Gender dan Emosi

Chapter 6: Gender and Emotion

"When I get upset, I can’t express myself at all, but if my wife’s upset, you’d think you were hearing poetry. She can express exactly what she’s feeling inside." James, age 47 (quoted in Brody, 1999, p. 1)

Pria dan wanita memiliki stereotip gender yang berbeda atas ekspresi emosi dan kompetensi emosi. Dan deskripsi James atas perbedaan antara dirinya dan istrinya merupakan contoh dari stereotip gender tersebut. Pria digambarkan tidak dapat menjelaskan emosinya secara baik, sementara wanita dapat dengan jelas mendeskripsikan apa yang ia rasakan. 

Stereotip terkait hal ini penting. Karena kemampuan untuk dapat secara akurat mengenali emosi seseorang itu penting dalam hubungan intrapersonal dan interpersonal. Hubungan sosial dapat mengalami ketegangan jika tidak memiliki kemampuan ini. 

Pada bab ini kita akan mengeksplorasi stereotip gender akan emosi dan mengevaluasi keakuratannya. Kita juga membahas bagaimana sebenarnya perbedaan gender pada emosi, ekspresi, dan kompetensi berkembang.


Gender Stereotypes About Emotions

Emotionality

Perempuan sudah sejak lama mendapat stereotip bahwa mereka lebih emosional dibandingkan pria. Stereotip ini termasuk salah satu stereotip gender yang paling meresap di mana-mana, termasuk di Amerika Serikat dan di banyak budaya lainnya.

Stereotip ini membuat perempuan terhalang aksesnya di bidang pendidikan dan pekerjaan. Contohnya, di Virginia Military Institute (VMI). Sejak institusi tersebut didirikan, hanya pria yang boleh menimba ilmu di sana. Perempuan ditolak untuk bisa masuk di VMI. Sekitar tahun 1990an, kebijakan men-only digugat sampai ke Supreme Court. Kesaksian yang diberikan oleh (yang katanya) saksi ahli bilang kalau VMI bukan tempat untuk perempuan karena, jika dibandingkan dengan pria, wanita lebih emosional, kurang agresif, lebih takut untuk mengalami kegagalan, dan tidak kuat menghadapi stres. Beruntung gugatan tersebut dikabulkan oleh Supreme Court. Sekarang wanita bisa mengajukan aplikasi pendaftaran ke VMI.

Specific Emotions

Perempuan juga di-stereotip-kan dengan emosi positif (cinta, kebahagiaan, dan simpati) dan emosi negatif (malu, takut, dan perasaan bersalah). Sementara pria identik dengan emosi yang diasosiasikan dengan dominasi dan kekuasaan, seperti anger, contempt, dan pride.

Stereotip gender terkait emosi ternyata bervariasi di lintas budaya. Misalnya, stereotip wanita Afrika-Amerika hampir sering mengekspresikan kemarahan sama dengan pria Afrika-Amerika. Ini menunjukkan konstruksi sosial gender juga mendapatkan pengaruh dari faktor etnis. Contoh lainnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini.


klik gambar untuk memperbesar


Apa implikasi praktisnya dari temuan antar etnis dan stereotip gender? Pertimbangkanlah kasus berikut. Di kultur budaya Kulit Hitam, sudah terbiasa bagi perempuannya untuk mengekspresikan kemarahannya. Sementara di budaya Eropa-Amerika, tidak dapat diterima jika perempuan mengekspresikan kemarahan, karena mengekspresikan kemarahan tidak sesuai dengan peran gender perempuan yang hangat dan penurut. Di tempat kerja, seorang perempuan Afrika-Amerika bisa saja mengekspresikan kemarahan terkait beberapa isu yang ada, yang mana di budaya Afrika-Amerika itu adalah hal lumrah. Sementara bagi bosnya yang pria Kulit Putih akan menganggap perilaku anak buahnya tersebut tidak pantas dan anak buahnya bermasalah.

