Cook, 1976). It is a lesson worth remembering: If you wish to love someone more, act as if you do.

Why Does Our Behavior Affect Our Attitudes?

Bagaimana bisa perilaku memengaruhi sikap kita? Psikologi Sosial mencoba menjawabnya dengan tiga teori. Pertama, self-presentation theory. Kedua, cognitive dissonance theory. Ketiga, self-perception theory.

Self-Presentation: Impression Management

Kita selalu berusaha menampilkan sisi terbaik dari diri kita. Dan kenapa kita melakukannya? 

We see making a good impression as a way to gain social and material rewards, to feel better about ourselves, even to become more secure in our social identities (Leary, 1994, 2001, 2004b, 2007).

Tidak ada dari kita yang ingin terlihat tidak konsisten. Jadi, teori ini menjelaskan jika kita ingin terlihat konsisten, kita menunjukkannya dengan mengekspresikan sikap kita sejalan dengan perilaku. Mungkin nantinya menjadi seperti hipokrit. Tapi, ya, demi pencitraan apa boleh buat...

Self-Justification: Cognitive Dissonance

Kita merasakan ketidaknyamanan jika terdapat perbedaan, atau pertentangan, antara dua pikiran atau keyakinan yang berbeda. Misalnya, sewaktu Perang Irak 2003 yang lalu. Amerika berdalih menyerang Irak karena mereka menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal. Ternyata senjata tersebut tidak ditemukan. Rakyat Amerika pun mengalami disonansi kognitif. Mereka selama ini dibuat percaya ada senjata pemusnah massal sebagai pembenaran AS untuk menyerang Irak, ternyata senjata tersebut tidak ada. Untuk mengurangi disonansi kognitif pada rakyatnya, pemerintah AS pun memberikan alasan lain untuk justifikasi, seperti Saddam Hussein adalah seorang diktator yang semena-mena terhadap rakyatnya.

Definisi lengkapnya dari buku Myers:

Cognitive dissonance is the tension that arises when one is simultaneously aware of two inconsistent cognitions. For example, dissonance may occur when we realize that we have, with little justification, acted contrary to our attitudes or made a decision favoring one alternative despite reasons favoring another.

Kalau dari Simply Psychology:

Cognitive dissonance refers to a situation involving conflicting attitudes, beliefs or behaviors. This produces a feeling of mental discomfort leading to an alteration in one of the attitudes, beliefs or behaviors to reduce the discomfort and restore balance.

Self-Perception

Self-perception theory is the theory that when we are unsure of our attitudes, we infer them much as would someone observing us, by looking at our behavior and the circumstances under which it occurs.

Self-perception ini seperti self-observation. Ketika kita melakukan sebuah kegiatan, tetapi tidak yakin, kemudian kita mengobservasi diri kita sendiri seolah-olah ada orang lain yang mengobservasi kita dan menyimpulkan kenapa kita melakukan hal tersebut. Misalnya, saya galau ingin makan mie instan. "Ah, saya makan mie instan lagi. Ini pasti karena saya suka mie instan."

Perbedaan ketiganya lebih mudah jika dilihat dari gambar di bawah ini:


klik gambar untuk memperbesar


Jadi, bagaimana? Sudah mulai seru belum belajar Psikologi Sosial-nya? Pasti sudah. He, he. Kalau sudah merasa seru, tungguin terus update di blog ini ya! Sampai jumpa di bab berikutnya!

Daftar Pustaka:

1. Myers, D. G. (2010). Social psychology (10th ed.). New York: McGraw-Hill.

2. McLeod, S. (2018). Attitudes and behavior. Simply Psychology. Retrieved June 9, 2020, from https://www.simplypsychology.org/attitudes.html 

3. McLeod, S. (2018, February 5). Cognitive dissonance. Simply Psychology. Retrieved June 9, 2020, from https://www.simplypsychology.org/cognitive-dissonance.html 

2 comments

  1. Makin seru nih, Mbak Kimi. Dinantikan chapter selanjutnya. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menyenangkan rasanya rangkuman berseriku dibilang seru dan dinantikan bab berikutnya. Jadi makin semangat buat menulis. Terima kasih ya, Bang. :D

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.