Diri di dalam Dunia Sosial

*Tulisan ini adalah rangkuman berseri dari buku Social Psychology karangan David G. Myers. Untuk Bab 1 bisa dibaca di sini.
**Tulisan ini cukup panjang. Jika kalian lelah, ada baiknya beristirahat dulu baru nanti dilanjut lagi bacanya.

***

Chapter 2: The Self in a Social World

Kita semua pasti pernah mengalami kekhawatiran dinilai oleh orang lain. Misalnya, rambut yang berantakan, memakai baju yang norak, atau gugup di atas panggung saat memberikan presentasi. "Duh, gue berantakan banget penampilannya. Apa ya komentar orang-orang yang melihat?" Kita begitu khawatir, tetapi orang-orang yang melihat sebenarnya antara tidak peduli atau tidak sadar. Kitanya saja yang terlalu percaya diri merasa orang-orang sangat memperhatikan kita padahal kenyataannya tidak.

Hal itu dinamakan spotlight effect

Spotlight effect is the belief that others are paying more attention to one’s appearance and behavior than they really are.

Hal serupa juga terjadi terkait dengan emosi kita, entah itu marah, cemas, atau gembira. Kita merasa orang lain bisa membaca emosi kita semudah kita membaca buku. Sekali lagi, kita begitu terlalu percaya diri berpikir demikian karena orang-orang ternyata tidak sepeduli atau sesadar itu. Ini namanya illusion of transparency.

Illusion of transparency is the illusion that our concealed emotions leak out and can be easily read by others.

Spotlight effect dan illusion of transparency ini tentunya akan berpengaruh pada bagaimana kita bersikap dan berperilaku terhadap orang lain. Orang lain turut membantu membentuk kesadaran kita akan diri kita (our sense of self). Misalnya, kita cemas akan performa kita di kantor dan kita takut dinilai tidak kompeten, maka kita berusaha menampilkan sisi terbaik dari diri kita. 

Self-Concept: Who Am I?

Saya berani bilang bahwa manusia itu adalah makhluk yang paling percaya diri alias paling GR. Topik pembicaraan yang paling kita suka adalah tentang diri kita sendiri. Iya, 'kan? "Saya itu orangnya begini dan begitu.", "Gue habis beli iPhone keluaran terbaru.", "Aku habis menang kejuaraan makan bakso." I can give you endless examples

Maka tidak heran jikalau topik diri atau self di Psikologi termasuk yang paling banyak diteliti. Karena membicarakan tentang diri itu memang menarik. Serius. Topik self ini merupakan salah satu topik favorit saya. 

Di Psikologi ada yang namanya self-concept atau konsep diri. Mengutip Baumeister (1999) dalam situs SimplyPsychology

Self-concept is the individual's belief about himself or herself, including the person's attributes and who and what the self is.

Kalau menurut Myers:

Self-concept is a person’s answers to the question, “Who am I?”

Jadi, konsep diri adalah bagaimana seorang individu memandang dirinya sendiri. Contohnya, "Saya pintar, cantik, dan menarik." 

Dari situs Very Well Mind terdapat tiga komponen dari self-concept


klik gambar untuk memperbesar


Sementara Myers bilang di dalam self-concept ada self-schema dan possible selves. 

Self-schema is beliefs about self that organize and guide the processing of self-relevant information.

Self-schema ini sangat kuat memengaruhi bagaimana kita mempersepsikan diri, mengingat, dan mengevaluasi orang lain dan diri kita sendiri. Misalnya begini, jika saya menilai diri saya pintar maka saya akan cepat ngeh dan sadar akan level kepintaran orang lain. Halah, level kepintaran. Istilah apa pula itu.

Sementara possible selves adalah kita membayangkan diri kita menjadi yang kita inginkan atau kita takutkan. Misalnya, saya membayangkan menjadi orang kaya raya yang baik hati atau saya takut saya menjadi orang bodoh yang gampang dikibuli.

Development of Social Self



komponen The Self
klik gambar untuk memperbesar


Apa saja yang memengaruhi self-concept kita? Studi pada orang kembar menunjukkan genetik memengaruhi kepribadian dan konsep diri, tetapi begitu juga dengan pengalaman sosial. Pengaruh sosial yang dimaksud adalah:

  • the roles we play
  • the social identities we form
  • the comparisons we make with others
  • our successes and failures
  • how other people judge us
  • the surrounding culture

Dari pengaruh sosial tersebut akan membentuk social self kita, seperti peran kita sebagai anak, murid sekolah, teman kuliah, anggota klub penggemar MU.

Self and Culture


Kata kunci dari self and culture ini adalah independent self-construal dan interdependent self-construal. Saya sudah pernah membahasnya di sini dan di sini. Berhubung sudah pernah saya bahas maka saya tidak akan membahasnya lagi. Silakan teman-teman membaca tulisan saya tersebut jika tertarik.


klik gambar untuk memperbesar


By the way, saya iseng mengunggah gambar di atas karena ilustrasinya lucu warna-warnanya. Kurang lebih bisa terlihat lah ya maksud dari independent dan interdependent self-construal itu apa.

