Menolong

*Tulisan ini adalah rangkuman berseri dari buku Social Psychology karangan David G. Myers. Untuk Bab 11 bisa dibaca di sini.
**Tulisan ini cukup panjang. Jika kalian lelah, ada baiknya beristirahat dulu baru nanti dilanjut lagi bacanya.

***

Chapter 12: Helping

Why Do We Help?

Apa sajakah yang menjadi motivasi individu dalam menolong?

Social Exchange and Social Norms

Beberapa teori dengan topik menolong, dalam jangka panjang akan memberikan manfaat baik kepada pemberi maupun kepada penerima. Satu penjelasan mengasumsikan interaksi manusia dikendalikan oleh "ekonomi sosial". Kita tidak hanya saling bertukar uang dan barang, melainkan juga barang-barang sosial, seperti cinta, jasa, informasi, dan status (Foa & Foa, 1975). Pada praktiknya, kita berusaha untuk meminimalkan usaha dan memaksimalkan manfaatnya (rewards). Teorinya dinamakan social-exchange theory.

Social-exchange theory: The theory that human interactions are transactions that aim to maximize one’s rewards and minimize one’s costs.

Manfaat dalam motivasi membantu ini bisa internal atau eksternal. Ketika kita mendonorkan darah, kita bisa merasakan senang telah membantu sesama (internal). Atau, perusahaan menggelontorkan dana CSR (corporate social responsibility) bisa juga bertujuan untuk membangun citra positif (eksternal). Kita memberi untuk mendapatkan. Oleh karena itu, kita paling semangat jika memberi pada orang yang paling menarik buat kita, seseorang yang kita hasratkan pengakuannya (approval) (Krebs, 1970; Unger, 1979).

Terkadang kita membantu orang lain bukan karena secara sadar kita melakukannya karena self-interest kita melainkan karena kita seharusnya (ought to) melakukannya. Seharusnya kita menolong tetangga yang baru pindahan. Seharusnya kita mengembalikan dompet yang kita temukan. Ini adalah norma. Sementara norma itu sendiri adalah ekspektasi sosial. Terdapat dua norma sosial, yaitu the reciprocity norm dan the social-responsibility norm.

Reciprocity norm: An expectation that people will help, not hurt, those who have helped them.

Kalau ada orang lain menolong kita, kita diharapkan akan membalas kebaikan orang tersebut, tetapi balasnya dengan kebaikan juga. Jangan air susu dibalas dengan air tuba. Hihihi.

Social-responsibility norm: An expectation that people will help those needing help.

The social-responsibility norm adalah norma yang memotivasi kita untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan di kemudian hari. Misalnya, menolong orang miskin, korban bencana alam, orang disabilitas, dan lain sebagainya. Di India, di mana budayanya adalah kolektivis, orang-orang di sana lebih kuat menerapkan the social-responsibility norm ini dibandingkan di negara-negara budaya individualis (Baron & Miller, 2000). Mereka menyuarakan kewajiban untuk menolong sekalipun pertolongannya sederhana ataupun pertolongan diberikan pada mereka yang berada di luar lingkaran keluarganya.

Di negara-negara Barat, kecenderungannya orang-orang sangat selektif dalam memberikan pertolongan, terutama di golongan orang-orang yang secara politik konservatif (Skitka & Tetlock, 1993). Normanya adalah give people what they deserve. Berikanlah pertolongan jika mereka memang layak mendapatkannya. Jika mereka adalah korban bencana alam, misalnya, maka orang-orang akan menjadi bermurah hati memberikan pertolongan. Namun, jika orang-orang menciptakan sendiri permasalahannya (misalnya karena malas atau immoral), maka menurut norma mereka tidak layak ditolong.