Some Consequences of Gender Stereotypes About Emotion

Stereotipe gender terhadap emosi bisa berbahaya karena ia akan mengaburkan persepsi kita akan perasaan orang lain. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Plant dkk. 


klik gambar untuk memperbesar


Dari gambar perempuan di atas diberikan kepada para partisipan. Kepada mereka ditanyakan ekspresi apakah yang ditunjukkan oleh perempuan di dalam gambar: apakah ekspresi marah atau sedih? Hipotesis peneliti adalah stereotip gender akan memengaruhi penelitian para partisipan ketika ekspresi emosinya ambigu. Yang itu berarti partisipan pria akan menilai ekspresi perempuan pada foto di atas adalah ekspresi marah, sementara partisipan perempuan akan menilai ekspresi tersebut adalah ekspresi sedih. Hasilnya menunjukkan konsistensi dengan hipotesis peneliti.

Stereotip gender terhadap emosi juga bisa membuat kita tidak dapat menjelaskan situasi atau mengatribusikan perasaan seseorang secara akurat. Di sebuah studi yang dilakukan oleh Barrett dan Bliss-Moreau (2009), partisipan diberikan dua foto. Foto pertama, yaitu foto seorang pria yang mengekspresikan kesedihan dengan deskripsi fotonya: "menghadiri pemakaman kakek". Foto kedua, yaitu foto perempuan yang sedang marah diberikan deskripsi foto: "adu argumen dengan rekan kerja". Kemudian, partisipan diberikan foto yang sama, tetapi tidak ada deskripsi foto. Mereka diminta untuk menjelaskan orang yang di foto apakah sedang "emosional" atau sedang "mengalami hari yang buruk".

Untuk ekspresi sedih, takut, dan marah, partisipan mengatribusikan emosi perempuan di dalam foto sebagai perempuan yang emosional, yang itu berarti partisipan mengabaikan situasi yang mungkin terjadi dan langsung memberikan penilaian atribusi internal (disposisional) untuk emosi perempuan. Tetapi, ketika pria mengekspresikan emosi yang sama, partisipan memberikan penilaian atribusi eksternal (situasional) untuk emosi pria, bahwa pria di dalam foto tersebut sedang mengalami hari yang buruk. Dengan kata lain, emosi pria dinilai secara situasional, sementara emosi perempuan dinilai secara disposisional, bahwa perempuan memang sudah dari sononya adalah makhluk emosional. 

Kesimpulannya, stereotip gender bisa menuntun kita untuk mengabaikan informasi situasi sebagai penyebab dan terlalu menekankan pada disposisional sebagai penyebab emosi perempuan atau melebih-lebihkan penyebab situasi dan meminimalisir penyebab disposisional pada emosi pria. 

Gender and Emotional Experience and Expression

Emotional Expression and Display Rules

Peneliti emosi membedakan antara pengalaman emosi dan ekspresi emosi. Setiap hari kamu mungkin mengalami emosi yang kamu ekspresikan dan emosi yang tidak kamu ekspresikan. Kamu bisa saja tidak menunjukkan emosi yang secara sosial tidak pantas demi alasan kesopanan. 

Display rules: A culture’s rules for which emotions can be expressed or displayed.

Contohnya, di budaya Amerika, individu dianjurkan untuk mengekspresikan kebahagiaan. Sebaliknya, mereka tidak disarankan untuk menunjukkan ekspresi sedih akibat kehilangan. Kalau di Indonesia, tepatnya bagi muslim Indonesia, dilarang untuk meratapi orang yang meninggal. Contoh lainnya, pernah dengar ucapan "Boys don't cry?" Ini juga contoh dari display rules.

Measuring Emotion

Salah satu pendekatan untuk mengukur emosi adalah dengan mengukur aspek fisiologis. Selain dari faktor display rules, peran gender, dan budaya, emosi juga memiliki faktor biologis. Misalnya, ketika kita ketakutan, kita merasakan jantung kita berdegup lebih kencang dan tangan kita berkeringat. Jantung yang berdegup kencang juga bisa kita alami di saat kita marah. 