Self-Knowledge


Gnothi seauton alias know thyself alias kenali dirimu sendiri. So, seberapa jauh teman-teman mengenal diri kalian sendiri? Terkadang kita merasa kita sudah sangat mengenal diri sendiri. Cuma ya namanya juga manusia makhluk bias, kita merasa begitu, tetapi pada kenyataannya belum tentu kita mengenal diri kita dengan baik. Kenapa kalian marah? Kenapa kalian selingkuh? Kenapa kalian setia? Kenapa kalian mencintai pasangan kalian? Kenapa kalian menyakiti orang lain? Pertanyaan-pertanyaan ini pada akhirnya akan menuntun kita ke pertanyaan apa sebenarnya yang membuat kita bahagia dan tidak bahagia? Mengutip Daniel Gilbert dalam bukunya Stumbling on Happiness (2007): We are remarkably bad predictors of what will make us happy.

Self-Esteem


Self-esteem is a person’s overall self-evaluation or sense of self-worth. Bagaimana kalian menilai diri kalian? Apakah kalian memiliki high self-esteem atau low self-esteem? Kalau kalian bertanya ke saya, jawaban saya adalah self-esteem saya sangat rendah. "Penyakit" saya sejak masih kecil sampai sekarang yang tidak sembuh-sembuh. Saya tidak cantik, tidak menarik, tidak pintar, saya sendirian, dan... banyak lagi. Iya, saya tahu bahwa itu tidak baik. Saya juga masih berusaha kok untuk mencintai diri sendiri supaya saya tidak memandang rendah diri saya.

Orang-orang dengan low self-esteem cenderung memiliki banyak masalah di hidupnya. They make less money, abuse drugs, and are more likely to be depressed (Salmela-Aro & Nurmi, 2007; Trzesniewski & others, 2006). Oh, well, that explains why I'm... Ah, sudahlah.

Jika low self-esteem itu tidak baik, apakah high self-esteem itu berarti baik? Belum tentu. Malah jika tidak dipergunakan dengan cermat alias high self-esteem yang berlebihan, hasilnya malah backfire ke kita. Penelitian yang dilakukan Forsyth et al. (2007) membuktikan demikian. Jadi, ada satu kelompok riset yang dikipas-kipasi egonya sebelum ujian. Maksudnya, mereka yang ada di kelompok tersebut dibilang bahwa mereka pintar dan percaya diri. Siswa yang memiliki high self-esteem akan lebih berhasil dan mendapatkan nilai tinggi pada saat ujian. Ternyata, kelompok ini malah mendapatkan nilai rendah dibandingkan kelompok lain yang tidak dibikin tinggi egonya. Karena mereka jadi berpikir, "Gue pede kok. Gue pinter. Self-esteem gue tinggi. Gue yakin gue pasti bisa ngerjain soal ujian. Jadi, ngapain belajar?" Dan, high self-esteem ini akan menjadi semakin "menyeramkan" jika sudah bertemu dengan narsisme, kepribadian Machiavellinism, dan antisocial personality disorder (psikopat dan sosiopat).

Learned Helplessness


Learned helplessness is the sense of hopelessness and resignation learned when a human or animal perceives no control over repeated bad events.

Kalau dibikin bagan kira-kira begini:


klik gambar untuk memperbesar


Jadi yang sudah pasrahan sama nasib, berarti kalian sudah learned helplessness. Sama kayak saya. Ya sudahlah ya, hidup sudah kayak begini, terserah deh Tuhan mau memberi apalagi. Patah hati lagi? Sakit hati lagi? Dikecewain lagi? Terserah. Bodo amat.

Penggemar: Kim, nggak usah curcol...

Ehehe. Maaf ya.

Self-Serving Bias


Self-serving bias ini yang menjelaskan manusia itu makhluk bias.

Self-serving bias is the tendency to perceive oneself favorably.

Self-serving bias ini bentuknya dalam self-serving attributions.

Self-serving attributions is the tendency to attribute positive outcomes to oneself and negative outcomes to other factors.

Misalnya, saya dapat nilai A untuk mata kuliah Psikologi Sosial. Saya akan mengatribusikannya dengan, "Well, aku dapat A karena aku belajar giat." Sementara itu, jika saya tidak lulus, saya akan menyalahkan dosen yang terlalu sensitif sama saya atau waktu ujian yang kelewat singkat sehingga saya tidak bisa menjawab semua soal, atau yang lain. 

Sekian dulu dari Bab 2. Ternyata pembahasan tentang self panjang juga ya. Inipun tidak semuanya saya masukkan. Masih ada self-presentation dan turunannya yang tidak saya bahas. Soalnya saya sudah keburu capek. Ha, ha. By the way, semoga kalian yang baca tidak bosan ya.

Akhirul kalam, sampai jumpa di bab berikutnya!

Referensi:

1. Myers, D. G. (2010). Social psychology (10th ed.). New York: McGraw-Hill.

2. McLeod, S. (2008). Self concept. SimplyPsychology. Retrieved June 6, 2020, from https://www.simplypsychology.org/self-concept.html 

3. Cherry, K. (8 January 2020). What is self-concept?. Very Well Mind. Retrieved June 6, 2020, from https://www.verywellmind.com/what-is-self-concept-2795865 

2 comments

  1. Baca bagian spotlight effect ini, saya jadi inget masa-masa SMP, Mbak Kimi. Saya ikut tren banget waktu itu. Lagi musim baju Skater--apa Skaters, ya--dan celana gombrong, saya pakai itu supaya bisa tampil oke bareng temen-temen. Tapi akhir-akhir kelas 3 SMP sampai sekarang saya nggak peduli lagi soal gimana pandangan orang terhadap selera fesyen saya. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, Bang Morish hebat sejak kelas 3 SMP sudah nggak peduli sama omongan orang soal fashion. Bagus itu. Jadi gak capek ya mendengarkan komentar orang-orang. :D

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.