Respon seperti itu erat kaitannya dengan atribusi. Kalau dibikin bagan, kira-kira seperti ini:


klik gambar untuk memperbesar


Evolutionary Psychology

Psikologi Evolusi juga dapat menjelaskan perilaku menolong. Seperti yang sudah kita ketahui bersama dari bab sebelumnya "pendapat inti" dari Psikologi Evolusi bahwasanya esensi hidup adalah gene survival. Keberlangsungan gen individu. Gen kita mendorong kita untuk berperilaku yang dapat memaksimalkan potensi kita untuk bertahan hidup. Nenek moyang kita memang sudah meninggal, tetapi mereka meninggalkan warisan kepada kita berupa gen. Mereka "mempersiapkan" kita untuk berperilaku secara tertentu yang nantinya akan kita wariskan lagi ke generasi berikutnya.

Menolong orang lain memerlukan pengorbanan. Tak jarang menolong juga dapat mengancam nyawa kita. Pertanyaannya, untuk apa kita menolong orang lain jika justru menolong membuat nyawa kita terancam? Bukankah kita harus tetap hidup agar dapat mewariskan gen ke generasi berikutnya? Kalau kata E. O. Wilson:

“Fallen heroes do not have children. If self-sacrifice results in fewer descendants, the genes that allow heroes to be created can be expected to disappear gradually from the population.” (E. O. Wilson, On Human Nature, 1978)

Ada dua penjelasannya, yaitu kin selection dan reciprocity

Kin selection: The idea that evolution has selected altruism toward one’s close relatives to enhance the survival of mutually shared genes.

Kita cenderung untuk menolong individu yang dekat dengan kita genetically karena bertujuan demi keberlangsungan mutual shared genes. Ada pendapat menarik dari Wilson terkait kin selection ini. Menurutnya kin selection itu “the enemy of civilization. If human beings are to a large extent guided . . . to favor their own relatives and tribe, only a limited amount of global harmony is possible”. Karena ya kin selection itu cuma mau menolong yang dekat dengan kita, misalnya keluarga dan tetangga. Bahkan, menolong orang yang ciri-ciri fisiknya sama, seperti sama-sama bermata biru. 

Genetic self-interest juga memprediksi timbal balik (reciprocity). Robert Trivers bilang sebuah organisme menolong organisme lain karena dia mengharapkan imbalan di masa depan. Jika tidak memberikan timbal balik, maka akan mendapatkan hukuman. Free riders, the cheaters, the turncoats, the traitors are universally despised. Saya sudah pernah membahas soal ini sebelumnya di "Kenapa Kita Bergosip?".

Dari tiga teori yang sudah dijelaskan, jika dirangkum dalam tabel seperti ini:


klik untuk memperbesar


Tambahan lagi:


klik gambar untuk memperbesar


When Will We Help?

Masih ingat dengan Kitty Genovese di tulisan saya yang ini? Di saat dia sudah berteriak minta tolong, tetapi tidak ada satu orang pun yang menolong dan akhirnya dia harus meninggal karena dibunuh. Pertanyaannya sekarang kapan kita mau menolong? Pada saat situasi seperti apa yang membuat kita mau atau tidak mau menolong? Kenapa perilaku menolong ini dipengaruhi oleh berapa banyak bystanders yang cuma nonton dan tidak melakukan apa-apa? 

Number of Bystanders

Pasifnya bystanders pada saat situasi genting memunculkan komentar bahwa orang-orang tersebut cuek, tidak peduli, apatis, bahkan unconscious sadistic impulses. Dengan memberikan predikat uncaring pada bystanders membuat kita, yang merasa sebagai individu penolong dan baik hati, akan dengan segera menolong begitu dihadapkan pada keadaan darurat. Akan tetapi, masa' sih bystanders itu adalah orang-orang yang tidak punya hati?

Bibb Latané dan John Darley (1970) tidak yakin. Mereka melakukan berbagai eksperimen dengan situasi darurat dan mereka menemukan bahwa kehadiran bystanders yang lain akan sangat menurunkan kemungkinan melakukan intervensi. Kenapa kehadiran bystanders lain terkadang menghalangi perilaku menolong? Latané dan Darley menduga:

As the number of bystanders increases, any given bystander is less likely to notice the incident, less likely to interpret the incident as a problem or an emergency, and less likely to assume responsibility for taking action.