Berbagai area di otak kita aktif tergantung dari emosi yang kita rasakan pada saat itu. Stimulus emosi memicu aktifnya neuron di amigdala, yang kemudian mengaktifkan neuron di batang otak, yang kemudian mengaktifkan sistem saraf otonom, yang akhirnya memengaruhi perubahan pada detak jantung. 


Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels


Peneliti emosi mengukur tekanan darah, detak jantung, dan skin conductance. Peneliti juga memasukkan komponen neuroendocrine, dengan mengukur level epinephrine dan norepinephrine, atau mereka mengukur aktivitas elektrik di otak dengan menggunakan EEG (electroencephalogram). Teknik neuroimaging, seperti fMRI (functional magnetic resonance imaging) dan PET (positron emission tomography), juga digunakan untuk mengeksplorasi dan mengidentifikasi area di otak yang diasosiasikan dengan emosi tertentu.

Alternatif lainnya untuk mengukur emosi, yaitu dengan laporan individu ketika merasakan emosi, semacam self-reports. Ini jadinya subyektif memang. Laporannya bisa dalam berbagai bentuk, seperti checklists emosi yang mereka rasakan selama satu minggu terakhir atau dalam bentuk jurnal harian untuk mencatat emosi yang muncul pada suatu kejadian. 

Peneliti juga bisa mengukur ekspresi emosi. Pola ekspresi pada wajah ketika menampilkan emosi tertentu dapat diukur dengan menggunakan observasi visual dan facial EMG (electromyography), yang mengukur pola aktivitas elektrik yang diasosiasikan dengan kontraksi otot wajah. Ekspresi verbal juga dapat digunakan untuk mengukur emosi dengan cara menghitung kosakata emosi yang digunakan dalam pembicaraan atau dalam jurnal harian. 

Experience versus Expression

Sebuah studi dilakukan oleh Kring dan Gordon (1998). Mereka memberikan sebuah film pendek, yang dirancang untuk menstimulasi rasa bahagia, sedih, atau takut, kepada mahasiswa S1. Di saat mereka sedang menyaksikan film tersebut, skin conductance mereka diukur dan ekspresi wajah mereka direkam. Pada akhir film, mereka diberi kuesioner untuk melaporkan seberapa intens emosi sedih, takut, jijik, dan bahagia yang mereka rasakan. Secara singkat, para peneliti menggunakan pengukuran fisiologis, ekspresi wajah, dan self-report untuk mengukur emosi.

Hasilnya menunjukkan perbedaan dan persamaan antara perempuan dan pria. Dari semua klip emosi yang ditonton, perempuan secara signifikan menunjukkan ekspresi wajah ketimbang pria. Meski perempuan dan pria melaporkan pengalaman emosi yang serupa, tetapi pria secara signifikan menunjukkan skin conductance yang lebih tinggi sebagai reaksi terhadap film dengan stimulasi emosi takut dibandingkan perempuan. Kesimpulannya, wanita memang lebih ekspresif, sementara pria lebih menunjukkan reaksinya secara otonom (melalui skin conductance, misalnya).

Specific Emotions

Ada tiga studi meta-analisis yang dilakukan. Pertama, studi yang dilakukan untuk mengukur perbedaan dan persamaan gender pada anak-anak dalam hal temperamen.

Temperament: Constitutionally based individual differences in reactivity and self-regulation, such as emotional intensity, inhibitory control, activity level, and distractibility.

Hasilnya, anak laki-laki tidak menunjukkan kecenderungan untuk menunjukkan rasa amarah dan anak perempuan tidak lebih emosional dibandingkan anak laki-laki. Anak perempuan lebih sedikit kecenderungannya untuk menunjukkan rasa takut dibandingkan anak laki-laki. 


Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels


Kedua, studi meta-analisis untuk mengukur perbedaan dan persamaan gender anak-anak pada ekspresi emosi. Hasilnya menunjukkan hampir tidak ada perbedaan antara anak perempuan dan anak laki-laki dalam mengekspresikan bahagia, terkejut, sedih, takut, dan jijik, kecuali rasa malu (pada anak perempuan menunjukkan hasil yang tinggi). 