Bagan di bawah ini memudahkan yang dimaksud Latané dan Darley:


klik gambar untuk memperbesar


Fenomena ini dinamakan bystander effect.

Bystander effect: The finding that a person is less likely to provide help when there are other bystanders.

Helping When Someone Else Does

Kalau kehadiran bystanders dengan sikap tidak responsifnya dapat meningkatkan ketidakpedulian orang lain, apakah dengan kehadiran satu orang yang menunjukkan niat untuk menolong dapat meningkatkan perilaku menolong juga pada orang lain? Jawabannya, bisa.

Bukti-bukti yang dipaparkan Myers sangat jelas: Prosocial models do promote altruism. Contohnya:
1. James Bryan dan Mary Ann Test (1967) menemukan bukti bahwa pengemudi di Los Angeles cenderung untuk menolong pengemudi wanita untuk mengganti ban jika seperempat mil sebelumnya mereka melihat seseorang menolong seorang pengemudi wanita mengganti ban.
2. Pada eksperimen yang lain, Bryan dan Test mengobservasi pembeli di kota New Jersey pada saat musim Natal cenderung untuk menyumbangkan uangnya pada kotak amal Salvation Army jika mereka melihat orang lain melakukan hal serupa.
3. Philippe Rushton dan Anne Campbell (1977) menemukan bukti orang-orang Inggris dewasa lebih cenderung untuk mendonorkan darahnya ketika mereka sebelumnya melihat seorang confederate melakukan donor darah.

Time Pressures

Darley dan Batson (1973) bilang, "A person not in a hurry may stop and offer help to a person in distress. A person in a hurry is likely to keep going." Mereka mendasarkan argumennya pada eksperimen Good Samaritan yang mereka lakukan. 

Similarity

Because similarity is conducive to liking (Chapter 11), and liking is conducive to helping, we are more empathic and helpful toward those similar to us (Miller et al., 2001). Bias similarity ini berlaku baik pada pakaian dan kepercayaan. Dengan seseorang berpakaian model tertentu dapat memengaruhi apakah kita mau menolong orang tersebut atau tidak. Intinya, we tend to help those whom we perceive as being similar to us.

Who Will Help?

Kita juga dapat melihat disposisi individu dalam perilaku menolong, yaitu personality traits dan nilai-nilai agama.

Personality Traits

Personality traits seperti apa yang membuat seseorang lebih sering atau cenderung untuk membantu ketimbang orang lain? Kalau kata Darley (1995), "There was no definable set of altruistic personality traits." Namun, hasil riset menunjukkan mereka yang memiliki skor tinggi di emosi positif, empati, dan self-efficacy lebih cenderung untuk perhatian dan menolong. 

Gender

Dari 172 studi yang meneliti tentang interaksi antara individu dengan situasi membandingkan perilaku menolong antara pria dan wanita. Hasilnya menunjukkan ketika dihadapkan pada situasi yang berbahaya di mana orang asing membutuhkan pertolongan (misalnya ban kempes), pria cenderung untuk memberikan pertolongan. Pada situasi yang lebih aman, seperti menjadi relawan untuk eksperimen atau meluangkan waktu bersama anak-anak berkebutuhan khusus, wanita sedikit lebih cenderung untuk melakukannya dibandingkan pria. Jika teman sedang memiliki masalah, wanita cenderung lebih berempati dan mau lebih meluangkan waktu untuk menolong.

Religious Faith

Empat agama besar -- Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha -- mengajarkan compassion dan kebaikan. But do their followers walk the talk?

Survei yang dilakukan mengonfirmasi korelasi antara faith engagement dan volunteering. People do help to act upon their religious or humanitarian values and concern for others. Hasil penelitian lain menunjukkan mereka yang relijius meluangkan waktu lebih banyak untuk menjadi relawan -- misalnya menjadi tutor -- dibandingkan mereka yang tidak relijius.

How Can We Increase Helping?

Bagaimana caranya agar kita dapat meningkatkan perilaku menolong?

Reduce Ambiguity, Increase Responsibility

Dari bagan Latané dan Darley menunjukkan dilema yang dihadapi bystander saat situasi gentingnya, seharusnya kita dapat meningkatkan perilaku menolong jika kita dapat dengan cepat membuat seseorang menginterpretasi accident secara tepat dan berasumsi bahwa dia bertanggung jawab untuk menolong. Maksudnya, kita dapat dengan segera mengetahui seseorang terluka, misalnya, dan kita segera memberikan pertolongan.

Leonard Bickman et al. (1975, 1977, 1979) merancang penelitian untuk menguji asumsi tersebut. Di sebuah toko mereka memasang papan himbauan untuk melaporkan jika melihat ada yang mengutil. Papan himbauan ini tidak terlalu memberikan efek yang berarti. Namun, jika ada di dekat mereka yang berkomentar, "Lihat deh, itu ada anak yang ngutil. Laporin yuk." Atau, "Kita melihat ada yang mencuri. Kita harus melaporkannya. Ini tanggung jawab kita." Kedua komentar sejenis itu dapat meningkatkan laporan yang mengutil.

Pengaruh personal juga kuat dalam memengaruhi orang lain untuk membantu. Banyak orang melakukan donor darah karena mendapatkan undangan atau ajakan. Ini bahasa kerennya personal appeals. Tidak hanya personal appeals dari keluarga, teman, atau orang yang sudah kita kenal, dari orang asing pun kita mau menolong. Contohnya, ada orang asing yang kebingungan mencari jalan dan menanyakan arah ke kita, "Bisa minta tolong buat antar saya ke sana, Pak/Bu?" maka kemungkinan besar kita akan mengantarkannya. 

Cara lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi anonimitas. Ketika seseorang diketahui namanya, umur, atau pekerjaan, maka besar kemungkinannya dia akan menolong ketimbang mereka yang anonim. 

Guilt and Concern for Self-Image

Rasa bersalah dapat membuat seseorang mau menolong untuk mengurangi rasa bersalah dan mengembalikan self-worth-nya. Apakah dengan mengingatkan kesalahan individu dengan tujuan menimbulkan rasa bersalah dapat meningkatkan kecenderungannya untuk membantu? Jawabannya adalah iya bisa kok. Orang yang terbebani dengan rasa bersalah adalah orang yang mau menolong.

Individu juga peduli akan citra mereka di publik. 

Door-in-the-face technique: A strategy for gaining a concession. After someone first turns down a larger request (the door-in-the-face), the same requester counteroffers with a more reasonable request.

Teknik door-in-the-face ini dapat memengaruhi self-image seseorang. 

Socializing Altruism

Altruisme itu bisa disosialisasikan. Cara-caranya sebagai berikut:

1. Teaching moral inclusion --> a first step toward socializing altruism is therefore to counter the natural in-group bias favoring kin and tribe by personalizing and broadening the range of people whose well-being should concern us.
2. Modeling altruism --> memberikan contoh perbuatan altruisme.
3. Learning by doing --> dengan membiasakan diri untuk menolong, maka kita akan terlatih untuk selalu menolong.
4. Attributing helpful behavior to altruistic motives --> by providing people with just enough justification to prompt a good deed (weaning them from bribes and threats), we may increase their pleasure in doing such deeds on their own.
5. Learning about altruism --> semakin kita belajar tentang altruisme, semakin kita memahami dan semakin membuat kita ingin menolong orang lain. 


klik gambar untuk memperbesar


Jadi, setelah mempelajari bab Helping ini, saya harap dapat meningkatkan semangat teman-teman untuk selalu menolong sesama. Akhirul kalam, sampai jumpa di bab berikutnya!

Daftar Pustaka:

Myers, D. G. (2010). Social psychology (10th ed.). New York: McGraw-Hill.

No comments

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.