Ketiga, studi meta-analisis yang dilakukan untuk mengukur self-concious emotions.

Self-conscious emotions: Emotions about the self, which often have to do with morality or adhering to social norms; includes guilt, shame, pride, and embarrassment.

Hasilnya menunjukkan pada perempuan dan remaja lebih mengekspresikan perasaan bersalah, sementara perasaan malu hasilnya sama pada pria dan perempuan. 

Dari hasil ketiga studi meta-analisis ini dapat disimpulkan stereotip gender akan emosi cenderung dilebih-lebihkan atau, pada beberapa kasus, sama sekali salah.

Emotional Intensity

Peneliti telah menemukan perbedaan gender dalam intensitas akan pengalaman dan ekspresi emosional pada self-report, dengan perempuan cenderung melaporkan intensitas yang lebih tinggi. Baik dalam tulisan maupun komunikasi secara verbal, perempuan menggunakan kosakata terkait emosi lebih banyak dan lebih sering membicarakan tentang emosi dibandingkan pria. Akan tetapi, apakah hal ini sudah cukup menunjukkan bahwa perempuan memang lebih emosional dibandingkan pria?

Setelah menganalisis data dari 37 budaya, Fischer dkk. (2004) menemukan persamaan gender dalam merasakan emosi yang kuat: pria dan perempuan melaporkan intensitas yang sama akan rasa marah dan jijik, terlepas dari apapun budayanya. Akan tetapi, dibandingkan dengan pria, laporan perempuan secara signifikan menunjukkan bahwa mereka merasakan emosi tidak berdaya, seperti takut, sedih, malu, dan rasa bersalah. 

Emotional Competence

Yang dimaksud dengan kompetensi emosional adalah:

Emotional competence: The ability to perceive, appraise, and express emotions accurately and clearly; to understand, analyze, and use knowledge about emotions to think and make decisions; and to regulate the emotions of oneself and others.

Perempuan menunjukkan kemampuan yang lebih luas dalam mendeskripsikan emosi yang mungkin dialami oleh seseorang dalam situasi pengandaian. Guru sekolah dasar melaporkan murid perempuan mereka lebih pandai dalam meregulasi emosi ketimbang murid laki-laki (Rogers dkk., 2016). Salah satu studi meta-analisis menunjukkan perempuan lebih cakap dalam mengenali emosi seseorang, baik dalam foto, film, atau rekaman audio. Perempuan juga menunjukkan kesadaran lebih akan emosi mereka dan menyimpan pengalaman emosi mereka secara lebih rinci di dalam memori dibandingkan pria. Demikian pula, perempuan lebih akurat dalam membaca bahasa tubuh orang lain. 

Emotions Beyond the Binary

Mungkin teman-teman sudah menyadari sejauh ini kita membahas pengalaman emosi, ekspresi, dan kompetensi pada cisgender perempuan dan cisgender pria. Masih sedikit sekali bahasan yang sama dengan partisipan individu transgender maupun genderqueer. Ketika psikolog meneliti emosi pada transgender pria dan transgender wanita, biasanya mereka terfokus pada emosi negatif dan penderitaan psikologis.

Penelitian dengan topik emosi pada individu transgender masih di tahap permulaan. Beberapa studi memiliki topik identifikasi peran gender memiliki peranan yang lebih penting daripada gender biner dalam membentuk ekspresi emosi. Studi lain meneliti pengalaman emosi pada individu transgender, misalnya studi yang meneliti bagaimana perubahan level testosteron dan estrogen selama masa transisi medis memengaruhi kompetensi emosi, seperti kemampuan untuk mengenali emosi.

The Socialization of Gendered Emotions

Bayi berusia 18 bulan ketika dilarang tidak boleh bermain dengan mainan yang menarik di hadapannya tidak akan bilang, "Aku marah." Dia akan melampiaskan kekesalannya, entah dengan menangis atau menunjukkan ekspresi wajah marah. Orangtuanya akan meresponnya dengan, "Kamu marah ya?" Alhasil, bayi mulai belajar mengenal emosi dari respon orangtua, dalam hal ini yang memberikan label marah pada emosi si bayi. Pada usia dua hingga lima tahun, anak-anak secara cepat belajar untuk mengenali emosi mereka sendiri dan emosi orang lain. Tugas orangtua lah untuk menuntun proses ini, mengajari anak bagaimana melabeli emosi mereka, menerjemahkan perasaan mereka, dan apa yang harus dilakukan. Selama proses terjadi, orangtua kemungkinan besar akan menanamkan stereotip gender. 

Socialization in the Family

Keluarga adalah sumber utama dalam sosialisasi gender. Dari penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa orangtua memerlakukan anak perempuan dan anak laki-laki secara berbeda. Misalnya, seorang ibu akan lebih sering berbicara tentang emosi pada anak perempuannya dibandingkan pada anak laki-lakinya. 

Di salah satu eksperimen klasik, sebuah video respon bayi terhadap jack-in-the-box yang terbuka. Bayi tersebut menatap kotak dan kemudian menangis. Video ditunjukkan pada orang dewasa, yang separuh diberitahu bayi tersebut berjenis kelamin laki-laki dan separuh lagi diberitahu bayinya perempuan. Mereka yang mengira bayinya laki-laki melabeli emosi tersebut sebagai marah, sementara yang lain yang mengira bayinya perempuan melabeli emosi tersebut dengan takut. Dapat disimpulkan, orang dewasa melabeli emosi tergantung pada gender bayi.

Pola yang ditemukan dari hasil penelitian adalah ibu dan ayah memiliki perilaku yang berbeda dalam sosialisasi emosi pada anak-anaknya. Contohnya, ibu lebih ekspresif secara emosi ketimbang ayah. Dibandingkan dengan ayah, ibu lebih banyak membicarakan soal emosi pada anak-anaknya dan lebih suportif. 


Foto oleh Josh Willink dari Pexels


Lebih lanjut, perbedaan antara ibu dan ayah dalam sosialisasi emosi tergantung pada seberapa terlibat mereka dalam mengurus anak. Anak perempuan dengan ayah yang banyak terlibat dalam hidupnya mengekspresikan sedikit rasa takut dan sedih, dibandingkan dengan anak perempuan yang ayahnya tidak banyak terlibat. Anak laki-laki dengan ayah yang banyak terlibat mengekspresikan lebih banyak kehangatan dan rasa takut.

Mengapa orangtua mensosialisasikan emosi kepada anaknya secara stereotip begitu? Hal itu dikarenakan mereka mengantisipasi peran yang mungkin akan dijalani oleh anak-anak mereka ketika dewasa. Peran pria berfokus pada jabatan, di mana kompetisi, kekuasaan, dan kontrol diajarkan. Oleh karena itu, anak laki-laki dibentuk agar tidak mengekspresikan emosi mereka, terutama emosi yang akan memperlihatkan kelemahan. Pengecualian pada ekspresi emosi marah, contempt, dan rasa bangga. Sementara peran perempuan adalah merawat, baik sebagai ibu rumah tangga, maupun dalam pekerjaan sebagai guru atau perawat. Karenanya anak perempuan diajari emosi kehangatan dan empati. 

Socialization by Peers

Teman sebaya juga dapat membentuk perilaku seseorang dalam mengekspresikan emosinya. Contohnya, seorang anak kelas lima SD sedang dalam masa berkabung. Di sekolah dia menjadi lebih emosional dan dia mudah menangis. Teman-temannya mengejeknya dengan cengeng, lalu memukulnya. Pengalaman tersebut sangat tertanam di otaknya hingga dia dewasa. Dia tidak lagi menangis dalam keadaan apapun, tidak peduli seberapa pun sakit yang dia alami, baik secara emosi maupun secara fisik.


Foto oleh Naomi Shi dari Pexels


Data menunjukkan terdapat perbedaan antara remaja pria dan remaja perempuan dalam mengekspresikan emosi negatif. Ketika mereka ditanya bagaimana teman-teman mereka bereaksi jika mengetahui mereka sedih atau marah. Remaja perempuan melaporkan teman-teman mereka menanyakan apa yang terjadi, memaklumi emosi yang dialami, atau menghibur mereka. Sementara remaja pria melaporkan teman-temannya akan mengabaikan emosi negatif mereka atau malah memukul secara fisik dan mengejek karena lemah. 

Dari data penelitian yang ada dapat disimpulkan teman sebaya memiliki peran penting dalam membentuk ekspresi emosi pada individu.

Brody's Transactional Model

Psikolog feminis Leslie Brody (1999) mengembangkan sebuah model komprehensif terkait perkembangan pada perbedaan gender dalam ekspresi emosi. Model tersebut dinamakan model transaksional (transactional model) yang menekankan pada pengaruh bidirectional antara anak dan orangtua, saling berinteraksi dan membentuk perilaku satu sama lain, dimulai sejak bayi. Seiring anak yang semakin bertumbuh kembang, teman sebaya memainkan peranan penting dalam sosialisasi peran gender. Menurut Brody:

peers enforce gender stereotypes and gendered display rules of emotion, especially in the context of gender-segregated groups. That is, within same-gender peer groups, gendered patterns of social interaction and emotional expression are reinforced, such that girls continue to hone their skills for warm and intimate dyadic interactions and boys continue to develop their capacity for intense competitive interactions. 

Hasilnya, menurut Brody, memang penerimaan sosial (social acceptance) dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjangnya dapat menurunkan kesejahteraan mental dan fisik. Penulis tidak menjelaskan lebih lanjut dari pernyataan tersebut.

Kesimpulan dari bab enam yang sudah kita pelajari ini adalah memang terdapat perbedaan gender antara perempuan dan pria dalam mengekspresikan emosi, yang dipengaruhi oleh budaya, pola asuh, dan dari tekanan teman sebaya juga. Hanya saja jangan sampai akibat dari stereotip gender yang sudah terlanjur melekat, kita jadi mendiskriminasi. Kita bisa belajar untuk lepas dari stereotip gender tersebut. Bahwasanya tidak apa-apa lho kalau pria ingin menangis dan wanita boleh mengekspresikan rasa amarahnya. 

Semoga rangkuman ini dapat memberikan banyak hal baru untuk teman-teman semua. Sekali lagi, jangan ragu untuk mengekspresikan emosi yang kalian rasakan, dengan catatan: secara konstruktif lho ya. Jangan destruktif.

Jadi, emosi apa yang kalian rasakan saat ini?

Daftar pustaka:
Else-Quest, N. M, & Hyde, J. S. (2018). The psychology of women and gender: Half the human experience (9th edition). United States of America: SAGE Publications, Inc. 

Tulisan sebelumnya:

3 comments

  1. Hmmmmm aku jarang punya emosi yang naik karena keknya woles aja dan lebih menghindari pertengkaran. Berbeda dengan istri karena dia Cancer dan lebih sensitif hahahahahaha.

    Tapi menarik buat tes apa yang bisa mendeteksi emosi kita, karen asebagai orang yang adem ayem aja, kadang gue penasaran juga sebetulnya gue beneran baik-baik aja atau bagaimana. hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, jangan-jangan Mas Didut termasuk orang yang mengekspresikan emosinya secara otonom. Ayo, diukur dulu skin conductance-nya, Mas. Hihihi.

      Delete
    2. Aku sih biasanya kalo udah nyentuh game yang aku suka emosiku jadi turun, atau sesimpel nonton film yang aku lagi pengen banget, atau kek sekarang akhirnya diijinkan memiliki (beli) PC yang aku pengen banget. kek gitu aja semua emosi negatifku sih hilang HAHAHAHAHAHA
      *anak gampangan mode on

      Delete

Saya akan senang sekali jika kalian meninggalkan komentar, tetapi jangan anonim ya. Komentar dari anonim—juga komentar yang menggunakan kata-kata kasar, menyinggung SARA, dan spam—akan saya hapus. Terima kasih sebelumnya.